Kiprah Santri di Masyarakat: Antara Safari, Himasal dan Kiai Mushola

Berbicara tentang santri memang tidak akan ada habisnya. Keseharian dan kebiasaan para santri juga berbeda dengan orang-orang pada umumnya, namun sangat menarik dan unik.

Kesederhanaan kaum santri merupakan bentuk kerendahan hati dan merupakan suatu proses yang mengantarkan dirinya menuju insan yang berkualitas. Ciri khas yang biasa dijumpai di kalangan kang santri yaitu seperti sarung, songkok miring, sendal jepit dan kebiasaan yang  bersifat spontan seperti ketiduran saat ngaji atau sekolah, ngobrol di sela-sela musyawarah dengan topik terkini, ngopi tanpa batas dan over dalam bergurau. Ditambah lagi dengan kehidupan yang serba bersama seperti masak bersama, makan bersama dan tidur bersama dalam satu kamar yang SS (sempit, sumpek).

Akan tetapi di balik itu semua terkandung nilai-nilai yang luhur. Karena santri biasa dilatih dengan kebersamaan, kesederhanaan, kesabaran, dan keteguhan jiwa dalam menghadapi berbagai tantangan dan rintangan yang mengahadang. Sehingga membuat ikatan emosional antar santri terjalin kuat. Selalu teguh bagaikan karang di lautan yang tak pernah rapuh meskipun diterjang ombak.

Ikatan emosional yang kuat tersebut akan menumbuhkan solidaritas yang kuat, hingga sampai menjadi alumni tetap akan terjaga solidaritasnya. Fenomena ini terbukti saat mereka  para alumni dipertemukan dalam forum perhelatan akbar atau kalau di pondok ini yang biasa kita kenal dengan Munas Himasal yang diselenggarakan setiap 5 tahun sekali di Pondok Lirboyo. Acara ini dijadikan ajang reuni yang paling sakral oleh para alumni pada umumnya. Kebersamaan yang dipupuk kinii membuahkan hasil. Semangat gotong royong dan tolong menolong kini menjadi acuan menjalin silaturahim. Berjumpa dengan kawan lama akan mengingat ingat kembali memori masa silam saat masih belajar bersama di pesantren. Mereka akan saling menanyakan kabar dan status sosialnya. Disini para alumni akan tampak status sosialnya di masyarakat. Ada yang jadi kiai musholla, pemangku pesantren, pengurus NU bahkan menjadi pejabat pemerintah.

Kesuksesan alumni menjadi tolak ukur dari seorang santri yang akan menimba ilmu di sebuah pesantren, kondisi inilah yang akhirnya diikuti oleh santri lainnya untuk terus belajar dan mengembangkan diri di pesantren. Mengapa demikian?

Itu terjadi karena karakter building dan revolusi mental telah lama dilakukan dan diterapkan oleh pondok pesantren . Hal ini tidak lepas dari jasa pesantren melalui programnya. Salah satunya program safari dakwah. Dengan menerjunkan para santri yang telah siap secara mental untuk berkiprah dii masyarakat dan lembaga formal. Program yang digiatkan ini bertujuan sebagai media syiar Islam dan praktek lapangan bagi santri untuk belajar bermasyarakat secara langsung.

Para santri tidak bisa menebak-nebak masyarakat seperti apakah yang nantinya akan mereka hadapi. Tidak hanya kondisi masyarakat yang plural seperti beda aliran, beda ras, beda adat, beda agama tapi juga  kondisi dan budaya yang berbeda harus benar-benar siap dipahami oleh setiap santri yang didelegasikan. Memang juga tidak bisa kita paksakan kepada masyarakat, untuk segera menerima perubahan. Meskipun perubahan itu juga berarti kebenaran. Mengubah tatanan masyarakat secara frontal justru akan lebih banyak punya potensi kegagalan. Dalam arti, dakwah harus dilakukan bertahap. Mengambil hati masyarakat terlebih dahulu, setelah mereka terpikat, baru naik tingkatan.

Dengan adanya program safari dakwah, setelah menyelesaikan belajarnya di pesantren, santri yang mondok tidak akan bingung kembali ke kampung halamannya. Kalau orang tuanya memiliki pesantren atau madrasah maka ia akan membantu mengurus lembaga tersebut. Secara otomatis yang dulunya menyandang status gus akan dinobatkan sebagai kiai. Sedangkan santri yang tidak mewarisi lembaga pendidikan agama, biasanya ia memanfaatkan masjid atau mushola di kampung sebagai sarana membagikan ilmu yang pernah dipelajari di pesantren. Dengan begitu mau tidak mau santri itu akan menyandang label kiai. Meskipun telah mendapatkan pendidikan dan bimbingan yang sama dari kiai pesantren masing-masing santri ketika kembali ke desa asalnya mempunyai peran yang berbeda-beda. Karena itu, hanya orang-orang yang terseleksi secara sosial yang pada akhirnya terpilih menjadi panutan masyarakat terutama yang menyangkut praktek-praktek keagamaan. Menjadi orang-orang terpilih dari pada alumni pesantren yaitu bagi siapa yang berdedikasi dan telah teruji berjuangan untuk agama dan melayani kepentingan masyarakat dengan semagat pengabdian. Itulah sebenarnya ruh pendidikan pesantren yang ditanamkan kiai. Di lingkungan pedesaan atau pedusunan kiai mushola memiliki peranan yang cukup besar mendampingi masyarakat, lebih-lebih menyangkut urusan peribadatan di di mushola atau masjid seperti merawat orang yang meninggal dunia.

