Tradisi Lembaga Islam Nusantara

    Oleh: KH. Reza Ahmad Zahid, Lc. MA.

    Perkembangan Islam di Asia Tengggara

    Menurut Thomas W. Arnold: The preaching of Islam: Islam di Asia Tenggara sejatinya memiliki watak yang ramah, damai dan toleran. Hal ini disebabkan oleh penyebaran agama Islam di Asia Tenggara yang dilakukan secara damai, terutama di Indonesia yang dilakukan dengan jalan perdagangan dan sufistik, berbeda dengan cara penyebaran di Asia Selatan, Timur Tengah dan Afrika yang disebarkan melalui ekspansi. Sehingga penyebaran agama Islam yang dilakukan dengan damai memiliki nilai tersendiri dalam hubungan dengan socio-cultural masyarakat Nusantara. Menurut Naquib al-Atthas, Kedatangan Islam ke kawasan Asia Tenggara merupakan pencerahan bagi masyarakat setempat, karena Islam sangat mendukung intelektualisme yang tidak terlihat pada masa Hindu dan Buddha.

    Proses Islamisasi Indonesia

    Strata sosial kultural masyarakat Jawa sebelum kehadiran Walisongo sangat dipengaruhi oleh kehidupan animis-panteistik yang dikendalikan oleh para pendeta, guru ajar, biksu, wiku, resi dan empu. Mereka dianggap mempunyai kemampuan mistis dan kharismatik. Kedudukan vital mereka diambil alih para wali dengan tetap berfokus pada kehidupan mistic-religious. Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan Kebudayaan Islam.

    Karakteristik pergantian budaya lokal oleh budaya Islam masih perlu dibahas lebih dalam, apakah pergantian tersebut dalam konteks konversi ataukah adhesi? Sejarah Islam di Indonesia beranjak pada corak umum atau watak kebudayaan Islam yang datang, untuk kemudian ‘menyetubuh’ ke dalam struktur kebudayaan masyarakat Nusantara. Hal ini berangkat dari satu postulat bahwa pengislaman Indonesia ternyata terjadi tanpa ‘melukai’ dan menghilangkan, bukan hanya simbol-simbol dari agama dan kepercayaan pra-Islam, melainkan bahkan antara unsur esoteris dari kedua belah pihak ternyata mengalami penyatuan yang substantif. Disinilah yang menyatakan bahwa Islamisasi di Indonesia merupakan praktik konversi digugat, karena term tersebut mengindikasikan terjadinya proses penaklukan antara Islam universal, dengan agama lokal, dimana yang terjadi bukan sebuah dialog antara dua kebudayaan, melainkan ‘ikonoklasme’ (penghancuran ikon budaya lokal oleh imperialisasi kebudayaan global). Dari sini, maka proses Islamisasi di Indonesia kemudian lebih tepat disebut ‘adhesi’ dimana agama Islam dengan agama pra-Islam mengalami proses dialog, yang mengakibatkan seorang Muslim Indonesia menjadi muslim tanpa kehilangan akar tradisi keagamaan Hindu-Budha. Bahkan secara radikal tesis sinkretisme yang menyatakan bahwa bukan Islam yang menaklukkan agama Jawa, tetapi struktur kebudayaan Jawalah yang memaksa Islam untuk tunduk kepada sistem keyakinan yang mengacu pada mistisisme.

    Menarik kiranya tesis Woodward yang menggambarkan kesamaan karakteristik Islam Nusantara pada geo-kultural Kerala (India Selatan) yang berada di pantai Malabar. Hal tersebut misalnya dapat dilihat dari kesamaan bentuk masjid yang terbuat bukan dari batu atau bata merah, melainkan dari kayu dengan tiga susun atap (Meru) seperti terdapat di Masjid Demak, masjid keraton Kota Gede serta Imogiri Yogyakarta. Model masjid ini menjadi mainstream -khususnya di Jawa-, yang membuktikan sebuah proses Hinduisasi, dimana pembentukan masjid berangkat dari arsitektural kuil-kuil Hindu. Demikian juga organisasi sosial dalam keagamaan yang berorientasi ulama seperti pesantren di Indonesia, dan madrasah di Kerala yang diarahkan pada penghafalan dan pengulangan teks-teks klasik Arab serta penghormatan para wali, yang kebanyakan merupakan tokoh asli lokal. Kepemimpinan kiai juga terdapat di Kerala yang disebut ‘thangal’ di mana kepemimpinan kharismatik ini kemudian digerakkan untuk melaksanakan berbagai ritual kerakyatan semisal ziarah ke makam keramat, hidangan yang diberikan saat pelaksanaan ritual (di Jawa: selametan dan di Kerala: Nercha) dengan bentuk makanan dari tepung beras (appem, appam).

