Meskipun KH. A. Musthofa Bisri berhalangan rawuh, suasana haul dan haflah akhirussanah Ponpes Lirboyo Kediri kemarin tetap berjalan dengan khidmat. Suasana yang teduh mengiringi berjalanya haul dan haflah. Beliau, KH. Mas Subadar pengasuh Ponpes Raudhatul Ulum, Besuk Pasuruan, hadir sebagai pembicara. Beliau, KH. Mas Subadar merupakan alumni Ponpes Lirboyo yang sudah tamat sekitar tahun 1960 M, atau 56 tahun yang lalu.
Dalam sambutan atas nama dzurriyah Ponpes Lirboyo, KH. An’im Falahuddin Mahrus menyampaikan “Haul dan haflah ini pada intinya, merupakan rasa syukur dari Pondok Pesantren Lirboyo ini, setiap tahun bisa menghantarkan santri-santri untuk menyelesikan jenjang pendidikan kelas tiga ‘Aliyah.” Menyitir pidato KH. Idham Khalid yang diamini KH. Mahrus ‘Aly, “Barang siapa yang tidak berterimakasih kepada manusia, berarti tidak berterimakasih pada Allah SWT.”
Diamini oleh KH. Abd. Kafabihi Mahrus, “Mayit (Orang yang telah meninggal dunia -Red) seperti orang tenggelam, yang mengharap doa dari dzurriyah-dzurriyahnya, dari saudara-saudaranya. Dan haul merupakan rasa syukur kepada keluarga kita. Kepada orang-orang tua kita” beliau menambahkan, “Sebab kemuliaan anak, ada hubungan dengan kemuliaan orang tua.”
Kita Telah Tiba Di Akhir Zaman
“Innakum ashbahtum fi zamanin, katsirin qurrouhu, qoliliin khuthobauhu, kasirin mu’thuhu qolilin sailuhu. Al’amal fihi, khoirun minal ‘ilmi. Wa sayakti zamanun, kasirin khutobauhu, qolilin fuqohauhu kasirin sailuhu, qolilin mu’thuhu.” (Kalian semua para sahabat rasul, ada pada zaman yang banyak orang alim, sedikit orang yang pandai bicara, banyak orang yang memberi, dan sedikit orang yang meminta. Dan kelak akan datang, suatu zaman yang banyak orang pandai bicara, sedikit orang yang alim, banyak orang yang meminta, sedikit orang yang memberi.)
Demikian KH. Mas Subadar membuka mau’idhotul hasanah. Beliau bercerita, pada zaman Imam Ahmad bin Hanbal, sekitar seribu seratus tahun lalu lebih, Imam Ahmad bin Hanbal sedang mengajar mengaji para murid-muridnya. Ketika itu, suara azan terdengar. Imam Ahmad pun dan murid-muridnya yang hadirpun menghentikan pelajaran sesaat, untuk menjawab azan. Ketika azan selesai dikumandangkan, para murid-murid Imam Ahmad pun segera berbenah. Menata dan membereskan tempat mereka mengaji, dan hendak menutup kitab-kitab mereka untuk segera menjalankan salat berjamaah. Namun Imam Ahmad buru-buru mencegahnya, “Wes terusno ngajine!” (Lanjutkan mengajinya!) Imam Ahmad justru menyuruh murid-muridnya untuk kembali mengaji. “Bukan berarti gak sembayang, mboten! Yo sembayang, tapi menangno ngaji ndisik.” (Bukan berarti lantas tidak salat. Tetap salat, akan tetapi dimenangkan mengajinya.) Tutur KH. Mas Subadar. Ada yang bisa kita renungkan dari peristiwa tersebut, bahwa ternyata menurut beliau Imam Ahmad seribu tahun silam saja sudah memasuki zaman yang diramalkan rasulillah dalam hadisnya. “(Sakniki) tutuk wayahe al-‘ilmu khoirun minal ‘amal.” (Sekarang kita sudah tiba pada masanya, dimana ilmu lebih baik daripada amal.)
“Ilmu iku sing gae uripe agama islam. Ilmu niku sing gae uripe iman. Nopo maneh zaman sak niki nek mboten di ilmuni, akeh wong kesasar.” (“Ilmu yang menjadikan islam hidup, menjadikan iman hidup. apalagi dizaman sekarang jika tanpa ilmu banyak orang tersesat.”) Tutur beliau. Di zaman sekarang, yang terpenting adalah membentengi diri kita dengan ilmu, banyak faham-faham yang menyimpang, agar kita tidak ikut terseret. “Ilmu iku cekelono, insyaallah selamet. Katah tiang sing kesasar. Gara-garane, mboten gadah ilmu.” (Ilmu itu peganglah! Insyaalah selamat. Banyak orang yang tersesat, karena tidak berilmu.) Beliau menguatkan dengan kisah masyhur yang pernah dialami Syaikh Abdul Qadir Jailani. Suatu hari beliau didatangi seberkas sinar yang mengaku sebagai tuhan. Sosok tersebut memperbolehkan Syaikh Abd. Qodir Jailani melakukan perkara-perkara yang diharamkan. Namun segera Syaikh Abd. Qadir Jailani menyuruh sosok itu pergi dan menuding sosok itu adalah syaitan. Sinar tersebut langsung padam dan beberapa saat kemudian menghilang. Beliau, Syaikh Abd. Qadir Jailanipun selamat dari godaan syaitan karena ilmunya.
“Cekelono sing temenan dawuhe masyayikh, insyaallah selamet.” (Peganglah dengan kuat apa yang diajarkan guru-guru. Insyaallah selamat.) “Zaman sakniki mugo-mugokulo panjenengan remen mondokno anak…” (Zaman sekarang semoga saja kita semua termasuk menjadi orang yang senang memondokkan putra-putrinya.)[]