Ayo Bertawassul

Tidak dapat dipungkiri, banyak umat Islam resah dengan keberadaan kelompok-kelompok ekstremis Islam yang selalu menjatidirikan kelompoknya. Cara dakwah yang mereka lakukan selalu mengedepankan fanatisme golongan (Ta’asshub Al-Ijtima’iyah), sehingga sikap tersebut membuat umat Islam gerah.

Pelbagai tuduhan, hujatan, dan lontaran kata-kata kasar sering kali keluar dari kelompok tersebut. Dengan mudah, mereka memberi cap-cap (stigma) buruk dengan sebutan ahlu bid’ah, khurafi, penyembah kubur, gerakan sempalan sesat, kepada tokoh dan gerakan Islam yang bukan kelompoknya. Mereka kerap mencela, bahkan menista ulama besar dan gerakan Islam di luar kelompoknya. Anehnya,  ketika pendapat mereka dikritik gerakan Islam lain karena hujjahnya yang sangat lemah, mereka tidak rela bahkan menyerang balik habis-habisan para pengkritiknya.

Sebetulnya, hal tersebut dapat diselesaikan apabila mereka mau menelaah ulang kitab-kitab para pendahulunya, contohnya adalah Ibnu Taimiyah yang menjadi tokoh sentral mereka. dengan demikian mereka akan sadar bahwa Ibnu Taimiyah sendiri tidak terlalu ekstrem seperti pengikutnya sekarang. Dalam masalah Tawassul misalnya, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa praktek Tawassul merupakan diantara sunnah (amal kebiasaan) para Rasul dan orang-orang Salafus Shalihin. Kaum Wahabi berpendapat sebaliknya. Mereka mengatakan perbuatan itu sebagai bid’ah, khurafat, dan pengkultusan yang ujung-ujungnya adalah syirik.

Sekilas Tentang Tawasul

Secara bahasa Tawassul artinya mengambil perantara. Adapun Tawassul secara istilah diartikan sebagai salah satu cara berdoa kepada Allah Swt dan salah satu dari beberapa pintu tawajuh kepada Allah Swt dengan menggunakan Wasilah (perantara), adapun yang dituju dari Tawassul ini adalah Allah semata.

Ada beberapa dalil tentang diperbolehkannya Tawassul baik dalil Al-Qur’an, As-Sunnah maupun Hadis Atsar. Diantaranya adalah firman Allah Swt:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah. Dan carilah perantara untuk sampai kepada-Nya. Dan berjihadlah kamu di jalan-Nya, mudah-mudahan kamu dapat keuntungan.” (QS. Al-Ma’idah: 35).

Sayid Muhammad bin Alawi Al-Maliki memberikan komentar, bahwa yang dimaksud dengan kata Al-Wasilah dalam ayat ini adalah setiap sesuatu yang dijadikan pendekatan atau perantara kepada Allah Swt. Lebih lanjut ia menjelaskan: “Seperti yang kamu ketahui bahwa lafadz al-wasilah pada ayat di atas bersifat umum yang memungkinkan artinya berwasilah dengan dzat-dzat yang utama seperti para Nabi, orang-orang soleh, baik dalam masa hidup mereka maupun sudah mati. Bisa juga memungkinkan diartikan berwasilah menggunakan amal-amal saleh dengan menjalankan amal-amal saleh itu dan dijadikan perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt,”.

Dalam ayat lain, Allah Swt berfirman:

وْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا

“Jika mereka telah berbuat aniaya pada dirinya (berbuat dosa), lalu mereka datang kepadamu (wahai Muhammad) dan meminta ampunan kepada Allah Swt, kemudian Rasul memohonkan ampunan untuk mereka, tentulah Allah Swt Yang Maha Menerima Taubat dan yang Maha Penyayang akan menerima tobat mereka,” (QS. An-Nisa’: 64).

