Tato dan Hukum Wudlunya

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Saya mau bertanya, bagaimanakah hukum wudlunya seseorang yang bertato? Mohon penjelasannya karena banyak sekali ditemukan kasus tersebut.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

(Asrori-Jambi)

_____________________

Admin- Wa’alaikumsalam Wr. Wb.

Imam Khotib As-Syirbini pernah menjelaskan mengenai pengertian dan hukum tato dengan ungkapan berikut:

الْوَشْمُ وَهُوَ غَرْزُ الْجِلْدِ بِالْإِبْرَةِ حَتَّى يَخْرُجَ الدَّمُ ثُمَّ يُذَرُّ عَلَيْهِ نَحْوُ نِيلَةٍ لِيَزْرَقَّ أَوْ يَخْضَرَّ بِسَبَبِ الدَّمِ الْحَاصِلِ بِغَرْزِ الْجِلْدِ بِالْإِبْرَةِ حَرَامٌ لِلنَّهْيِ عَنْهُ، فَتَجِبُ إزَالَتُهُ مَا لَمْ يَخَفْ ضَرَرًا يُبِيحُ التَّيَمُّمَ، فَإِنْ خَافَ لَمْ تَجِبْ إزَالَتُهُ .

Tato ialah menusuk kulit dengan jarum sehingga mengeluarkan darah kemudian diisi semisal zat pewarna pohon Nila agar membentuk warna biru atau hijau yang disebabkan oleh darah hasil tusukan jarum terhadap kulit. Hukumannya adalah haram karena sudah dilarang dan wajib menghilangkannya selama tidak dikhawatirkan menimbulkan bahaya yang sampai melegalkan tayamum. Apabila dikawatirkan, maka tidak wajib menghilangkannya.”[1]

Dalam hal menghilangkan tato, Imam An-Nawawi mengutip penjelasan dalam kitab lain:

يُزَالُ الْوَشْمُ بِالْعِلَاجِ فَإِنْ لَمْ يُمْكِنْ إلَّا بِالْجُرْحِ لَا يُجْرَحُ وَلَا إثْمَ عَلَيْهِ بعد التوبة .

Tato harus dihilangkan dengan diobati. Jika tidak mungkin dihilangkan kecuali harus dilukai, maka tidak perlu dilukai, dan tidak ada dosa setelah bertaubat.”[2]

Ketika  seseorang tidak wajib menghilangkan tatonya, lantas yang sering dipertanyakan adalah mengenai keabsahan wudlu nya. Menjawab hal tersebut, dalam salah satu keterangan disebutkan:

قَدْ تَقَرَّرَ أَنَّ الْوَشْمَ حَرَامٌ….وَيَصِحُّ مَعَهُ الْوُضُوْءُ وَالْغُسْلُ لِلضَّرُوْرَةِ لِكَوْنِهِ دَاخِلَ الْجِلْدِ وَالْجِلْدُ مُلْتَحِمٌ .

Sudah ditetapkan bahwa tato adalah haram… Wudlu dan mandi tetap sah dengan adanya tato karena darurat. Alasannya karena tato sudah berada di dalam kulit yang telah menyatu menjadi daging (dihukumi sebagai anggota batin).”[3]

[]WaAllahu a’lam


[1] Hamisy Al-Iqna, vol. II hal. 89

[2] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, vol. III hal. 139

[3] Bulghah At-Tullab, hal. 120

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.