LirboyoNet, Blitar- Kemarin (16/02), tak kurang dari empat puluh santri mengikuti praktik lapangan rukyatul hilal. Mereka yang sudah mendapatkan materi kursus falak setiap satu minggu satu kali ini langsung melakukan observasi hilal di pantai Serang, Blitar. Dipandu oleh tim lajnah falakiyyah Lirboyo, dan ketua Badan Hisab dan Rukyat (BHR) Kabupaten Blitar, K. Uzal Syahruna, yang juga anggota tim pelaksana rukyah PBNU.
Rombongan menggunakan tiga mobil elf berangkat jumat pagi, dan transit di kediaman Kiai Syahru untuk menunaikan salat jumat. Setibanya di kawasan pantai Serang, rombongan tidak langsung menuju bibir pantai. Tapi lebih dahulu mendapatkan pengarahan dari Kiai Syahru dan Ust. Asmujib, anggota tim Lajnah Falakiyyah Lirboyo. Kiai Syahru berpesan kepada para peserta observasi rukyah untuk terus memupuk semangat dalam mempelajari ilmu falak. “Jangan mengabaikan ilmu falak selama di pondok, karena di masyarakat akan sangat berguna.”
Beliau menambahkan, konsep rukyah yang selama ini dipakai menjadi acuan Nahdhatul Ulama dalam menentukan awal bulan dan akhir bulan ternyata jauh lebih sulit dalam praktiknya dari pada konsep hisab. Tidak seperti yang ada dalam gambaran orang awam, rukyatul hilal ternyata lebih rumit, karena butuh kejelian dan “keberuntungan”. “Dibandingkan hisab, rukyah jauh lebih sulit. Karena meskipun sampai seratus kali melakukan observasi, belum tentu bisa melihat hilal.” Tutur Kiai Syahru. Hal tersebut bisa terjadi karena kondisi cuaca yang sering tidak mendukung.
Menggunakan alat sederhana, para santri dengan cermat menghitung arah rukyah hakiki. Memakai gawangan pengamatan, dengan sabar para santri menunggu kemunculan hilal. Diprediksi hilal akan muncul dengan ketinggian lima derajat diatas ufuk, dengan lama kemunculan hingga dua puluh menit setelah terbenamnya matahari. Meskipun pada awalnya cuaca cerah, namun tepat setelah matahari terbenam awan tebal diatas cakrawala menghalangi pandangan. Sehingga hilal tidak dapat terlihat.
Meski gagal melihat hilal, tapi gurat senyum dari wajah para peserta observasi tidak surut. Mereka tetap senang, karena mendapat pengalaman baru, “turun gunung” untuk melakan praktik pengamatan secara langsung. Setelah semua dirasa cukup, rombongan bertolak kembali untuk pulang ke Ponpes Lirboyo.[]