Bedug Tua Bertakbir: Dug, Dug, Dug

Beribu tahun yang lalu, di malam yang sama, Nabi Ibrahim mengalami keguncangan psikis nan hebat. Mimpi yang datang tiga kali itu tidak bisa dielak kebenarannya. Mesti dilaksanakan dengan segera. Mungkin sedikit kelegaan hadir ketika Ismail, putranya, dengan lantang menjawab, “ya abati if’al ma tu’maru (wahai bapak, lakukan apapun yang telah diperintahkan kepadamu)”.

Santri pondok Unit Al-Baqarah merayakan Idul Adha dengan merangkai lampion.
Santri pondok Unit Al-Baqarah merayakan Idul Adha dengan merangkai lampion.

Agaknya, keresahan yang serupa -namun dalam porsi yang jauh lebih rendah- dirasakan oleh sebagian santri Lirboyo. Terutama bagi mereka yang belum genap tiga bulan menghela udara pesantren.

Sebenarnya, banyak alasan untuk meredam kerinduan akan rumah. Masing-masing blok maupun kamar memiliki acara tersendiri. Ada dari mereka yang memilih duduk melingkar sejenak di dalam kamar, melantunkan takbir bersama-sama. Atau sekadar membeli nasi goreng beberapa bungkus untuk mereka fatihahi sejenak, lalu tanpa ampun menghabiskannya hingga butir nasi terakhir.

Di Pondok Unit HMC, telah menjadi rutinitas wajib ketika merayakan malam Idul Adha,

Perayaan malam Idul Adha oleh Jamiyyah Khidmatul Ma'had santri HM Al Mahrusiyah
Perayaan malam Idul Adha oleh Jamiyyah Khidmatul Ma’had santri HM Al Mahrusiyah

dengan menyelenggarakan kontes adu keberanian bermain dengan api. Atraksi yang menjadi salah satu yang ditunggu adalah permainan tongkat yang kedua ujungnya ‘dibungkus’ kobaran api. Tidak hanya satu dua santri yang tertantang untuk ikut uji nyali. “Kita kan juga umat Nabi Ibrahim. Masa takut sama api,” cetus salah satu peserta. Dari tahun ke tahun, memang selalu saja ada yang cedera. Entah keseleo saat salah memposisikan lengan ketika memutar tongkat, atau sekedar bulu kaki yang rontok dibelai jilatan api. Tapi itu jauh dari cukup untuk memberi mereka alasan agar tidak melakukan kembali. Mereka yang tidak sempat berpartisipasi dalam atraksi, lebih memuaskan hasratnya untuk sama-sama bersenang-senang di malam hari raya dengan masak bareng. “Ini satu pondok masak bareng semua. Total ada 34 kamar. Jadi ada 34 tungku yang menyala di sini,” tutur Syarif, salah satu santri Unit HM.

Santri sedang menikmati malam Idul Adha di serambi Masjid Agung Pondok Pesantren Lirboyo
Santri sedang menikmati malam Idul Adha di serambi Masjid Agung Pondok Pesantren Lirboyo

Di tempat yang lebih ke timur,  yakni Pondok Unit Al-Baqoroh (asuhan KH. Hasan Syukri Zamzami Mahrus) ada sekumpulan santri yang tak bergemuruh seperti di tempat lain. Mereka lebih memilih merayakannya dengan sedikit sentuhan kreasi, yakni menghias taman kecil mereka dengan lampion-lampion kecil. Lampion itu mereka buat sederhana sekali, cukup dengan menangkupkan kertas bekas mengelilingi lilin yang terlebih dahulu dipasang di garis-garis taman. Indah memang tak harus mahal, bukan?

Ada ironi yang terjadi malam ini di Pondok Unit HM Al-Mahrusiyah. Musholla yang di sana tersedia microphone tiga, dan beberapa alat tabuh, kalah peminat dengan Takbir Bareng JKM (Jam’iyyah Khidmatul Ma’had), yang diselenggarakan di sebelah utara musholla. Tentu saja. Di sana tersaji atraksi mirip yang dilakukan santri Pondok Unit HMC. Mulai memutar-mutar tongkat api, hingga menyemburkan minyak pada obor, sehingga memaksa minat santri beralih ke sana dengan pandangan penuh takjub.

Lalu apa yang terjadi di Masjid Agung Lirboyo?

Takbir berkumandang dari Masjid Lawang Songo. Dilantunkan oleh para muadzin Pondok Pesantren Lirboyo.
Takbir berkumandang dari Masjid Lawang Songo. Dilantunkan oleh para muadzin Pondok Pesantren Lirboyo.

Karena para santri lebih memilih mengisi malam takbiran di kamar masing-masing, jadilah Masjid Lawang Songo sepenuhnya menjadi milik para muadzin. Dipimpin oleh koordinator mereka, Agus Haris Fahad, takbir demi takbir mereka melantingkan sejak selepas jama’ah salat Isya. ditemani tabuhan bedug tua yang bertalu-talu, khidmat benar takbir yang mereka kumandangkan. Adapun bedug tua itu, untuk malam ini saja, terpaksa harus memenuhi hajat para penabuh asing. banyak dari para penabuh itu masih berusia 10 tahun-an. toh bedug tua yang bagian bawahnya pernah ditempeli pengumuman oleh pendiri pesantren itu tak mengeluh. Justru ia ikut bersenandung mengikuti tempo kayu mereka pukulkan, yah, walau cuma berbunyi “dug, dug, dug.”][

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.