Cerita di Balik Musyawarah

Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-aat al-Qur’aniyyah  yang sering kita sebut dengan P3HMQ merupakan salah satu pondok unit di Lirboyo. Pondok yang dibangun oleh Romo KH Abdullah Kafabihi Mahrus beserta sang istri ibu nyai Hj. Azzah Noer Laila Muhammad. Pondok yang berbasik pendidikan Al-Quran ini memiliki sekolah yang benama Madrasah Al-Hidayah.

Di Madrasah ini ada beberapa tingkatan kelas. Mulai dari tingkat I’dadiyah (SP/sekolah persiapan), Ibtidaiyah (tiga tahun), Tsanawiyah (tiga tahun),  Aliyah (tiga tahun), dan MA (Ma’had Ali dua tahun). Selain sekolah, pesantren ini juga memiliki kelas atau kamar khusus bagi para penghafal Al-Qur’an yang tidak ikut sekolah, juga kamar yang khusus menghafal Al-Qur’an dan sekolah.

Untuk kegiatan penunjang pembelajaran, madrasah mengadakan agenda musyawarah yang dilaksanakan setiap malam hari kecuali malam Jumat. Setiap harinya, musyawarah dimulai dari jam 19:45 Wis, sampai 22:00 Wis. Kegiatan ini wajib diikuti oleh semua santri yang bersekolah di MA HMQ dari semua tingkatan. Sedangkan kegiatan sekolah dilaksanakan pagi untuk kelas 2 Tsanawiyah sampai Ma’had Aly. Dan menjelang sore hari untuk kelas 1 Tsanawiyah ke bawah (Ibtida’ dan SP). Hal ini berbeda dengan sekolah putra yang sebagian waktu sekolahnya dilaksanakan pada malam  hari. Lirboyo memang pondok yang lain dari pada yang lain.

Manfaat dari musyawarah sangatlah banyak. Salah satunya kita dapat saling tukar pemahaman satu sama lain. Yang awalnya kurang paham bahkan belum faham sama sekali bisa menjadi paham dan tentunya bisa menambah wawasan kita. Semua jenis persoalan yang masih kita bimbangkan bisa kita bahas dalam majlis musyawarah ini, tentunya yang masih berkaitan dengan pelajaran. Di MA HMQ  terdapat dua macam metode musyawarah: kelompok besar dan kelompok kecil. Kelompok kecil yang dimaksud di sini yaitu satu kelas dibagi menjadi enam kelompok, di mana setiap kelompok terdapat lima hingga enam anak. Sedangkan kelompok besar, pada prakteknya, ada perwakilan satu anak yang menjelaskan di depan dan memimpin jalannya musyawarah, atau biasa disebut dengan rois (pimpinan) kelas. Dalam musyawarahpun terdapat peraturan dan larangan yang sudah diatur oleh madrasah. Salah satunya, ketika sudah ada bunyi bel dua kali (bel masuk) semua santri wajib lalaran (melafadzkan bait-bait nadzam) bareng sesuai dengan nadzam tingkatannya. Setelah itu dilaksanakan wajib belajar materi yang akan dibahas pada malam itu. Tujuannya agar para siswa bisa memahami materi, bisa mengikuti jalannya musyawarah, dan juga bisa menyampaikan materi dengan baik kepada santri yang lain. Rois kelas juga bertanggungjawab menggantikan santri yang bertugas ketika sakit dan tidak bisa menyampaikan pelajaran. Adapun larangan dalam musyawarah adalah tidak boleh makan, minum, tidur, membawa buku selain pelajaran dll.

Di manapun kalau ada peraturan pasti ada yang melanggar, tak terkecuali di tempat musyawarah. Terkadang terdapat santri yang tidak bisa menahan kantuk dan tertidur. Ada pula yang membawa jajanan  untuk teman temannya. Niatnya sih baik: ingin berbagi rizki dengan temannya karena baru saja mendapat kiriman, ataupun baru disambang, dan pelanggaran-pelanggaran yang lain. Bagi yang melakukan pelanggaran-pelanggaran ini, tentu saja ada takziran (hukuman). Tapi mereka melakukannya terkadang bukan semata-mata untuk melanggar peraturan, melainkan hanya untuk menghibur diri dari padatnya rutinitas mereka setiap hari. Hari-hari yang kadang membuat mereka jenuh bahkan melelahkan. Maka tak aneh di usia remaja mereka yang masih labil bertingkah nyeleneh, yang terkadang sering membuat kesal ibu-ibu pengurus. Menurut saya sendiri, ini merupakan suatu hal yang lumrah di kalangan santri putri khususnya, apalagi di usia mereka yang masih mencari jati diri.

Memang benar bermusyawarah itu banyak sekali manfaatnya. Seperti pengalaman Imam Syafi’i yang mendapatkan ilmunya 90% dari musyawarah. Sementara hasil dari belajar sendiri hanya menyumbang 10%. Subhanallah…. Itulah mengapa Lirboyo sangat mewajibkan musyawarah. Kini saya pun sadar, seandainya tidak ada musyawarah saya pun merasa kurang dalam pemahaman, kurang dalam pengetahuan dan pengalaman. Inilah yang saya sukai dari dari Pondok Lirboyo yang mengutamakan musyawarah. Semoga setelah saya menulis ini bisa memacu semangat saya sendiri dan juga teman teman dalam bermusyawarah, dan kegiatan pondok yag lainnya.[]

 

Penulis, Lia Ali, Kelas 1 Tsanawiyah Madrasah Al-Hidayah Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-aat al-Qur’aniyyah (P3HMQ), kamar Faza 03, Pemenang II Lomba Penulisan Majalah Dinding Ar-Rabiet.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.