Mata Air Keteladanan KH. Imam Yahya Mahrus Lirboyo

kiai imam

Mata Air Keteladanan KH. Imam Yahya Mahrus Lirboyo

KH. Imam Yahya Mahrus adalah mata air keteladanan. Ulama karismatik ini membaktikan seluruh hidupnya untuk santri dan pesantren. Yai Imam —demikian sapaan akrabnya— begitu telaten dalam mendidik santri-santri yang datang dari berbagai penjuru negeri. Beliau tak sekadar mengajar, tetapi juga menjadi mata air keteladanan yang menyejukkan batin bagi para santri atau siapa saja yang datang kepada beliau.

Yai Imam dikenal sebagai tokoh besar yang menguasai dua bidang sekaligus, dunia pesantren dan dunia kampus. Ia merupakan pendiri Pondok Pesantren HM Al-Mahrusiyah, salah satu pondok unit Lirboyo, Kediri, Jawa Timur.

Beliau juga pernah mengemban amanah sebagai Rektor Institut Agama Islam Tribakti Kediri, kampus pelopor perguruan tinggi di pesantren yang didirikan oleh ayahandanya, Almaghfurlah KH. Mahrus Aly. Shalih spiritual dan shalih intelektual melekat pada diri beliau.

Tak hanya itu, Yai Imam juga dikenal sebagai kiai yang saleh sosial. Pribadi beliau yang rendah hati, ramah dengan berbagai kalangan, dalam bersosial membuat orang yang baru kenal tak menyangka jika beliau adalah tokoh besar.

Banyak kesan yang dirasakan dari Yai Imam oleh beberapa kalangan, mulai dari seorang ulama’, pejabat, akademisi, santri, pengusaha, budayawan, artis, tokoh lintas agama dan bahkan orang-orang bengkel ataupun pedagang kaki lima, siapapun pasti memiliki kesan yang tersendiri terhadap beliau.

Hal tersebut karena Yai Imam adalah sosok yang luwes, muda bergaul dan mudah diterima oleh masyarakat. Walaupun beliau seorang Ulama’ besar tetapi beliau tidak malu bergabung dengan orang-orang biasa. Bahkan sering terucap dari mulut penjaga pom bensin, bengkel, ataupun pedagang asongan; “jarang lho mas ada orang besar yang mau bermasyarakat seperti yai imam”.

Uniknya, Yai Imam selalu sedia kantong plastik yang berisi makanan dan rokok untuk kemudian dibagi-bagikan kepada orang-orang yang ada di sektiarnya, bahkan tidak jarang beliau kehabisan uang karena uangnya telah habis dibagikan.

Dalam pergaulan, Yai Imam tidak pernah membeda-bedakan antara satu dan yang lain. Sehingga beliau akrab dengan siapa saja, bahkan setiap hari raya idul fitri tidak sedikit para komunitas tiong hoa dan orang non muslim yang berkunjung ke ndalem (rumah, Red.) beliau.

Dalam kondisi dan situasi apapun, Yai Imam cukup tenang dan bahkan selalu bisa memecahkan suasana dengan candaan dan humor-humor. Sifat humoris beliau tidak hanya dirasakan ketika di forum resmi atau di sebuah acara, akan tetapi juga dirasakan setiap orang yang bertamu atau ngobrol dengan beliau. Hal ini yang membuat banyak orang merasa dekat dan akrab.

Bagi Yai Imam tidak ada yang namanya kasta, menurut beliau duduk dengan siapa saja itu sama baik itu tukang becak, pedagang asongan, pejabat, presiden, bupati dll. inilah salah satu sifat Yai Imam, yang menjadikan beliau banyak dikenal orang dari kalangan manapun.

Beliau merupakan seorang pemimpin yang sangat demokratis dan merangkul, setiap menjadi pemimpin, beliau selalu berusaha memposisikan diri pada posisi mereka yang dipimpin.

Yai imam juga sosok ulama’ yang senang sekali wiridan dan tirakat, beliau tak pernah lepas dari tasbihnya, cerita dari istri beliau Ibu Nyai Hj. Zakiyah Miskiyah,  ketika Ibu Nyai hamil, Yai Imam lebih memperbanyak tirakatnya, mulai dari puasa mutih, jarang tidur malam, memperbanyak wirid, dll.

Ritual yang istiqomah di lakukan oleh Yai Imam  pada saat Ibu Nyai hamil adalah meniup pusar ibu Nyai, setelah beliau jama’ah maghrib sambil membaca doa-doa khusus. Dan salah satu wirid yang selalu di istiqomahkan Yai Imam dalam kondisi apapun adalah istigotsah, meskipun beliau dalam kondisi sakit parah, beliau tak pernah lupa melakukan istighotsah.

