Unta yang Meluruskan Hukum Rasulullah saw

Unta yang Meluruskan Hukum Rasulillah Saw.

Seorang yahudi melapor kepada Nabi. Unta miliknya ada yang mencuri. Seorang muslim dia curigai. Di depan Nabi, ia hadirkan empat saksi. Keempat-empatnya bersaksi, bahwa muslim yang dituduh si Yahudi memang benar-benar mencuri.

Sang muslim merasa tak bersalah. Unta itu adalah benar-benar miliknya. Tetapi Nabi, berdasar saksi-saksi, tetap memvonisnya. Harus dipotong tangannya. Ini adalah bentuk ketegasan Nabi. Hukum harus tetap berdiri. Walau terhadap kawan sendiri.

Tampaknya sang muslim memang benar-benar tak bersalah. Ia kukuh menolak hukuman itu. Ia yakin. Empat saksi yang dihadirkan itu munafik semua. Tetapi apalah daya. Ia hanya bisa berpasrah. Ia mendesah. Menghempaskan masalahnya kepada Allah semata. “Wahai Tuhanku. Engkau mesti tahu. Aku sungguh tak mencuri unta itu.”

Ia lalu menghadap Rasulullah saw. Melepaskan satu anak panah terakhirnya. “Wahai Rasulullah. Hukummu adalah hukum yang benar. Tetapi tolong. Tanyakan pada unta itu. Siapakah pemiliknya.” Permohonan yang aneh. Lebih terdengar seperti ungkapan keputusasaan seorang terdakwa. Bukan bentuk pembelaan yang semestinya. Bagaimana pula meminta kesaksian dari seekor hewan, yang tak berakal dan tak bisa bicara?

Namun tanpa diduga, Rasulullah menuruti kemauan aneh itu. Beliau bertanya pada unta itu, “Hai unta. Siapakah pemilikmu sebenarnya?”

Unta itu tiba-tiba bisa bicara. Fashih bicaranya, layaknya manusia. “Wahai Rasulullah. Sungguh aku adalah milik muslim ini. Dan saksi-saksi itu sungguh pembohong.”

Sang muslim pun terlepas dari hukuman yang sudah seharusnya tidak ia terima itu.

Atas peristiwa itu, Nabi kemudian bertanya kepada sang muslim. “Apa yang kau perbuat, sehingga Allah menjadikan unta ini berbicara dan membelamu?”

“Wahai Rasulullah. Tidaklah aku tidur, kecuali sesudah aku membaca shalawat kepadamu sepuluh kali.”

“Kalau begitu, kau telah selamat dari hukuman di dunia. Dan kau juga nanti akan selamat dari hukuman di akhirat berkat bacaan shalawatmu atas diriku.”

Durrah an-Nashihin 174.

Penulis: Hisyam Syafiq

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.