LirboyoNet, Kediri — Pagi ini (16/10/16), rombongan Kirab Resolusi Jihad resmi diberangkatkan kembali dari Ponpes Lirboyo. Rombongan yang bermalam di salah satu gedung pondok ini, memulai aktivitasnya dengan sarapan pagi bersama masyayikh di kantor Al-Muktamar.
Setelahnya, mereka beranjak menuju serambi kuning Masjid Lawang Songo, tempat di mana acara selanjutnya dilaksanakan. Dimulai dengan tabuhan rebana, rombongan dan para santri Lirboyo berbondong-bondong memenuhi serambi.
Tak berapa lama kemudian, para masyayikh Lirboyo rawuh, diikuti beberapa pejabat pemerintahan Kota Kediri. Dalam kesempatan silaturrahim itu, KH. M. Anwar Manshur mengingatkan kepada hadirin bahwa peran santri dalam pergolakan kemerdekaan tidak bisa dikesampingkan.
“Mbah Mahrus waktu itu (masa-masa perjuangan kemerdekaan) jadi pimpinan Hizbullah Jawa Timur. Beliau sering mengajak santri-santri untuk hilir mudik Kediri-Surabaya, untuk ikut memperjuangkan kemerdekaan NKRI. Pondok-pondok lain juga. Kiainya berangkat semua,” cerita beliau. Inilah tanda bahwa kemerdekaan juga merupakan tanggungjawab santri dan pesantren. Untuk saat ini, setelah perjuangan merebut kemerdekaan telah usai, pesantren memiliki tanggungjawab yang lebih berat. Mereka harus mampu membina kehidupan masyarakat pasca-merdeka.
“Tahun ’48 (saat agresi Belanda II), saat tentara Belanda datang ke Lirboyo dan keluarga bergegas mengungsi, Mbah Manab (KH. Abdul Karim, muassis Ponpes Lirboyo) justru berdiam di dalam masjid ini. Beliau Cuma ngendika ‘kulo ngungsi dateng Allah mawon’. Alhamdulillah, keadaan beliau baik-baik saja,” kisah beliau. Kepasrahan diri untuk membina masyarakat ini menjadi satu kekuatan tersendiri yang dimiliki oleh kiai dan pesantren.
“Mbah Mahrus pernah dicari-cari tentara musuh. ‘Mahrus mana? Mahrus mana?’ padahal yang ditanya adalah Mbah Mahrus sendiri,” cerita beliau kemudian. Sebagai panutan dan pemimpin laskar, tentu beliau menjadi buronan nomor wahid tentara musuh. Kisah-kisah ini hanyalah karomah kecil yang dimiliki oleh kiai-kiai dahulu. “Makanya, jangan sembrono sama kiai. Kadung ngetokno karomahe, mandi kabeh (kalau sudah keluar karomahnya, ampuh semua),” canda Mbah War, panggilan santri kepada beliau.
Mbah War merasa terhormat dengan kedatangan rombongan ini. “Nama Lirboyo yang sering panjenengan dengar, ya beginilah wujudnya. Tidak semegah yang sampean bayangkan. Kami memang seperti ini. Jadi jangan kecewa,” tukas beliau beriringan dengan tawa hadirin.
Walikota Kediri, Abdullah Abu Bakar, juga menyambut baik kedatangan mereka. “Mudah-mudahan, ini menjadi torehan sejarah yang positif bagi Kediri, juga NU.” Ia sempat menyinggung program Satu Miliar Shalawat Nariyah, yang akan dilaksanakan beberapa hari ke depan. Layak diketahui, pembacaan shalawat ini juga menjadi rangkaian acara pra-Hari Santri Nasional. “Semoga bacaan doa kita nantinya dapat membantu Indonesia menjadi lebih baik. Semoga seperti dahulu, saat para kiai dan santri terus berdoa demi kemashlahatan Indonesia,” harapnya.
Acara dilanjutkan dengan penyerahan kembali Panji Pataka Nahdlatul Ulama, dari pesantren kepada tim resolusi. Selanjutnya, rombongan yang terdiri dari 68 anggota dari berbagai lembaga dan badan otonom NU ini meneruskan jadwal mereka, yakni menuju kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri untuk berziarah ke makam KH. Ahmad Shiddiq, Rais ‘Am PBNU periode 1984-1991 dan KH. Hamim Jazuli (Gus Miek).
Isfak Abidal Aziz, ketua rombongan menyatakan bahwa secara garis besar, tujuan kirab ini adalah untuk memberikan inspirasi bagi nahdliyin, dan menggelorakan kembali semangat dan ghirah Resolusi Jihad yang digaungkan puluhan tahun lalu. Sehingga, imbuhnya, juga akan memunculkan semangat khidmah kepada Nahdlatul Ulama dan bangsa. Ia juga menyebut bahwa rombongan terdiri dari kaum muda. Hal ini tak lepas dari harapan bahwa merekalah sejatinya yang patut dijadikan tumpuan kemajuan Nahdlatul Ulama, lebih-lebih bangsa Indonesia nantinya.][