Bulu Kemoceng dan Fitnah kepada Sang Kiai

Suatu ketika seorang santri meminta maaf kepada Kiainya yang telah difitnahnya. Sang Kiai hanya tersenyum.

“Apa kau serius?” tanya Sang Kiai

“Saya serius, Kiai. Saya benar-benar ingin menebus kesalahan saya,” jawab santri.

Sang Kiai terdiam sejenak. Lalu ia bertanya, “Apakah kamu punya sebuah kemoceng di rumahmu?”

“Ya, saya punya sebuah kemoceng Kiai. Apa yang harus saya lakukan dengan kemoceng itu?”

“Besok pagi, berjalanlah dari kamarmu ke pondokku. Berkelilinglah di lapangan sambil mencabuti bulu-bulu dari kemoceng itu. Setiap kali kamu mencabut sehelai bulu, ingat-ingat perkataan burukmu tentang aku, lalu jatuhkan di jalanan yang kamu lalui. Kamu akan belajar sesuatu darinya.”

Keesokan harinya, sang santri menemui Kiai dengan sebuah kemoceng yang sudah tak memiliki sehelai bulu pun pada gagangnya. Ia segera menyerahkan gagang kemoceng itu pada Sang Kiai.

“Ini, Kiai, bulu-bulu kemoceng ini sudah saya jatuhkan satu per satu di sepanjang perjalanan. Saya berjalan lebih dari lima kilo dari rumah saya ke pondok ini. Saya mengingat semua perkataan buruk saya tentang Kiai. Maafkan saya, Kiai.”

Sang Kiai terdiam sejenak, lalu berkata, “Kini pulanglah. Pulanglah dengan kembali berjalan kaki dan menempuh jalan yang sama dengan saat kamu menuju pondokku. Di sepanjang jalan kepulanganmu, pungutlah kembali bulu-bulu kemoceng yang tadi kau cabuti satu per satu. Esok hari, laporkan kepadaku berapa banyak bulu yang bisa kamu kumpulkan.”

Sepanjang perjalanan pulang, sang santri berusaha menemukan bulu-bulu kemoceng yang tadi dilepaskan di sepanjang jalan. Hari yang terik. Perjalanan yang melelahkan.

Betapa sulit menemukan bulu-bulu itu. Mereka tentu saja telah tertiup angin, atau menempel di bangunan-bangunan pesantren ini, atau tersapu ke tempat yang kini tak mungkin ia ketahui.

Sang santri terus berjalan. Setelah berjam-jam, ia berdiri di depan kamarnya dengan pakaian yang dibasahi keringat. Nafasnya terasa berat. Tenggorokannya kering. Hanya ada lima helai bulu kemoceng yang berhasil ditemukan di sepanjang perjalanan.

Hari berikutnya sang santri menemui Sang Kiai dengan wajah yang murung sambil menyodorkan lima helai bulu ke hadapan Sang Kiai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.