Bersama Pesantren, Merajut Kebhinekaan

Implementasi kebhinekaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan langkah konkrit dalam menjaga dan mempertahankan eksistensi agama Islam. Karena sudah menjadi sebuah keniscayaan, agama dan negara adalah dua komponen kekuatan yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dua hal tersebut saling melengkapi dan membutuhkan. Karena negara sebagai kebutuhan yang sangat penting  dalam memanifestasikan syariat Islam secara riil dalam kehidupan. Dengan pengertian, sikap moderat dan inklusif Islam ini juga harus tercermin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Memahami hal demikian, maka menjaga keutuhan NKRI adalah kewajiban bagi seluruh umat Islam. Karena memperjuangkan NKRI harga mati sejatinya adalah langkah prefentif untuk memperjuangkan agama Islam. Sebab dalam konteks keIndonesiaan, agama bisa tegak bila masyarakatnya bersatu damai. Tidak mungkin bersatu damai tanpa memegang teguh prinsip kesatuan dan pengamalan dasar negara yang disepakati masyarakat Indonesia dengan kemajemukannya.

Pesantren, dalam perjalanannya telah memiliki andil besar dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia serta mempertahankannya. Selain perjuangan fisik yang dikorbankan, para ulama’ pesantren selalu menjadi garda terdepan dalam berbagai bentuk formula pemikiran dan kontekstualisasi ajaran salaf sudah dikerahkan demi tetap menjaga kesatuan dan persatuan bangsa. Seperti penerimaannya terhadap Pancasila sebagai asas tunggal dasar negara, membenarkan gelar Waliyyul Amri al-Dlaruri Bi al-Syaukah kepada Presiden Soekarno, dan seterusnya.

PBNU (Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945) merupakan empat pilar bangsa yang menjadi pedoman utama pandangan kenegaraan ulama pesantren. Sebab dengan cara demikian, dakwah Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah dapat berjalan dengan efektif. Sebagaimana ditegaskan Ibnu al-Arabi, berdakwah merupakan bagian siyasah (strategi), sikap ulama pesantren di atas adalah strategi yang paling sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang plural.

Nahdlatul Ulama dan pesantren dengan sikap tawazun dan tasamuhnya tidak membenarkan segala gerakan, tindakan, atau ideologi yang dapat memecah belah umat. Segala bentuk provokasi baik kepada pemerintah atau masyarakat lain yang tidak sepandangan jauh dari garis-garis yang telah digoreskan para ulama pesantren. Hampir tidak pernah ada bukti bahwa NU dan pesantren kontra dengan kekuasaan dan kepemimpinan nasional. Bahkan pesantren dan NU selalu berada digaris terdepan dalam mengawal dan menjaga NKRI dari segala bentuk upaya yang akan merongrong kesatuan dan persatuan. 20

Mengingat berbaai ancaman yang bertubi-tubi terhadap kekuatan bangsa sudah mulai gencar dilakukan. Aktualisasi pemikiran ulama pesantren sudah saatnya dikaji dan dikembangkan.  Agar seluruh elemen bangsa tetap memegang kuat  prinsip kenegaraannya serta dan menyatukan visi dan misi dalam komitmen untuk menjadikan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai penopang utama kekuatan Islam.

 

Bahtsul Masa’il HIMASAL

Selain uraian sebagaimana disebutkan di atas, acara Bahtsul Masail Maudlu’iyyah Himpunan Alumni Santri Lirboyo (HIMASAL) pusat yang bertemakan “Meneguhkan Fiqh Kebangsaan di Tengah Kebhinekaan” juga akan membahas beberapa sub bab materi utama, diantaranya: Nasionalisme Dalam Pandangan Islam, Nahdlatul Ulama Mengawal Pemerintahan Yang Sah, Metode Dakwah Dengan mengedepankan Sisi Rahmat, dan Provokasi Bukan Ajaran Nahdlatul Ulama.

Acara Bahtsul Masail dengan pola kajian tematik tersebut dilaksanakan pada Rabu-Kamis 23-24 Jumadal Akhirah/22-23 Maret besok.  Dalam waktu yang bersamaan Lajnah Bahtsul Masa’il (LBM) Lirboyo juga akan menggelar Bahtsul Masa’il kubro (BMK) yang akan diikuti oleh pesantren-pesantren se-Jawa Madura yang diundang.  Untuk draft soal bisa diunduh di link ini. []

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.