Puasa Akhir & Awal Hijriyah, Bid’ah?

Akhir-akhir ini, banyak yang mempertentangkan keabsahan beberapa amaliyah yang telah diwariskan oleh ulama dahulu. Termasuk, amalan yang menjadi tradisi umat muslim saat menyambut pergantian tahun Hijriyah.

Alasan-alasan yang dikemukakan cukup beragam. Namun jika kita baca dengan teliti, ada kekeliruan yang mendasar dalam memberi cap “terlarang” bagi amaliyah-amaliyah ini.

Puasa

Ada beberapa golongan yang menganggap puasa di akhir tahun dan awal tahun tidak berlandas pada dalil yang benar. Mereka mengingkari dalil yang sering digaungkan ulama-ulama salaf:

من صام آخر يوم من ذي الحجة وأوّل يوم من المحرّم جعله الله تعالى له كفارة خمسين سنة، وصوم يوم من المحرم بصوم ثلاثين يومًا

“Barang siapa berpuasa pada akhir dari bulan Zulhijjah dan awal dari bulan Muharram akan Allah jadikan baginya ampunan lima puluh tahun dan puasa sehari di bulan Muharram bagaikan puasa 30 hari.”

Dalil ini mereka ingkari, dengan berlandaskan pada fakta bahwa ada beberapa rawi hadits yang diragukan tingkat ke-dhabith-annya (kemampuan hafalannya). Mereka mengungkap nama perawi hadits itu: Al-Juwaibari dan Wahb bin Wahb. Keduanya dinilai buruk tingkat ke-dhabith-annya.

Memang, Asy-Syaukani, salah seorang pakar hadits, menilai keduanya memiliki kadar kejujuran yang buruk dalam kapasitas sebagai perawi hadits. Al-Albani, dengan berangkat dari statemen Asy-Syaukani ini, menganggap hadits tersebut dla’if (lemah).  Namun di kesempatan lain, pembesar golongan yang gemar memberi stigma bid’ah ini malah menilai hasan terhadap hadits ini. Maka dengan ambiguitas yang ia tampilkan, tentu rancu jika kita jadikan putusannya ini sebagai acuan dasar untuk memberi kepastian hukum.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.