Satu Dasawarsa Peringatan Haul Mbah Idris Lirboyo

Satu Dasawarsa Peringatan Haul Mbah Idris Lirboyo

Peringatan adalah tanda cinta. Lewat peringatan, kita berarti menaruh perhatian pada sesuatu secara sadar dan utuh. Seperti kata seorang bijak: lawan dari cinta bukanlah benci, melainkan ketidakpedulian. Itulah kenapa seorang pencinta rela menyita waktunya demi perhatian, peringatan, simpati, dan segala rasa kepedulian lainnya demi suatu hal yang dianggapnya pantas.

Dihari haul satu dasawarsa guru mulia almarhum KH Ahmad Idris Marzuqi yang wafat pada tanggal 10 Sya’ban 1435 Hijriah. Saya ingin menuliskan sekilas tentang manaqib KH. Ahmad Idris Marzuqi, yang dalam perjalanan hidupnya mengandung banyak suri tauladan dan isnpirasi. Tulisan ini hanya sekedar untuk mengobati kerinduan dan mengambil teladan yang bisa kita ambil dari sosok beliau.

Menuliskan biografi tokoh seperti KH. Ahmad Idris Marzuqi, sangatlah tidak mudah. Di samping karena keterbatasan literatur juga dibutuhkan kecermatan ketelitian dan kesabaran dalam menggali sumber-sumber data historis agar apa yang ditulis dapat akurat.

KH. Ahmad Idris Marzuqi (1940M – 2014M) atau yang lebih akrab dipanggil Mbah Idris, merupakan salah seorang ulama kharismatik sekaligus pengasuh ke-4 Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. Beliau adalah putra dari Almaghfurlah KH. Marzuqi Dahlan. Ibu beliau, Almaghfurlaha Nyai Hj Maryam, adalah putri ke-6 dari Almaghfurlah Simbah sepuh KH. Abdul Karim (pendiri Pesantren Pesantren Lirboyo).

Mbah Idris merupakan cucu pendiri Pondok Lirboyo, KH. Abdul Karim, Mbah Manab. Selama hidup, Mbah Idris dikenal sebagai Kiai yang zuhud dan tawadhu. Beliau sangat mirip ayah beliau, KH. Marzuqi Dahlan yang juga masyhur sebagai sosok sufi agung yang memiliki tawadhu nan zuhud.

Sebelum menjadi pengasuh Pondok Lirboyo, Mbah Idris sudah dipersiapkan khusus oleh Almaghfurlah KH. Mahrus Ali, pamannya, bakal melanjutkan estafet kepimpinan Pondok Pesantren Lirboyo sepeninggalan sang kakek, sang ayah, dan sang paman, bersama dengan KH. Anwar Manshur, KH. Imam Yahya Mahrus, KH. Abdullah Ma’sum Jauhari, dan KH. Ahmad Habibullah Zaini. Beliau-beliau bersama-sama mengemban amanah mengasuh Pondok Lirboyo sejak tahun 1985 M.

Sejak kecil, Mbah Idris belajar dan memperdalam ilmu agama di Pondok Lirboyo, di bawah bimbingan khusus dari ayahandanya, yakni KH. Marzuqi Dahlan (pengasuh kedua Pesantren Pesantren Lirboyo). Setelah menyelesaikan seluruh jenjang pendidikan di Madrasah Hidayatul Mubtadiin Lirboyo. Beliau di usia yang masih muda diangkat menjadi mustahiq. Mustahiq adalah sebutan guru kelas di Lirboyo. Tugasnya mengajar hampir semua mata pelajaran sekaligus bertindak sebagai wali kelas. Sisa mata pelajaran yang tidak diajar oleh mustahiq, diserahkan kepada pengajar lain yang disebut munawwib.

Ada sebuah tradisi di pesantren bagi santri yang baru kembali dari kampung halaman. Umumnya santri itu membawa buah tangan untuk dihaturkan kepada gurunya di pesantren, biasanya disebut barang sowanan. Santri-santri yang menjadi murid di kelas Mbah Idris tidak ketinggalan melestarikan tradisi itu.  Apalagi Mbah Idris lebih dari sekadar guru biasa, beliau adalah putra kiai mereka, sehingga oleh-oleh yang disiapkan untuk beliau selalu istimewa.

Mbah Idris sebetulnya tidak mengharapkan pemberian-pemberian itu. Beliau merasa tidak enak bila murid-muridnya harus repot terlebih dahulu demi menyiapkan oleh-oleh. Tapi, menolak itu semua akan mengecewakan hati murid-muridnya. Bukan Mbah Idris namanya jika tega mengecewakan hati murid. Akhirnya, demi melegakan mereka yang memberi, beliau selalu menerima itu semua. Namun, hanya sebatas menerima saja. Selanjutnya oleh-oleh akan dibiarkannya tergeletak begitu saja. Jangankan menikmati isinya, sebatas menengok ada apa saja di dalamnya pun tidak.

