LirboyoNet, Kediri—Pembacaan Satu Miliar Sholawat Nariyah serempak di seantero Nusantara pada Jumat malam (21/10/16) bukanlah even yang asal muncul, asal rame, atau hanya sebuah cara untuk bergegap gempita. Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, M.A., mengungkapkan bahwa bangsa Indonesia sekarang adalah bangsa yang penuh tantangan. Banyak gangguan dan permasalahan berat yang musti diselesaikan dengan segera.
Ketua Tanfidziyah PBNU ini menyimpulkan, setidaknya, ada tiga masalah besar yang sedang menjangkit bangsa Indonesia. Pertama, wabah ekstrimisme dan radikalisme telah demikian menjamur di tengah masyarakat. Indonesia aman, menurut siapa? Meski tak seekstrim yang terjadi di Irak-Suriah, bom bunuh diri masih saja ditemukan kasusnya. Di satu daerah, pelakunya bahkan masih usia belasan tahun. Menurutnya, ini bukan masalah yang main-main, dan harus dituntaskan secepatnya. Rasulullah saw. saat mengelola pemerintahannya, pernah mengalami masalah yang sama. Dalam menyikapi kemunculan para ekstrimis (murjifûn), Rasulullah saw. tak segan-segan mengusir mereka keluar dari Madinah. Merekalah pengganggu stabilitas dan keamanan, bukan saja kepada pemerintah-negara, tapi juga sampai kepada aspek-aspek sempit dalam masyarakat.
Kedua, kemiskinan yang diderita masyarakat tak berkesudahan. Dengan mengutip beberapa data valid, terungkap bahwa kesenjangan antara masyarakat bawah dan atas sangat tinggi. Lebih dari lima puluh persen kekayaan Indonesia dikuasai segelintir orang. Dan sepertinya, masyarakat masih merasa nyaman dengan fakta ini. Padahal, Abu Hasan as-Syadzili, seorang ulama besar, tak pernah menghendaki kemiskinan. Ia telah dikenal sejarah sebagai ulama yang sangat royal. Pakaiannya, parfumnya, kehidupannya, jauh dari kesan kumuh dan miskin. Tentu saja ini mengundang rasa heran sebagaian muridnya. Bagaimana bisa, seorang ulama dengan segala keilmuan agamanya, ternyata tak lepas dari gemerlap dunia? Dengan tenang as-Syadzili mengurai jawabannya, “Pakaianku yang bagus ini seakan berbicara, ‘anâ al-ghaniy, falâ tarhamûnî (‘Aku seorang alim nan hartawan, jangan kasihani diriku!)’. Sementara pakaian lusuh akan memberi kesan, ‘anâ al-faqîr, fatarhamûnî (Aku miskin, maka kasihani diriku).”
Ketiga, korban keganasan narkoba sudah meraja di segala lini. Lebih-lebih, yang menjadi korban paling riskan adalah para remaja. Beruntungnya, Indonesia masih dibentengi oleh pesantren. Kiai dan pesantrennya adalah pertahanan ampuh (fî amnin wa amânin) bagi serangan narkoba. Keduanya bagaikan Asiyah (istri Firaun) yang gigih merawat Musa. Musa yang kemudian menjadi remaja terbuka matanya: ternyata yang mengelilinginya selama ini adalah budaya-budaya buruk: mabuk-mabukan; pelacuran; dan segala hal buruk lain. Namun kenapa Musa kecil samasekali tak terpengaruh budaya itu? Begitulah cara pesantren melindungi santri-santrinya.
Maka diperlukan kekuatan besar untuk melepaskan diri dari berbagai masalah ini. Pembacaan Sholawat Nariyah menjadi salah satu pilihannya. Mengapa? KH. M. Anwar Manshur, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo yang juga Rais Syuriah PWNU Jawa Timur menegaskan, telah banyak teks sejarah yang memberikan pencerahan bahwa Sholawat Nariyah memiliki faedah-faedah agung. Harapannya, tentu dengan sholawat ini, bangsa akan dibantu oleh satu daya yang super, yang mampu mewujudkan segala kehendak bangsa dan menepikan hal-hal yang tak diinginkan dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh.
Pembacaan Satu Miliar Sholawat Nariyah yang juga dihadiri oleh Prof. Dr. Ir. Muhammad Nuh, mantan Menteri Pendidikan, ini dipimpin oleh KH. Abdulloh Kafabihi Mahrus, pengasuh Ponpes Lirboyo. Para santri dan hadirin dengan khidmat mengikuti bacaan yang dilantunkan oleh beliau. Sebelumnya, acara dimulai dengan menyanyikan lagu kebangsaan.
Beberapa tokoh turut hadir di dalam acara. Diantaranya, Prof. Dr. Kacung Maridjan, Rektor Universitas NU Surabaya, H. Saifullah Yusuf, Wakil Gubernur Jawa Timur, Lilik Muhibbah, Wakil Walikota Kediri, aparat pemerintahan, pengurus PCNU, KH. A. Habibulloh Zaini, pengasuh Ponpes Lirboyo, dan segenap dzuriyah Ponpes Lirboyo.][