Perempuan sebagai Guru Sejati

Perempuan sebagai Guru Sejati

Kalau kita merujuk kitab fiqh, pada kitab munakah lebih terkhusus fasl Hadonah (hak mengasuh anak). Kita akan menemukan keterangan bahwa kelembutan sikap dan kasih sayang yang dimiliki perempuan mencetuskan hukum fiqh bahwa “anak kecil yang masih berumur tujuh tahun (untuk anak laki-laki) dan sembilan tahun (untuk anak perempuan) yang berhak mengasuh adalah ibunya bukan bapaknya”.

Ada satu hadis yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Abu Dawud yang menjadi salah satu dasar penentuan hukum Hadonah yakni;

أن امرأة قالت: يا رسول الله إن ابني هذا كان بطني له وعاء، وحجري له حواء، وثديي له سقاء، وزعم أبوه أنه ينزعه مني، فقال: أنت أحق به ما لم تنكحي رواه أحمد وأبو داود

Ada seorang wanita berkata: “Wahai Rasulullah. Ini adalah anakku. Perutku menjadi tempat baginya. Air susuku menjadi minumannya. Pangkuanku menjadi tempat aman baginya. Bapaknya telah menceraikan saya dan dia ingin merampasnya dariku”. Nabi SAW bersabda: “Engkau lebih berhak pada anakmu selama belum nikah lagi.”

Dari hadis tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa Rasulullah mengakui kekhususan yang dimiliki seorang ibu yang tidak dimiliki oleh ayah, yakni ibu adalah yang mengandung anak, ibu adalah tempat bersandar dan berlindung anak dan ibu adalah yang menyusui anak.

Karena ketiga khususiyah inilah Rasulullah menetapkan bahwa ibu adalah orang yang berhak mengasuh anak ketika terjadi perpisahan antara kedua orang tua. Dengan catatan, sang ibu belum lagi menikah dengan lelaki yang lain. Karena apabila sang ibu sudah menikah lagi, kesibukannya akan beralih kepada suami barunya. Bahkan terkadang kebenciannya terhadap mantan suami mendorongnya membenci orang-orang yang berhubungan dengan mantan suami tak terkecuali sang anak.

Baca juga: Dispensasi Puasa bagi Ibu Hamil dan Menyusui

Pandangan Para Mufassir Hadis

Menurut para ahli tafsir hadis, ada dua subtansi yang bisa diambil dari keputusan Rasululloh tersebut.[1] Pertama; sisi pandang Hadonah sebagai hak seorang anak. Dijelaskan bahwa tujuan dari Hadonah adalah untuk menjaga anak dan kemaslahatan anak.

Pada masa Hadonah, seorang anak belum bisa mandiri dan masih membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Selain itu, menurut Ali Ahmad al-Jurjawi usia tersebut merupakan awal kesediaan anak untuk menerima berbagai macam pengalaman untuk kemandiriannya menjalani kehidupan sehari-hari.

Pada masa itu, seorang anak akan belajar bagaimana mengurus urusan pribadinya, mulai dari membersihkan kamar, membereskan mainan dan bagaimana caranya bertanggungjawab atas tindakan dan perilakunya. Dalam masa inilah orang sering menyebutnya sebagai langkah awal untuk pembentukan karakter dan watak seseorang sebagaiman pepatah mengatakan “bagaikan mengukir di atas batu”.

Lebih lanjut, as-Sya’rowi menjelaskan bahwa manusia adalah jenis hayawan (mamalia) yang membutuhkan waktu paling lama untuk berkembang. Hal ini sejalan dengan misi manusia untuk menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Paling tidak dalam masa perkembangan yang panjang itu, manusia dapat membekali dirinya dengan pengetahuan dan pengalaman untuk mengemban tugasnya dimulai sejak dini[2].

Kedua; sisi pandang Hadonah sebagai hak seorang ibu. Hal ini dapat dipandang dari kasih sayang seorang ibu dan perasaan ibanya terhadap sang anak. Akan merasa susah dan sakit hatinya jika harus berpisah dengan anaknya. Menurut para ahli di zaman modern, dikarenakan sifat keibuan merupakan motivasi yang sangat besar. Dorongan ini bahkan lebih kuat dibandingkan dorongan akibat rasa haus, lapar, kebutuhan seksual dan rasa ingin tahu. Sehingga kuatnya pengaruh keibuan pada diri perempuan berpengaruh pula pada anak.

