Berlibur ke Lirboyo

Belajar bisa ditempuh dengan cara apa saja, waktu kapan saja. Lihat saja apa yang kami lakukan. Kami berasal dari Pondok Pesantren Roudlotul Muta’abbidin, Lamongan Jawa Timur. Di akhir tahun 2016 ini (31/12), kami memilih menghabiskan waktu liburan untuk menikmati gerimis Lirboyo.

Kami yang terdiri dari puluhan santri putri turun satu per satu dari bus, tepat di depan gerbang Pondok Pesantren Putri Hidayatul Mubtadi-aat (P3HM). Seragam yang kami pakai, tas yang kami jinjing, serasa menunjukkan keinginan kami yang besar untuk mengetahui rahasia belajar santri Lirboyo.

Kami tak mau membuang-buang kesempatan. Tanpa istirahat, dengan hanya disela helaan nafas, kami berkumpul di Aula P3HM untuk membuka kegiatan kunjungan kami ini. Pengurus pondok yang hadir siang itu, memberikan kami beberapa keterangan ringan terkait P3HM. Tentu saja agar kami, 36 santri dadakan ini merasa lebih dekat dengan Lirboyo.

Tak berselang lama, dengan ditemani dua pembimbing, kami segera mengikuti salah satu jadwal harian santri P3HM di siang hari. Yakni, pengajian kitab tafsir Jalalain setelah jamaah salat dhuhur. Kitab ini dibacakan langsung oleh sang pengasuh yang kami kagumi, KH. M. Anwar Manshur.  Kami memang tidak membawa kitab tafsir. Namun hanya dengan mendengarkan bacaan beliau saja hati kami adem, sejuk, tentram. Kami yakin, itu adalah pancaran yang keluar dari kealiman dan ketawadhuan beliau. Kesempatan kami untuk bersuka dengan pengajian beliau siang itu tak lama, hanya sekitar setengah jam. Tapi, siapa mengelak kalau itu adalah salah satu momen paling berharga yang bisa didapatkan? Terutama bagi kami, santri-santri kecil ini?

Sore hari adalah waktu yang padat bagi santri Mubtadi-aat. Di waktu ini, kami dapat melihat bagaimana aktivitas berjalan di luar kegiatan belajar. Sejatinya, di waktu itu pula kami bisa merasakan atmosfir pesantren sebenarnya. Bagaimana mereka menjalani keseharian. Memenuhi keperluan insaniyah mereka. Tidak begitu berbeda dengan kami sebenarnya. Hanya, mungkin berkah kebersahajaan para pendiri dan pengasuh menjadikan pondok ini beraura sejuk dan menenangkan. Entah bagaimana pola kesejukan itu bekerja.

Kami sengaja menepikan lelah. Ini adalah kesempatan kami satu-satunya. Karena meski kunjungan dari pesantren kami ini berulang setiap tahun, masing-masing dari kami hanya mendapat satu kali kesempatan. Di tahun berikutnya, giliran adik kelas kami yang menimba ilmu di sini nantinya.

Dan the only chance ini kami tak ingin melewatkannya dengan berleha-leha. Bada isya, kami mengikuti jam wajib belajar. Kabarnya, sistem wajib belajar ini juga diberlakukan di pondok putra, yang berada di barat pondok putri ini. Menurut kawan-kawan baru, wajib belajar ini adalah ajang diskusi interaktif antar teman sekelas. Jika di sekolah diskusi berlangsung dengan guru, dan musyawarah dilangsungkan dengan beberapa sistem dan banyak peserta, di wajib belajar ini santri berdiskusi dengan lebih dalam lagi. Di samping karena sudah mendapat bekal di sekolah dan musyawarah, jumlah peserta yang lebih kecil membuat diskusi lebih intens, dan bahasan masalah dapat diperoleh lebih dalam.

Pada akhirnya, kondisi tubuhlah yang berbicara. Kebetulan, pengurus memberi tahu kami bahwa sudah tidak ada kegiatan selepas pukul sembilan malam, saat wajib belajar berakhir. Kami harus istirahat, karena di pagi hari, setelah subuh, kami mendapat ilmu baru dari kawan-kawan Mubtadi-aat: menggunakan mukenah yang sah dan sesuai kutubus salaf.

Sepertinya sederhana, tinggal mengerubungi tubuh dengan kain putih panjang. Ternyata, ada yang belum disadari bahwa terdapat hal-hal kecil yang bisa mempengaruhi keabsahan salat kami. Misalnya, memakai mukena potongan. Yang terlihat, memang sudah cukup untuk menutup seluruh aurat. Namun ketika kita gunakan untuk salat, takbir misalnya, aurat kita, baik sebagian maupun seluruh bagian lengan kita akan terlihat dari bawah. Sementara, syariat menuntut untuk tertutupnya aurat dari penglihatan dari seluruh arah, atas-bawah, depan-belakang, kanan-kiri.

Dan ilmu-ilmu kami semakin bertambah ketika setelahnya kami dipersilahkan untuk ikut sekolah pagi. Di sini kami melihat dialog yang sangat cair antara guru dengan para siswa. Candaan sering digulirkan, tanpa mengurangi fokus pembahasan pelajaran.

Bagi kami, suguhan ilmu di pesantren ini melimpah ruah. Di ruang kelas, di aula, di serambi-serambi kecil kamar, ilmu –ilmu itu tersebar. Pada akhirnya, kami hanya bisa ber-tamanni, ilmu-ilmu itu dapat kami tangkup dan terkumpul di gelas kecil kami. Harapan yang lucu dan aneh, mengingat kami mengenyamnya hanya sehari semalam. Bahkan, untuk menyimpan nasehat beliau, Romo Yai Anwar, gelas kami masih terlalu kecil. Dari beberapa tetes yang tertangkup itu, satu yang paling kami ingat, “kalian mondok itu bukan untuk diri sendiri, tapi untuk masyarakat. Biarpun yang membiayai orangtua kalian, yang membutuhkan peran kalian adalah masyarakat.”

Terima kasih Lirboyo. Sungguh liburan yang menyenangkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.