Hukum Menjaga Gereja Demi Stabilitas Keamanan

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara bangsa dengan komposisi penduduk yang beragam, baik dari sisi agama, suku, ras dan bahasa. Semuanya hidup rukun berdampingan yang dirajut oleh jiwa persatuan dan kesatuan. Di sini, toleransi memiliki wilayah yang urgen, termasuk dalam hal hubungan antar umat beragama.

Persoalan menjaga gereja pada momentum tertentu, seperti saat Misa Natal dan semacamnya, masih saja menjadi polemik perbincangan yang tak pernah usai. Namun sejatinya, persoalan tersebut telah selesai diperbincangkan oleh para ulama salaf maupun kontemporer yang memiliki kredibilitas keilmuan yang mumpuni. Sebagaimana Syekh Izzuddin bin ‘Abdissalam pernah menuturkan dalam kitabnya yang berjudul Qawaid Al-Ahkam Fi Mashalih Al-Anam:

وَمِنْهَا إعَانَةُ الْقُضَاةِ وَالْوُلَاةِ وَأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ عَلَى مَا تَوَلَّوْهُ مِنْ الْقِيَامِ بِتَحْصِيلِ الرَّشَادِ وَدَفْعِ الْفَسَادِ وَحِفْظِ الْبِلَادِ وَتَجْنِيدِ الْأَجْنَادِ وَمَنْعِ الْمُفْسِدِينَ وَالْمُعَانِدِينَ

“(Hak-hak orang mukallaf) diantaranya adalah membantu para Qadhi (penegak hukum), pemimpin, dan imam umat Islam atas tugas yang telah diwajibkan atas mereka, meliputi tugas untuk memberikan pengarahan, menolak kerusakan, menjaga negara, merekrut pasukan keamanan, serta mencegah para perusak dan penghianat bangsa”.[1]

Menjaga gereja pada momen-momen tertentu yang ditengarai akan terjadi gangguan keamanan, seperti terancamnya keselamatan jiwa yang jelas-jelas dilindungi oleh negara, hukumnya adalah Fardhu Kifayah (kewajiban kolektif). Karena tindakan pengamanan tersebut termasuk dari bagian menjaga stabilitas keamanan negara. Apalagi bila dilakukan atas permintaan dari pemerintah atau yang dalam hal ini adalah aparat kepolisian.[2]

Menjaga gereja yang dilakukan dengan misi mengamankan stabilitas negara serta menjaga keharmonisan sosial bukan termasuk upaya membantu kemaksiatan (i’anah ‘ala al-ma’shiyyah). Kalaupun ada anggapan demikian, maka tidak dapat menjadi kebenaran tunggal. Sebab, tanpa dijaga ritual keagamaan nonmuslim di dalam gereja tetap berjalan, sehingga penjagaan bukan merupakan pemicu dalam terjadinya kemaksiatan nonmuslim tersebut. Sebagaimana penjelasan dalam kitab Buhuts Wa Qadhaya Fiqhiyyah Mu’ashirah:

أَنَّ الْإِعَانَةَ عَلَى الْمَعْصِيَّةِ حَرَامٌ مُطْلَقًا بِنَصِّ الْقُرْآنِ أَعْنِيْ قَوْلَهُ تَعَالَى وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ (المائدة : 2) وَقَوْلَهُ تَعَالَى فَلَنْ أَكُوْنَ ظَهِيْرًا لِلْمُجْرِمِيْنَ (القصص : 17) وَلَكِنِ الْإِعَانَةُ حَقِيْقَةً هِيَ مَا قَامَتِ الْمَعْصِيَّةُ بِعَيْنِ فِعْلِ الْمُعِيْنِ وَلَا يَتَحَقَّقُ إِلَّا بِنِيَّةِ الْإِعَانَةِ اَوِ التَّصْرِيْحِ بِهَا أَوْ تُعِيْنُهَا فِي اسْتِعْمَالِ هَذَا الشَّيْئِ بِحَيْثُ لَا يَحْتَمِلُ غَيْرَ الْمَعْصِيَّةِ

 “Sesungguhnya menolong kemaksiatan adalah haram secara mutlak. Berdasarkan Nash Al-Qur’an, yaitu firman Allah yang berbunyi ‘Dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan’ (QS. Al-Maidah: 2) dan firman Allah yang berbunyi ‘Aku sekali-kali tiada akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa’ (QS. Al-Qashash: 17). Akan tetapi pada hakikatnya menolong itu adalah sebuah kemaksiatan yang secara murni muncul dari aktivitas penolong tersebut. Menolong kemaksiatan itu juga tidak akan terealisasi kecuali ada niatan menolong (kemaksiatan) atau mengucapkannya secara langsung atau menolongnya dalam menjalankan kemaksiatan itu sekiranya tidak mungkin diarahkan pada selain kemaksiatan.”[3]

Dengan demikian sudah jelas pula bagaimana hukum menjaga gereja yang dilakukan oleh aparat keamanan negara. Orientasi menjaga keselamatan warga negara yang dilindungi konstitusi merupakan tugas mulia yang mendapatkan payung hukum syariat. Statement yang mengatakan bahwa tindakan menjaga gereja dianggap membantu kemaksiatan bukanlah kebenaran tunggal. Kejelian dalam memandang kasus persoalan mutlak dibutuhkan demi tercapainya penilaian hukum yang objektif sesuai dengan yang telah digariskan para ulama.

[]waAllahu a’lam


[1] Qawaid Al-Ahkam Fi Mashalih Al-Anam, vol. I hal 134.

[2] Qawaid Al-Ahkam Fi Mashalih Al-Anam, vol. I hal 131

[3] Buhuts Wa Qadhaya Fiqhiyyah Mu’ashirah, hal. 360.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.