Tonton juga: Belajarlah Selagi Masih Muda | KH. M. Anwar Manshur

Pandangan Ahli Psikologi

Merujuk pada ahli psikolog perempuan, mereka mengatakan bahwa kehidupan psikis perempuan didasarkan atas keserasian dan keseimbangan antara unsur masokhisme, yakni usaha mendapatkan kenikmatan dengan menyakiti diri sendiri dan unsur narsisme, yakni rasa kagum dan bermestraan dengan diri sendiri. Dengan kata lain bisa disimpulkan bahwa menanggung derita dan siap berkorban merupakan hal penting bagi perempuan sebagai konsekuensi dari fungsi reproduksinya.

Akhirnya bagi seorang perempuan, selain merasakan rasa sakit dan derita kala menjalani sirkulasi bulanan, melahirkan, menyusui, mendidik anak dan sebagainya, juga merasakan kenikmatan. Kombinasi dua perasaan tersebut merupakan akibat dari dua unsur yang disebut di atas.

Dengan dorongan sifat keibuan dan kehidupan psikis perempuan, akhirnya muncullah kehangatan cinta sang ibu kepada anak yang bahkan mendorong seorang ibu untuk rela mengorbankan segalanya demi sang anak[3]. Maka tidak mengherankan apabila Islam memberikan posisi yang sangat sentral untuk seorang Ibu yaitu sebagai suksesor pendidikan awal seorang anak.

Sehingga di akui atau tidak, sosok ibu memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan generasi di masa depan, memandang figur ibu yang memiliki peluang besar dan kesempatan dalam mengawali proses berkembangnya pendidikan anak sejak dini. Sebagaimana yang dikatakan penyair ternama Syaikh Hafidz Ibrohim:           

الأمّ مدرسة الاولى إذا أعددتها … أعددت شعبا طيب الأعراق     

“Ibu adalah sekolah. Jika ibu mempersiapkan dirinya, maka dia telah menyipkan generasi yang tangguh (baik).”

Maka sangat disayangkan apabila ada seorang ibu yang tidak menyempatkan waktunya untuk sang buah hati dan menyertai perkembangannya dari waktu ke waktu yang justru menitipkannya kepada seorang baby sitter. Karena selembut apapun seorang baby sitter merawat anak, tidak akan pernah bisa mengalahkan kelembutan dan kasih sayang seorang ibu kepada buah hatinya.

Anak adalah darah daging orang tuanya, tak terkecuali seorang ibu. Maka sudah selayaknya bagi mereka untuk mementingkan urusan sang buah hati lebih dari apapun.


[1] Abu al-Walid Sulaiman Ibn Kholaf al-Qurtubhi, al-Muntaqho Syarh al-Muatho’, Hal; 185, Vol; 6.
(مسألة): وهل ذلك من حقوق الأم، أو الولد فقد اختلف عن مالك في ذلك فقال الشيخ أبو القاسم: هو من حقوق المرأة فإن شاءت أخذته، وإن شاءت تركته. وقال القاضي أبو محمد: فإذا قلنا إنه من حقوق الأم «فلقوله – صلى الله عليه وسلم – أنت أحق به ما لم تنكحي» ومن جهة المعنى أنه يلحقها الضرر بالتفرقة منها مع ما جبل عليه النساء من الإشفاق من ذلك والتوجع له قال: وإذا قلنا: إنه حق للولد؛ فلأن الغرض حفظه ومصالحه؛ ولذلك يؤخذ منها إذا تزوجت، وإن لحقها الضرر بأخذه قال القاضي أبو الوليد – رضي الله عنه – والذي عندي أن فيه حقا لكل منهما والله أعلم وأحكم.
[2] Mutawali as-Sa’rowi, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, Hal; 293
إننا حين ننظر إلى طفولات الحيونات نجدها كلها قصيرة المدة وأطول طفولة هي الإنسان. والطفولة هذه هي ميدان عمل المرأة فما دامت الطفولة زادت فإن المهمة تكون أعظم. والحيوانات كلها مهمتها أقل من مهمة الإنسان تتىناسب مع مهماته في الحاياة و لأن مهمته عالية فهو أرفع الأجناس على الأرض لا بد أن تكون فترة تكوينه (طفولته) طويلة لكي يستطيع أن يمتلئ بالمبادئ والقيم والأشياء التي تعينه على مهمته في الحياة.
[3] (disimpulkan dari buku “Perempuan” karya  M Quraish Shihab)

Perempuan sebagai guru sejati
Perempuan sebagai guru sejati
Perempuan sebagai guru sejati
Perempuan sebagai guru sejati

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.