Merawat Marwah Musyawarah

  • Hisyam Syafiq
  • Sep 17, 2016

LirboyoNet, Kediri – Betapapun seseorang mempelajari sesuatu, jika ia hanya membaca dan mengunyah sendiri ­–tanpa mengutarakannya pada orang lain– ia masih menjadi pelajar yang belum utuh. “Separuh kepahamanmu atas sesuatu berada bersama temanmu. Karenanya, bermusyawarahlah agar sempurna kepahamanmu,” begitu kira-kira ungkapan para ahli hikmah.

Pada Kamis malam hingga Jumat sore kemarin (15-16/09), ratusan santri Lirboyo berkumpul di gedung Lajnah Bahtsul Masail. Mereka adalah para siswa Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien (MHM) yang telah dipilih oleh para mustahiq (wali kelas). Mereka sengaja dipilih sebagai perwakilan masing-masing kelas, guna mendapatkan penyegaran tentang bagaimana musyawarah seharusnya berlangsung. Even yang bernama Penataran Keroisan ini diselenggarakan oleh Majelis Musyawarah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien (M3HM), sebuah badan otonom milik MHM.

“Yang kita bahas sekarang adalah sistem. para sesepuh dahulu, telah merumuskan cara-cara tertentu agar musyawarah bisa berjalan efektif dan menghasilkan,” buka ustadz Hamim Hudlori, salah satu pemateri pada acara itu.

Sistem yang telah dibangun itu, menurutnya, dalam perjalanannya hingga kini telah menghasilkan lulusan Lirboyo yang mumpuni, tangguh dalam ruang-ruang musyawarah. Sedari bahtsul masail tingkat desa hingga even internasional.

Namun, sistem hanya akan menjadi catatan di atas kertas, jika potensi manusia yang berkecimpung di dalamnya tak juga dibangun. Hanya akan menjadi sejarah yang tidak bisa dibanggakan. Great Wall di China menjadi buktinya. Batu-batu disusun setinggi mungkin, setebal mungkin. Tujuannya jelas: musuh akan berpikir ratusan kali untuk menyerang kerajaan. Namun kita tahu, China runtuh tanpa lubang di tembok mereka. “Mereka lupa untuk membangun mindset para penjaga (tembok China). Musuh tinggal menjatuhkan mental dan moral mereka (agar dapat masuk ke dalam),” kisah beliau.

Membangun potensi musyawarah yang dimiliki santri inilah yang tidak memiliki sistem pasti. Karena pada dasarnya, setiap santri memiliki antisipasi tersendiri. Menurut ustadz Abdul Kafi Ridho, pemateri yang lain, untuk memacu semangat musyawarah, akan sulit untuk menemukan konsep yang paten. “Kita tidak bisa menyamaratakan antara santri yang baru bisa mendengar, yang mulai membaca syarah (kitab lanjutan), yang tiap malam ikut bahtsul masail. Kalian harus mampu melihat (potensi dan problem) kalian sendiri.”

Namun paling tidak, yang perlu ditanamkan dalam-dalam adalah mengenal manfaat sesungguhnya dari musyawarah. Rasulullah pernah bersabda, “tak akan rugi orang yang istikharah, dan tak akan menyesal orang yang bermusyawarah.”

Dalam bermusyawarah, masih menurut ustadz Abdul Kafi, simpul-simpul keruwetan dalam otak akan terurai. Apalagi ketika terlibat dalam perdebatan bermutu. Otak akan tertuntut untuk memahami, menganalisa, dan mengkritisi suatu pemikiran dengan cepat. Hanya dalam forum musyawarah akan didapatkan hal-hal baru dalam waktu singkat. Keterangan kitab syarah, para senior, dan catatan-catatan akan sulit, bahkan tidak dapat, diperoleh ketika hanya mengandalkan sekolah maupun muthala’ah (belajar) sendiri.

Demi itu, kita perlu mencermati sebuah kalimat yang diungkapkan oleh Al-Ghazali, al-ilmu la yu’thika ba’dhah hatta tu’thika kullaka”. Ilmu tidak sudi memberikan sebagian dirinya kepadamu hingga kamu bersedia mempersembahkan dirimu untuk ilmu sepenuhnya.][

0

Post Terkait :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.