Suatu saat
Harim bin Hayyan, seorang saleh di tanah Arab jauh-jauh datang ke Kufah, Irak,
untuk memenuhi satu-satunya cita-cita: bertemu Uways Al Qarni.
Telah ia
kenal kisah kesalehan Uways Al Qarni. Bagaimana Rasulullah tak satu kalipun
bertemu dengannya, namun oleh Rasulullah ia disebut sebagai pengguncang dunia
langit. Bagaimana Umar bin Khattab berkali-kali menitipkan salam pada jamaahnya
untuk disampaikan kepada Uways Al Qarni, nun jauh di Qaran, Irak.
Harim bin
Hayyan mencari-carinya ke berbagai penjuru, hingga kemudian tertegunlah ia di
tepi sungai Eufrat. Seseorang sedang berwudu dan mencuci pakaiannya. Seketika
ia menerka, “ini pasti Uways Al Qarni yang aku cari.” Pakaiannya kumuh. Wajahnya
lusuh. Tapi benar. Itulah Uways Al Qarni, Sang Majnun (Orang Gila).
“Suatu
kebahagiaan bertemu denganmu, wahai Uways. Bagaimana kabarmu?” Tak diduga, yang
ditanya hanya diam. Ia juga tak menjabat tangan Harim yang dijulurkan padanya. Harim,
yang telah meluap-luap rasa cintanya karena telah bertemu dengan yang
dirindukannya, menangis di hadapan Uways.
Uways
menangis pula. Hingga kemudian ia berkata, “Semoga Allah merahmatimu, wahai
Harim bin Hayyan. Bagaimana keadaanmu? Siapa yang menunjukkan diriku padamu?”
Harim terheran-heran.
Bagaimana bisa Uways al Qarni mengenalnya. Mengenal nama ayahnya, sementara keduanya
belum sekalipun pernah bertemu?
Dengan
pandangan sejuknya Uways Al Qarni menjawab keheranan itu. “Jiwa kita saling
mengenal ketika masing-masing hati kita saling berbicara. Sungguh, di dalam
jiwa kita terdapat hati sebagaimana hati manusia. Sesama orang beriman pastilah
saling mengenal dan saling mencinta atas pertolongan Allah. Meski tak pernah
bertemu, tak pernah memandang, tak pernah berbincang. Meski terhalang
rumah-rumah. Meski terpaut jarak dan lembah.”
“Maka
sampaikan padaku hadits Rasulullah wahai Uways,” Kesempatan bertemu itu tak
disia-siakan oleh Harim bin Hayyan. Ia ingin mendapatkan kesejukan kalimat-kalimat
dari lelaki bijak itu.
“Tak
sekalipun aku bertemu dengan Rasulullah. Tapi, telah sampai kepadaku juga ucapan-ucapannya,
sebagaimana yang telah sampai kepada kalian. Namun, aku bukanlah orang yang
suka bercerita. Bukan penentu hukum. Pun bukan pemberi fatwa. Hatiku tak ingin
dipenuhi urusan manusia.”
“Maka
sampaikan padaku firman Allah, Sungguh aku mencintaimu karena Allah. Maka
sampaikan padaku sehingga aku bisa menjaganya, memegang pesan-pesannya.”
Uways al
Qarni mengalah. Ia mulai membaca basmalah. Seketika ia menjerit. Menangis. “Tuhan
telah berfirman. Ucapan paling benar adalah ucapanNya. Kalam yang paling indah
adalah kalamNya.”
“Wahai
Harim bin Hayyan. Inilah wasiatku padamu. Berpegangteguhlah pada Kitab Allah
dan orang-orang shaleh. Jangan sekali-kali hatimu berpaling darinya, sekejap
mata pun. Takutlah berpisah dari jamaah. Perpisahanmu dengan mereka adalah
berpisahnya agamamu. Kau tak akan mendapatkan pengetahuan dan masuklah kau ke
neraka.”
Uways
kemudian berdoa, “wahai Tuhanku, Harim mencintaiku karenaMu, ia menemuiku
karenaMu, maka pertemukanlah diriku dengannya di surga kelak. Jagalah ia di
dunia sebagaimana mestinya. Mudahkanlah ia dalam urusan dunia, jadikanlah ia orang
yang mensyukuri setiap nikmat yang kau berikan.”
Doa itu
menggembirakan hati Harim bin Hayyan. Siapa yang tidak bergembira ketika ia
didoakan oleh kekasihnya, manusia yang dunia langit bergemuruh ketika
disebut-sebut namanya?
Namun
kegembiraan itu berlangsung begitu singkat. Karena setelahnya, Uways mengucapkan
kalimat yang tidak disangka-sangkanya, “Wahai Harim. Sungguh aku membenci
keramaian dan mencintai kesendirian. Maka jangan mencariku setelah ini.
Ketahuilah, aku bagian dari dirimu. Ingat-ingatlah aku, doakan aku. Karena aku
akan selalu mengingat dan mendoakanmu.”
Harim
terperangah. Ia menangis. Uways menangis. Tak lama kemudian, mereka berpisah.
“Betapa setelahnya aku mencari-carinya,” kisah Harim ketika mengenang kisah hari itu. “Bertanya ke mana-mana. Tak kutemui seorangpun yang bisa memberi kabar tentangnya.”
Uqala-ul Majanin, Abu Qasim al-Hasan, Dar an-Nafais, hlm. 95-97.