Persetubuhan Islam (dan) Nusantara

    LirboyoNet, Kediri – Pada Kamis malam Jumat (22/10) lalu, Seminar bertemakan Islam Nusantara digelar di Aula Pondok Pesantren Lirboyo Unit HY (Haji Yakub). KH. Reza Ahmad Zahid Lc. MA, putra sulung dari almaghfurlah KH. Imam Yahya Mahrus, menjadi pemateri tunggal pada malam itu.

    Seminar yang dihadiri sekitar tiga ratus santri itu dibuka dengan pemaparan beliau tentang perjuangan para ulama dalam memelihara kemerdekaan Republik Indonesia, yang beberapa bulan setelah teks proklamasi dibacakan, ada gelagat dari Sekutu untuk menjajah RI kembali.

    “Dalam situasi yang genting itu, KH. Hasyim Asy’ari membangun dialog dengan Kiai Abbas Buntet, Cirebon. Diputuskanlah Kiai Abbas menjadi Panglima Angkatan Laut. Beliau juga berdialog dengan Kiai Faqih Langitan, yang kemudian menjadi Panglima Angkatan Udara,” Beliau mengulang cerita yang telah didapatkan dari salah seorang santri Kiai Faqih, bahwa ketika Kiai Faqih menunjukkan jarinya ke arah pesawat musuh, seperti dikomando, pesawat itu terbang sesuai ke mana jari beliau diarahkan. Kalau menuding ke bawah, jatuhlah ia.

    “Dan yang menjadi Panglima Angkatan Darat adalah syaikhina Mahrus Aly,” lanjut beliau, yang notabene cucu dari almaghfurlah KH. Mahrus Aly.

    Ketika itu, KH. Mahrus Aly mengutus salah satu santrinya, Syafi’i Sulaiman untuk memata-matai pasukan Inggris. Setelah dibacakan hizb bermacam-macam, Syafi’i yang saat itu masih berusia 15 tahun melenggang masuk ke markas pasukan Inggris, yang dipimpin oleh Brigjen AWS. Mallaby itu.

    Dengan kecerdasannya, dia hafalkan peta kekuatan musuh. Dari jumlah tentara, tank, persediaan senjata, pesawat yang dimiliki, sampai rute dan denah perang. Dia haturkan semuanya kepada KH. Mahrus Aly. Oleh Mbah Mahrus, sapaan akrab KH. Mahrus Aly, laporan itu diantarkan kepada Mayor Mahfudz, kemudian diteruskan kepada Kiai Suyuti, dan disampaikan kepada KH. Hasyim Asy’ari.

    Pada tanggal 9 November, Kiai Abbas Buntet yang ditunggu-tunggu oleh KH. Hasyim Asy’ari, meminta santri yang diajaknya dari Cirebon untuk menyimpan biji-biji kacang hijau. “Jangan sampai biji-biji itu jatuh ke tanah,” ucap Gus Reza meniru perintah Kiai Abbas. Ketika beliau dihadang musuh di Semarang, beliau meminta kacang hijau tadi. Dilemparkannya ke tanah. Sejurus kemudian, kacang hijau itu berubah menjadi satu pasukan tentara.

    Setelah materi pembuka yang berkaitan erat dengan latar belakang Hari Santri Nasional itu, beliau mengemukakan bahwa setidaknya ada dua opini besar terkait proses masuknya Agama Islam ke bumi Nusantara. Kubu pertama menyatakan bahwa Islam menjadi obyek yang diterjemahkan sesuai budaya setempat. Adapun sebagian pakar Islam Indonesia yang lain, lebih memilih pelunakan Nusantara sebagai jalan yang diambil oleh para penyampainya.

    Dari dua opini ini, Islam me-Nusantara dan Nusantara menjadi Islam, Gus Reza menawarkan jalan tengah. “Islam datang ke Indonesia melalui persetubuhan dengan budaya Nusantara. Keduanya punya andil yang setara, fifty-fifty. tidak ada unsur pemerkosaan diantara kedua pihak.” Konsep Islam tidak direduksi sehingga ada yang hilang ketika diterjemahkan oleh budaya. Pun tidak semena-mena kepada budaya dengan bukti bahwa banyak tradisi Islam yang berbeda dengan budaya di tempat di mana Islam lahir.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.