    Sebagian bentuk metode dakwah Walisongo dengan media paduan budaya lokal yang sampai saat ini masih menjadi simbol tradisi dan budaya Indonesia antara lain:

    1. Sunan Ampel: MOH LIMO (Moh Main, Moh Ngombe, Moh Maling, Moh Madat, Moh Madon).
    2. Sunan Bonang: Suluk Wijil, Gubahan Gamelan Jawa, Tembang Tombo Ati, Dalang wayang.
    3. Sunan Giri: Mainan anak-anak seperti: Jelungan, Jamuran, Lir-Ilir, Cublak Suweng, Gending Asmaradana dan Pucung.
    4. Sunan Kalijaga: Wayang, baju taqwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, dsb.
    5. Sunan Kudus: hampir sama denga sunan Kalijaga seperti halnya beliau membuat pancuran wudlu sebanyak delapan yang juga termasuk melambangkan delapan jalan Buddha.
    6. Sunan Muria: Sinom dan Kinanthi.

    Pesantren Sebagai Pusat Penyebaran Islam

    Pesantren sebagai pusat transmisi Islam di Nusantara sudah berdiri sejak menyebarnya Islam ke Nusantara pada abad ke-15. Tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren adalah Syeikh Maulana Malik Ibrahim (W. 1419 H.) yang berasal dari Gujarat, India sekaligus tokoh pertama yang mengislamkan Jawa. Maulana Malik Ibrahim dalam mengembangkan dakwahnya menggunakan masjid dan pesantren sebagai pusat transmisi keilmuan Islam. Pada gilirannya, transmisi yang dikembangkan oleh Syeikh Maulana Malik Ibrahim ini melahirkan Walisongo dalam jalur jaringan intelektual Islam/Ulama. Dari situlah kemudian Raden Rahmat (Sunan Ampel) mendirikan pesantren pertama di Kembang Kuning, Surabaya pada tahun 1619 M. Selanjutnya sunan Ampel mendirikan pesantren di Ampel Denta, Surabaya. Pesantren ini semakin lama dan semakin terkenal dan berpengaruh luas di Jawa Timur pada saat itu. Pada tahap selanjutnya, berdiri pesantren baru di berbagai tempat, seperti Sunan Giri di Gresik, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat di Pacitan, Lamongan, dan Raden Fatah di Demak, Jawa Tengah. Dalam konteks inilah, pesanten tetap menjadi pusat transmisi Islam kedua setelah Masjid pada periode awal abad XVI.

    Dalam pengamatan Pigeaud dan De Graaf, pesantren diandalkan sebuah komunitas independen yang tempatnya jauh, di pegunungan dan berasal dari lembaga sejenis zaman pra-Islam, Mandala Danaysrama. Memang beberapa waktu setelah Jawa di Islamkan, tempat-tempat pertapaan masih di pertahankan. Bahkan dalam karya-karya sastra Jawa klasik seperti serat Cabolek dan serat Centhini, sejak permulaan abad XVI telah banyak pesantren-pesantren yang masyhur yang menjadi pusat-pusat pendidikan Islam tertua yang merupakan kombinasi antara madrasah dan pusat kegiatan tarekat. Dengan demikian, pesantren sebagai pusat transmisi Islam Nusantara mencerminkan pengaruh asing yang bercampur dengan tradisi lokal yang lebih tua. Pesantren tidak murni model kelembagaan Islam Nusantara, melainkan campuran antar berbagai kelembagaan Islam yang ada di dunia Islam.

    Menurut Martin Van Bruinessen: Pada awal datangnya Islam, transmisi keilmuan Islam dilakukan denga proses belajar mengajar di Masjid, Halaqah, Kuttab, atau mungkin madrasah dan itulah yang menjadi cikal bakal pesantren. Selanjutnya, masih menurut Martin, bahwa pada tahun 1819 M. sewaktu Belanda melakukan swipping lembaga pendidikan di Jawa, mereka tidak menemukan satupun lembaga yang berbentuk pesantren melainkan proses belajar mengajar seperti yang telah disebutkan di atas.

    Makna Santri dan Pesantren

    Pesantren menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti, “Asrama tempat santri atau tempat murid-murid mengaji.” Adapun ‘santri’ memiliki banyak arti dan asal bahasa, di antaranya adalah:

    1. Santri adalah seorang pelajar sekolah agama. (arti umum)
    2. Santri adalah sebutan bagi penduduk jawa yang menganut agama Islam dengan sungguh-sungguh. (Clifford Geertz)
    3. Santri berasal dari bahasa Sanskerta yang berasal dari kata Sant yang berarti orang baik dan Tra yang berarti menolong. Jadi, santra berarti orang baik yang suka menolong. (Abu Hamid)
    4. Santri berasal dari bahasa Sanskerta yang berasal dari kata Sastri yang artinya melek huruf atau Cantrik yang artinya orang yang mengabdi kepada guru. (Nur Cholis Madjid)
    5. Santri berasal dari bahasa India, Shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama dan buku-buku pengetahuan. (Johns dan C. C. Berg)
    6. Santri berasal dari bahasa Tamil, Sattiri yaitu orang yang tinggal di sebuah rumah miskin atau bangunan secara umum. (Robson)

    Fungsi dan Klasifikasi Pondok Pesantren

    Di atas telah disebutkan, bahwa pesantren memiliki fungsi sebagai pusat pengembangan agama Islam. Fungsi ini telah ada sejak adanya pesantren dan sejak disebarkannya Islam di Indonesia. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan manusia, sekarang pesantren telah menjadi suatu lembaga yang multi fungsi, di antaranya adalah: sebagai lembaga dakwah, lembaga pengkaderan ulama, pengembangan ilmu pengetahuan baik itu ilmu agama, umum dan bahkan skill atau keterampilan dan sebagai lembaga pengabdian masyarakat.