Imam Al-Bukhari juga meriwayatkan sebuah hadis tentang legalitas Tawassul yang dilakukan oleh sahabat Umar bin Khattab ketika melakukan salat Istisqa’, yaitu:

عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ اَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ اِذَاقَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعِبَاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ الَّلَهُمَّ اِنَا كُنَّا نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا وَاِناَّ نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِعَمَّ نَبِيِّناَ فاَسْقِناَ قاَلَ فَيُسْقَوْنَ (رواه البخارى،٩٥٤)

“Dari Anas bin Malik Ra, beliu berkata: Apabila terjadi kemarau, sahabat Umar bin a-Khathab bertawasul dengan sahabat Abbas bin Abdul Muththalib, kemudian berdoa “Ya Alloh kami pernah berdoa dan bertawasul kepada-Mu dengan perantara Nabi kami, kemudian engkau menurunkan hujan. Dan sekarang kami bertawasul dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan.” Sahabat Anas berkata: Maka turunlah hujan kepada kami.” (HR. al- Bukhori:954).[1]

Mengomentari hal ini, Syaikh Abdul Hayyi al-Amrawi dan Syaikh Abdul Karim Murad menyatakan bahwa pada hakikatnya Tawassul yang dilakukan Sayyidina umar Ra dengan Sayyidina Abas Ra merupakan tawasul dengan Nabi Saw (pada waktu itu telah wafat), disebabkan posisi sahabat Abbas Ra sebagai paman Nabi Saw.[2]

Dalam kitab Iqtidha’ As-Shirath al–Mustaqim, Ibnu Taimiyyah (700-774 H) pun pernah berkata: “Tak ada perbedaan antara orang hidup dan mati seperti yang telah diasumsikan sebagian orang. Sebuah hadis sohih menegaskan: Telah diperintahkan kepada orang – orang yang memiliki hajat di masa khalifah Ustman untuk bertawassul kepada Nabi setelah beliau wafat. Kemudian, mereka bertawassul kepada Rasul, dan hajat mereka pun terkabul. Demikian diriwayatkan oleh at–Thabrani,”.[3]

Sesungguhnya Tawassul dan minta syafa’at (pertolongan) kepada Nabi atau dengan keagungan dan kebesarannya, termasuk diantara sunnah (amal kebiasaan) para Rasul dan orang-orang Salafus Shalihin. Adapun kaitannya dengan ayat-ayat Al–Qur’an yang sering digunakan untuk mengharamkan Tawassul seperti ayat–ayat di bawah ini:

اَلَا للهِ الدَّيْنِ الْخَالِصُ وَالَّدِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُونِهِ اَوْلِياَءَ مَانَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوناَ اِلىَ اللهِ زُلْفَى (الزمر:٢٣ 

 

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang – orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat–dekatnya.” (QS. Al–Zumr: 23).

Setelah memperhatikan ayat tersebut dengan cermat, Syaikh Abdul Hayyi al–‘Amrawi dan Syaikh Abdul Karim Murad menyatakan, “Perkataan para penyembah berhala “Kami menyembah mereka (berhala – berhala itu) supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat–dekatnya. Ayat ini menegaskan bahwa mereka menyembah berhala untuk tujuan tersebut. Sedangkan orang yang bertawassul dengan para Rasul atau orang alim itu tidak menyembah mereka. Tetapi karena dia tau bahwa orang yang ditawassuli tersebut memiliki keutamaan di hadapan Allah Swt dengan kedudukannya. Dan karena kelebihannya itulah kemudian ada orang yang melakukan tawassul dengan mereka.”[4]

Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki juga memberikan komentarnya tentang ayat–ayat yang digunakan dalil untuk mengharamkan tawassul. Bahwa ayat–ayat tersebut ditujukan bagi orang–orang musyrik yang menyembah berhala, tentunya berbeda dengan orang yang bertawassul yang hanya menjadikan sesuatu sebagai perantara menuju Allah Swt. Sekian, waAllahu a’lam[]

____________

[1] Al-Tahdzir min al-Ightirar, hlm. 125

[2] Ibid, hlm. 6

[3] Iqtidha’ As-Shirath al–Mustaqim, hlm. 266, cet. Darul Hadis.

[4] Al-Tahdzir min al-Ightirar, hlm. 113

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.