Selain itu Yai Imam juga termasuk orang yang sangat disiplin, jarang sekali absen dari tugas yang menjadi tanggung jawab beliau, salah satu contohnya adalah ketika berangkat dinas ke kampus, sesulit apapun waktunya, kalau memang ada keperluan, pasti beliau mampir dulu ke kampus untuk izin pamitan.

Seminggu sebelum beliau sedo (meninggal dunia, Red), dengan kondisi yang sebenarnya tidak memungkinkan, Yai Imam masih sempat mengisi sambutan dalam acara penataran dikampus Institut Agama Islam Tribakti (IAIT) Kediri, selain itu dalam masa kritisnya Yai Imam juga masih sempat mengisi pengajian bandongan Kitab Tafsir Al-Jalalain bersama para santri, dan itu merupakan pengajian bandongan terakhir yang dilakukan beliau.

Selain sebagai figur Kyai di pondok pesantren, beliau juga peduli terhadap  politik negara. Dalam berpolitik Yai Imam berprinsip “jangan terpesona dengan indahnya senyum hatimu, karena sewaktu-waktu bisa menerkamu”. 

Yai Imam adalah sosok yang tegas, keras namun bijaksana. Ketika menemukan santri maupun mahasiswa yang bermasalah, beliau akan bersikap keras. Tapi setelah itu beliau akan bersikap lunak kembali dan menasehati santri atau mahasiswa dengan bijak.

Yai Imam juga selalu menjunjung nilai sportivitas dan objektivitas. Misalnya, pada waktu putra pertama beliau  KH. Reza Ahmad Zahid Lc. MA.  pulang dari yaman, langsung di tugaskan untuk ikut membantu di kampus Institut Agama Islam Tribakti (IAIT) Kediri. Ketika mengetahui putranya melakukan suatu kesalahan, beliau akan bertindak tegas dan di perlakukan seperti dosen atau staf yang lain.

Dimata Gus Mus (KH.A. Mustofa Bisri), Gus Imam rahimahuLlah –begitu aku selalu memanggilnya— adalah sosok yang dalam pandanganku istimewa. Beliau putera kiai besar dan cucu kiai besar dari pesantren yang besar. Jadi, dari perspektif ke-gus-an, beliau itu Gus Besar. Gus kecil saja, biasanya seperti pengeran kecil, tampak kalau tidak malah menampakkan ke-darah-biru-annya. Tapi gus kita yang satu ini tidak. Orang tidak sedikit pun melihat  penampilan jumawa atau angkuh  dalam dirinya.

Bahkan yang menonjol pada dirinya adalah ketawadukan yang luar biasa. Terutama apabila berkumpul dengan kalangan masyayikh.  Saya sering melihatnya bersimpuh di bawah kaki gurunya, seolah-olah beliau bukan kiai tapi santri.

Mungkin karena ketawudakannya itu ditambah gaya hidupnya yang sederhana, banyak orang yang tidak tahu bahwa Gus Imam adalah seorang pendidik sejati yang  ikut  berusaha  melawan konsep pendidikan  ‘agama-umum’ peninggalan kolonialis Belanda.

Beliau mengasuh dan mengelola pondok pesantren sekaligus perguruan tinggi dan berhasil mengembangkan keduanya dengan sukses. Dalam hal ini, Gus Imam telah berhasil nguri-nguri dan bahkan meningkatkan aatsaar dan tinggalan orangtua beliau yang berarti telah dengan saksama melaksanakan birrul-waalidain.

Kelebihan Gus Imam yang lain, adalah kesukaannya bersilaturahmi dan pergaulannya yang luas. Beliau hampir tidak pernah absen dalam acara-acara Nahdlatul Ulama atau acara-acara yang melibatkan kiai-kiai pesantren, termasuk yang bersifat nasional. Dalam acara-acara semacam itu, beliau selalu berusaha untuk aktif  berpartisipasi dan memberikan kontribusi; tutur, Gus Mus seorang kiai yang sastrawan yang budayawan yang negarawan juga yang merupakan alumni dari Pondok Pesantren Lirboyo.

Tak terasa pengasuh Pondok Pesantren HM Al-Mahrusiyah Lirboyo kediri, KH. Imam Yahya Mahrus telah meninggalkan kita dua belas tahun yang silam. Peringatan haul kedua belas Yai Imam ini rencananya akan digelar pada Sabtu 09 September 2023M. Adapun untuk lokasi acara bertempat di Pondok Pesantren HM Al-Mahrusiyah III Ngampel Kec. Mojoroto Kota Kediri. Semoga kita bisa mengambil hikmah dan keteladanan dari almarhum. Wallahu A’lam Bishawab.

REFERENSI 

Diolah dan dikembangkan dari beberapa sumber dan data pendukung lainnya.

Media Sosial Pondok Pesantren Lirboyo : InstagramFacebookYoutube.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.