    Adapun karakteristik pondok pesantren, secara garis besar dapat kita bagi dalam dua bagian, yaitu: Pesantren Salafy dan Khalafy. Pesantren Salafy adalah pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik (yang dikenal dengan istilah kitab kuning). Adapun Pesantren Khalafy adalah pesantren yang telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam sebaran kurikulumnya. Di samping kedua istilah tersebut, biasanya pesantren salafy disebut sebagai pesantren tradisional dan pesantren khalafy disebut sebagai pesantren modern. Ada juga yang menambahkan satu lagi tipologi pondok pesantren, yaitu pondok pesantren kombinasi, yakni yang mengkombinasikan antara ilmu agama dan ilmu umum dalam satu pesantren. Bahkan secara spesifik, penyebutan pesantren terkadang tergantung pada karakteristik sang kiai yang mengasuh pesantren tersebut. Bila sang kiai memiliki keahlian di bidang baca dan hafalan Alquran, maka pesantren tersebut dinamakan sebagai pondok Tahfidzil Quran (hafalan Alquran). Bilamana sang kiai memiliki keahlian di bidang ilmu tasawuf dan tarekat, maka pesantrennya dinamakan pondok tarekat. Bahkan, bisa saja terjadi penamaan pondok pesantren dengan nama pesantren ilmu suwuk (pentabiban) atau politik, bilamana sang kiai memiliki profesi di kedua bidang tersebut.

    Sistem Pendidikan dan Pengajaran Pondok Pesantren

    Pada prinsipnya, pesantren memegang teguh suatu keyakinan bahwa mencari ilmu itu adalah kewajiban bagi seluruh umat muslim. Mengajarkan ilmu yang telah ditimba itupun suatu hal yang wajib. Dalam pesantren dikatakan bahwa ‘Sampaikanlah apa-apa yang telah kamu dapatkan dari-Ku (wahai Muhamad) walaupun hanya se-ayat.’

    Ilmu yang dipelajari oleh santri adalah ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu konsentrasi lain bila pesantrennya memiliki karakteristik khalafy atau kombinasi. Contoh daripada ilmu agama antara lain: ilmu nahwu, sharaf, balaghah, fikih, ushul fiqh, tafsir, hadis, dan lain-lain. Untuk mencapai ilmu-ilmu tersebut, para santri dibekali satu pengertian tentang niat mencari ilmu hanyalah untuk menghilangkan kebodohon dan menegakkan agama Allah SWT. Bila demikian, maka mencari ilmu memiliki nilai ibadah. Karenanya, kita harus selalu menjaga tingkah laku kita dan selalu menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT. Doktrin inilah yang harus dipegang oleh santri dan harus diaplikasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari.

    Kiai, guru atau ustadz termasuk komponen utama dalam pondok pesantren. Sebagai orang yang memiliki wawasan keagamaan yang tinggi, kiai memiliki posisi yang luhur. Para santri sudah seharusnya memberi rasa hormat dan taat kepada sang kiai. Karena kiai bukan hanya sebagai mediator transformasi ilmu akan tetapi juga membimbing para santri untuk menjadi orang yang benar. Maka, kiai adalah sumber cahaya bagi santrinya. Barang siapa yang mendekat maka dia akan tercerahkan dan barang siapa yang menjauh maka dia akan suram.

    Adapun bentuk pengajaran di lingkungan pondok pesantren adalah dengan memakai sistem klasik bandongan (halaqoh), yakni dengan cara membentuk satu lingkaran dengan duduk bersila dan saling berhadap-hadapan antara guru dan murid. Kemudian sistem sorogan, yakni satu-persatu murid membaca kitab di hadapan guru dan kemudian guru membenarkan bacaan dan menjelaskan isi kitab yang dibaca. Ada juga sistem klasikal, yaitu sistem pengajaran modern dengan membagi setiap tingkatan di setiap kelompok atau ruangan dengan penataan menejemen yang sistematis.

    Bahan Bacaan: Antologi NU, LTNU; The Religion of Java, Clifford Geertz; Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan, Abu Hamid; Bilik-Bilik Pesantren, Nurcholis Madjid; Tradisi Pesantren, Zamakhsari Dhofier; Pembaruan Pendidikan di Pesantren lirboyo, Ali Anwar; The Preaching of Islam, Thomas W. Arnold; Ta’limul Muta’allim, Zarnuji; Kitab Kuning, Martin Van Bruinessen; dll.

    Dipresentasikan pada acara “Seminar Islam Nusantara” di Pondok Pesantren Haji Ya’qub (PPHY) Kota Kediri, dalam rangka menyambut Hari Santri Nasional, 22 Oktober 2015. Judul asli artikel adalah, “Pondok Pesantren Sebagai Tradisi Lembaga Pendidikan Islam Nusantara.”

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.