Biasanya Pak Rohani Ngronggot, Nganjuk. (Teman Mbah Idris) yang akan membereskan urusan oleh-oleh yang tidak terurus tersebut. Beliau akan mengumpulkan semua oleh-oleh yang berceceran di kamar Mbah Idris, kemudian dibawanya ke ndalem untuk diserahkan kepada Mbah Nyai Maryam, ibunda Mbah Idris.

Sikap Mbah Idris ini menunjukkan bahwa sejak muda, beliau sudah tidak terpengaruh oleh pemberian-pemberian orang lain. Dan sikap ini senantiasa melekat di diri beliau hingga akhir hayat.

Mbah Idris adalah putra asli Lirboyo dan tidak mondok selain di Lirboyo, kecuali sekadar tabarrukan di beberapa pondok lain saat bulan Ramadhan. Dengan begitu, beliau berkesempatan memperhatikan lebih dekat gerak-gerik perilaku pengasuh yang merupakan kakeknya sendiri, yang dikemudian waktu diteruskan oleh ayahnya. Dan memang, sifat yang dimiliki dua panutannya tersebut banyak yang menetes dan menitis dalam diri Mbah Idris, terutama satu sifat yang paling menonjol, yakni zuhud.

Gus Abdul Muid Shohib, salah satu kerabat Mbah Idris sekaligus pengagum beratnya, menceritakan sosok inspirasi kezuhudan yang dimiliki Mbah Idris. “Mbah Yai (KH. Ahmad Idris Marzuqi) jelas terinspirasi dari orang tua dan kakeknya. Jelaslah Mbah Yai Marzuqi dan Mbah Yai Manab. Kedua sosok itu sama-sama zuhud. Mbah Yai Marzuqi kita tahu sendiri dari cerita-cerita yang beredar, kadang pakaian yang dimiliki hanya beberapa potong saja. Mbah Yai Manab konon sampai wafat tidak tahu beda nominal uang. Jadi, kalau punya uang tanya ke orang lain, “iki piro?” Kalau zaman sekarang, ya tidak tahu perbedaan antara seratus ribu, lima puluh ribu, dan dua puluh ribu. Iku sangking zuhude,” ujarnya.

Asisten Mbah Idris yang sering mengawal Mbah Idris bepergian, Dr. KH. A. Fahrur Rozi, S.Ag, M.Pd.I juga mengungkapkan hal yang sama. Pengasuh Pondok Pesantren An-Nur 1 Bululawang itu mengakui bahwa kiai yang sering dikawalnya tersebut merupakan sosok yang sangat sederhana meski reputasinya sudah dikenal khalayak luas dan dihormati tokoh-tokoh tingkat nasional. “Beliau itu sangat sederhana. Pakaiannya sederhana meski Bu Nyai (istri Mbah Idris) mempunyai butik. Tidak jarang saya yang memilihkan pakaian untuk beliau, menganjurkan agar beliau pakai sorban, karena beliau akan bertemu dengan tokoh-tokoh nasional. Saya pun sering mengaitkan kancing baju beliau yang sering tak dihiraukan. Tidak ada kesan beliau tampil mengada-ada. Beliau itu polos apa adanya,” ujar kiai yang juga jajaran Ketua PBNU itu.

Menjadi ulama dan tokoh panutan umat, serta mengasuh puluhan ribu santri di pondok pesantren tentu bukan tugas yang ringan. Semakin hari ke hari santri yang mondok di Lirboyo kian bertambah banyak. Tentu hal ini menjadi suatu amanah yang berat yang harus beliau pikul.

Mbah Idris termasuk kiai kharismatik yang memiliki pengaruh besar. Banyak santri-santri beliau yang kelak jadi tokoh besar. Beliau menjadi pengasuh ke-4 Lirboyo, setelah kepengasuhan KH. Abdul Karim, KH, Marzuqi Dahlan, dan KH. Mahrus Ali. Wallahu A’lam Bishawab.

يَا اَللّٰهْ يَا أَنِيْسْ سَهِّلْنَا فِيْ التَّدْرِيْسْ * تَوَسَّلْنَا بِمُدَرِّسْ بِالشَّيْخِ مْبَاهْ أَحْمَدْ إِدْرِيْسْ

“Wahai Allah, Wahai Dzat yang Maha Ramah. Mudahkanlah kami dalam belajar. Kami berwasilah kepada-Mu dengan Mudarris (orang yang mendidik) yaitu Mbah Kiai Ahmad Idris.”

 

Baca Juga; Mengenang Romo KH. Ahmad Idris Marzuqi Lirboyo

Follow Instagram; @pondoklirboyo

Subscribe; Pondok Lirboyo

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.