Perlu juga diperhatikan bahwa cara dan kecakapan serta potensi seorang ibu dalam mendidik seorang anak juga berpengaruh besar terhadap pembentukan karakter dan ragam pribadi seorang anak di masa depan.
Ibu yang lemah, berperilaku buruk dan bodoh, akan melahirkan generasi yang tidak jauh beda darinya. Sebab, sejak dini seorang anak sudah mendapatkan teladan yang diperlihatkan ibunya. Karena seperti uraian sebelumnya, seorang anak akan menyerap perangai dan sikap-sikap yang berada di sekitarnya untuk kemudian mengaplikasikannya.
Namun sebaliknya, jika seorang ibu beretika baik, pintar serta berkepribadian Islam yang kental, maka akan tercipta generasi yang ideal dalam mempertahankan eksistensi agama dan bangsa. Oleh karena itu, sebelum menjadi seorang ibu, sudah menjadi keharusan bagi seorang wanita untuk memperbaiki dirinya terlebih dulu.
Baca juga: Perempuan sebagai Guru Sejati
Di sisi lain as-Sya’rawy menambahkan bahwa pada saat anak-anak menginjak usia 6 tahun, pikiran mereka kosong. Dan di saat itulah proses awal pembentukan karakter yang baik dengan memberikan informasi-informasi positif[1]. Besarnya pengaruh seorang ibu terhadap karakter seorang anak, di karenakan ibu memiliki waktu yang sangat banyak untuk mendampingi anaknya, hal ini bertolak belakang dengan sosok ayah yang orientasi perannya lebih banyak di luar rumah untuk mencari nafkah[2].
Namun uraian di atas bukan berarti menyimpulkan bahwa sosok ayah tidak ikut serta dalam perkembangan anak. Sebuah riset dari para ahli yang dikutip as-Sya’rowi mengatakan bahwa seorang anak yang mendapatkan kesempatan bisa berinteraksi dengan anggota keluarganya, mulai dari ibu, ayah, nenek, kakek dan kakak-kakaknya, dapat berkembang melebihi yang lainnya. Dikarenakan ia mendapat kesempatan berinteraksi dengan berbagai orang yang berbeda umur dan masa. Yang bisa dimaknai bahwa berarti ia dapat menyerap berbagai karakter dari orang-orang yang berbeda-beda tersebut. (Fiqh Mar’ah, hal. 294)
Tonton juga: Belajarlah Selagi Masih Muda | KH. M. Anwar Manshur
Artinya, kerjasama dari setiap anggota keluarga juga sangat diperlukan untuk mendukung tumbuh kembang seorang anak terlebih kedua orang tua. Dengan kekompakan dua figur tersebut dalam kolaborasinya mendidik dan mengembangkan potensi-potensi anak, sesorang anak dapat menjadi harapan bagi kedua orang tuanya.
Ibarat menanam pohon, yang diharapkan bagi si penanam adalah dapat memanfaatkan buahnya. Begitupun orang tua, yang diharapkan dari buah hati mereka adalah sang buah hati dapat bermanfaat bagi mereka di dunia terlebih di akhirat kelak. Sebagaimana dawuh Rasulullah:
إذا مات الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاثة: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له
“Apabila manusia itu meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya, kecuali tiga hal. Yakni, sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendoakan orang tuanya.” (HR Muslim)
[1] Mutawali as-Sa’rowi, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, Hal; 294
والي سن السادسة يكون عقل الطفل فارغا واامتل والقيم تبدا تملأ عقله فمن الذي يملؤه ؟ إنها المرأة
[2] Mutawali as-Sa’rowi, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, Hal; 294
من الذي يتعامل مع الطفل ؟ إ نها المرأة فالرجل يخرج إلى عمله ويبقى الطفل مع أمه إلى إن يذهب إلى المدرسة في سن السادسه مثلا
Potensi Ibu dalam Mendidik Anak