LirboyoNet, Kediri—Suasana Kamis Legi kali ini berbeda dengan sebelum-sebelumnya.Tempat parkir lebih penuh. Kamar-kamar lebih riuh. Pasalnya, para alumni yang ingin hadir dalam pengajian rutin kitab Al-Hikam lebih banyak dari biasanya. Ada beberapa dari mereka sebelumnya jarang ikut.Kebanyakan karena jarak yang jauh. Tapi Kamis pagi itu, mereka seperti telah menyiapkan diri jauh-jauh hari. Bisa karena rasa rindu yang memuncak. Atau sambang kepada sanak saudara yang baru mesantren di sini. Atau barangkali, ada satu peristiwa, yang jarang terjadi, yang tak ingin mereka lewatkan.
Beberapa hari lalu, telah tersiar kabar bahwa Kamis Legi edisi ini, (26/01) akan dihadiri Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA, ketua umum Dewan Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). “Mungkin ini yang membuat ramai Kamis Legi sekarang,” kira salah satu pengurus pondok. Hal ini kemudian diamini oleh beberapa alumni yang sengaja hadir demi bertemu dengan sosok yang juga salah satu alumni itu. Serambi masjid pun penuh sesak. Masjid Lawang Songo, yang biasanya ditutup, dibuka dan segera diisi oleh para alumni yang ingin mengaji dari dekat.
Setelah kitab Al-Hikam dibacakan oleh KH. M. Anwar Manshur, Kang Said, sapaan akrab beliau, diberi waktu untuk memberikan petuah. “Kita patut bersyukur, kitab Al-Hikam ini masih dibaca oleh para ulama. Ini berarti pondasi Islam kita masih kuat.” Kuat, karena kajian tasawuf, yang menjadi ruh dari kitab yang ditulis oleh Syaikh Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Atha’illah as-Sakandari ini, adalah kajian yang sangat penting dalam beragama.
“Tasawuf itu tsaurah ruhaniyah. Revolusi spiritual,” ungkap beliau. Dan dalam sebuah revolusi, tidak pernah ada kata kompromi. Jika ingin mendalami tasawuf, menjadi sufi, maka harus ada perubahan total dalam sikap spiritual seseorang.
“Tasawuf bukanlah tentang banyaknya ibadah. Rajin, disiplin dan salat fi awali waqtiha. Mereka yang salat dhuha, tahajud, belum tentu sufi.” Dimensi tasawuf dan syariat berbeda. Hakikat, ilmu yang dipelajari dalam tasawuf, bagaikan pondasi dalam agama. “Syariat adalah genteng, dan temboknya akhlakul karimah,” lanjut beliau. Tasawuf juga bukan akhlakul karimah. Hormat guru, tetangga, ifsya’us salam (menebar salam), birrul walidain (bakti orangtua) adalah hal yang penting. Sangat penting. Namun dalam tasawuf bukanlah hal-hal itu yang dibicarakan. “Yang dinilai (dalam tasawuf) bukan berapa rakaat salatnya, berapa bulan puasanya, berapa kali hajinya, tapi keadaan batinnya. Yang diikhtiarkan oleh seorang sufi adalah mendapatkan kedudukan di depan Allah.” Kedudukan itu adalah seberapa dekat dengan Allah. Lurus atau bengkok, berhadap-hadapan atau bertolak belakang. Dengan tasawuf, hati berusaha diarahkan lurus dan dekat menghadap Allah swt.
Dalam kesempatan itu, beliau juga memberikan pencerahan atas beberapa perkara urgen dalam kajian tasawuf, seperti moral (dlamir). Ia adalah satu dari lima tingkatan hati. “Apa dlamir itu? Moral. Apa fungsinya? Akan mengeluarkan salah satu dari dua kata, if’al atau la taf’al. Do it, atau don’t do that. Kerjakan, atau jangan. Setelah seseorang (dengan bashirah/mata hati) tahu ini baik, maka moral mengatakan ‘lakukan’. Jika bashirah tahu ini jahat, ini salah, korupsi salah, melanggar hukum salah, maka dlamir mengatakan ‘la taf’al’.”
Tingkatan moral, sebut Kang Said, ada tiga level. Pertama, dlamir ijtima’i, atau moral lingkungan. Seseorang akan berprilaku baik hanya karena pengaruh orang-orang sekitarnya. Ketika tidak ada, ia akan diam-diam meninggalkan prilaku itu. Kedua, dlamir qanuniy. Moral pada level ini dipengaruhi oleh seberapa besar timbal-balik yang didapatnya. Mau kerja jika ada diberi gaji. Akan kerja dengan sangat baik jika memang telah ada kontrak yang mengikatnya. Kalau ada rumah kebakaran, misalnya, seseorang pada tingkat moral ini akan bersikap, ‘saya bukan pemadam kebakaran, ngapain saya ikut memadamkan. Kalau saya petugas pemadam, akan saya tangani dengan baik.’
Moral pada tingkatan tertinggi tentu dapat dilihat sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Suatu ketika, Abu Thalib menghampiri beliau dan memberi tawaran Nabi saw. untuk berhenti berdakwah. ‘Supaya kamu selamat, tenang.’ Nabi saw. dengan teguh menjawab, ‘Demi Allah, kalaupun matahari diletakkan di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan dakwah ini, aku tak akan meninggalkannya, hatta ahlik, sekalipun aku binasa.’ Moral diniy, moral yang ditakar dengan agama ini, kapanpun, tanpa imbalan, tanpa gaji, tak peduli pengaruh sekitar, ia akan tetap menjalankan yang baik dan meninggalkan yang tidak baik. “(kalau kita) Ada amplop alhamdulillah, kalau ga ada innalillah,” canda beliau diiringi tawa hadirin.
Pengajian Al-Hikam kali itu diakhiri dengan mushafahah, bersalaman antara masyayikh, dan para alumni, termasuk Kang Said. Meski berakhir lebih siang, para alumni tetap meneruskan tradisi yang telah lama mereka lakukan, yakni sowan masyayikh. Mereka dengan sabar mengantri di depan ndalem KH. M. Anwar Manshur untuk sekedar berjumpa dan mendengarkan nasehat singkat dari beliau. Sementara Kang Said, yang pada malam harinya mampir di warung pasar Bandar untuk menikmati penganan malam, pulang bersama rombongan setelah sowan.][