Kunjungan Syaikh Dr. Khalid Zahri dari Maroko

LirboyoNet, kediri – Senin kemarin (21/03) Lirboyo kembali mendapatkan kunjungan tamu ulama besar. Adalah Syaikh Dr. Khalid Zahri, seorang ulama asal negeri Maroko yang menyempatkan datang bersilaturahim ke Pondok Pesantren Lirboyo. Di Aula Al-Muktamar, kunjungan beliau penuh sesak dipadati ribuan santri yang dengan antusias menyimak uraian-uraian penjelasan beliau. bahkan, karena lokasi yang terbatas, banyak diantara santri-santri yang sampai harus rela berdiri di luar Aula karena tidak mendapatkan jatah tempat duduk. Perlu diketahui sebelumnya, beliau adalah seorang ahli di bidang turats dan kitab-kitab klasik karya ulama-ulama islam. Beliau sekarang menjadi kataloger dan termasuk peneliti di Perpustakaan Diraja Maroko. Sebuah perpustakaan bersejarah yang telah berdiri sejak 1200 tahun silam. Perpustakaan ini menyimpan berbagai karya-karya dan bukti-bukti sejarah yang terbilang sangat langka. Salah satu koleksinya adalah mushaf dari abad pertama Hijriyyah yang ditulis oleh generasi sahabat.

Dalam kunjungan singkat ini, beliau menyampaikan setidaknya tiga poin penting. Pertama, tentang bahaya maraknya fatwa-fatwa transnasional. Maksudnya, sekarang sedang berkembang banyak fatwa yang melanggar batas-batas etika dengan tidak lagi memperdulikan kondisi, kultur, dan sosio masyarakat tempat fatwa itu dicetuskan. Dimana fatwa -fatwa dari negeri asing dibawa masuk ke dalam negeri yang sejatinya tidak pas ruang dan waktunya. Kondisi di luar negeri jauh berbeda dengan kondisi di dalam negeri. Dianalogikan sederhana oleh Syaikh Dr. Khalid Zahri, fiqh Imam Syafi’i terbagi menjadi dua, Qoul Qadim dan Qaul Jadid, Qoul Qadim adalah fiqh yang beliau kembangkan semasa di Iraq, yang disesuaikan dengan kondisi daerah tersebut. Sementara Qoul Jadid adalah fiqh beliau semasa menetap di Mesir. Dua corak dalam satu madzhab ini adalah bukti nyata, bahwa kepindahan beliau Imam Syafi’i menuju Mesir tidak dengan membawa fiqh orang-orang Iraq. Akan tetapi membuat kembali dan mendasari pondasi baru madzhab syafi’iyyah dalam bingkai Qoul Jadid. Beliau sesuaikan kultur orang mesir dengan fiqh baru. Contoh yang lebih nyata, sebagaimana diuraikan syaikh Dr. Khalid Zahri, adalah inovasi dari ulama-ulama Maroko dan Andalusia yang mengubah konsep ‘Amal Ahl Al-Madinah, sebuah dasar pengambilan hukum dalam madzhab Malikiyyah yang mengadopsi fiqh keseharian penduduk kota Madinah, menjadi konsep ‘Amal Ahl Fas, Fiqh keseharian penduduk Fez, Maroko, dan ‘Amal Ahl Al-Gharnaqah, fiqh keseharian penduduk Granada, Spanyol. Jelas sekali, ini menunjukkan dalam berfatwa dan berfiqh kita perlu memperhatikan kondisi lingkungan dimana kita menetap.

Kedua, Syaikh Dr. Khalid Zahri menyinggung tentang paham menolak taqlid yang akhir-akhir ini juga semakin marak dan menjadi ancaman. “Hâdza da’wa al-bâhil” ini adalah tuduhan yang sesat, kata beliau.

Terakhir, beliau mengajak lagi kita untuk peduli dengan pentingnya mempelajari ilmu kalam. “Padahal ilmu kalam seperti bneteng yang bisa menyelamatkan kita.” Kata beliau yang telah disarikan lewat penterjemah. Kita tidak perlu peduli dengan orang-orang yang menolak keberadaan ilmu kalam. Karena tokoh-tokoh kita semua, Imam Abu Hanifah, memiliki kitab Fiqh Akbar yang membahas aqidah,  Imam Syafi’i memiliki kitab Rad ‘Ala Ahl Zay’ Wa Bida’, Imam Malik memiliki kitab khusus yang menolak ajaran Qadariyyah, dan dalam peristiwa mihnah al-quran yang dialami Imam Ibn Hanbal, beliau menunjukkan bahwa islam memiliki pandangan kalami.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.