Lembaga pengajian yang berbasis di mushola hanya diikuti oleh masyarakat atau santri di sekitar tempat ibadah tadi. Mereka tidak bermukim bersama kiai, tetapi langsung pulang ke rumah masing-masing selepas belajar mengaji. Dan pengasuh lembaga pengajian yang hanya berbasis di masjid disebut kiai masjid. Suatu mahkota kehormatan  yang diberikan masyarakat kepada seseorang yang menjadi panutannya.

Kata “Kiai” adalah sebutan kepada seseorang yang dimuliakan dalam adat pergaulan orang Jawa. Pada umumnya kata kiai digunakan untuk menyebut guru agama atau pengasuh yang alim serta dihormati dan berkharisma. Istilah pengasuh di Jawa disebut kiai, di Sunda disebut ajengan, di Madura disebut nun atau bendara yang disingkat ra, di Aceh disebut tengku, di Sumatera Utara atau Tapanuli disebut syaikh, di Minangkabau disebut buya, di Nusa Tenggara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, atau Kalimantan Tengah disebut tuan guru, dan beragam sebutan lagi di berbagai daerah di Nusantara.

Sedangkan kata “mushola atau masjid” secara terminologis merujuk sebuah teritori tempat beribadah sekelas di desa desa atau pedukuhan yang menjadi tempat menetap. Yang menjadi sorotan menarik kali ini adalah tokoh kiai mushola dan kiprahnya. Lebih dari kiprahnya itu, dia bisa mengawal pertemuan rutin majelis pengajian yang bersifat serikat gotong royong dalam ikhtiar mengem-bangkan ajaran ta’aawanu ‘ala al-birri wa at-taqwa. Apabila di antara warga  kedapatan sedang tertimpa kesulitan maka ia tampil menggerakan para anggota yang lain untuk memberikan bantuan dari uang  kas yang dipungut setiap acara pengajian. Dengan membantu meringankan beban kepada sesama menunjukkan mereka telah disatukan pula oleh nasib sosial yang sama. Sebenarnya untuk membumikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bermasyarakat, contoh implementasi kesalehan sosial sebagaimana yang diteladankan kiai musola menjadi pilar penopangnya. Di sinilah makna profetik dari pada misi Islam  rahmatan li al-‘alamin yang setiap saat bisa dirasakan umat meskipun tidak perlu mengibarkan banyak simbol.

Dalam konteks pembanguan sosial di pedesaan, peranan kiai mushola sangat strategis dalam mempengaruhi kehidupan masyarakat sekitar dikarenakan hampir setiap hari ia bersetuhan langsung dengan mereka. Peran strategis ini membuktikan bahwa ia sangat leluasa untuk berpartisipasi dalam pembangunan pedesaan. Karena intensitas pergaulan sehari-hari yang dijalaninya, sudah barang tentu dengan misi utama yang dia emban bisa sangat leluasa untuk mewarnai pertemuan-pertemuan yang digelar di ruang terbuka. Katakanlah forum rembuk warga yang dipimpin kiai, maka pendapat-pendapat yang disampaikan kemungkinan besar menjadi bahan pertimbangan dan akan direspon oleh jama’ah.

Selain itu kiai tidak hanya memperhatikan urusan ibadah mahdhoh (formal) seperti sholat dan dzikir berjama’ah yang bersifat  non proft, hanya berharap  ridlo Allah SWT namun juga aktif membahas permasalahan di lingkungan tempat tinggal mereka. Jadi tidak melulu urusan ibadah atau hal-hal yang bersifat normatif.

Inilah jasa-jasa kiai pengampu desa tamatan pesantren yang tidak bisa kita pandang sebelah mata. Justru kontribusinya terhadap masyarakat sangatlah besar. Namun jarang dilirik sebagian orang pada umumnya bahkan dari pemerintah hanya dikarenakan statusnya yang informal. Sebagai santri kita harus membuktikan peran kita terhadap masyarakat majemuk. Walaupun menjadi kiai mushola sekalipun. Santri-santri tamatan pesantren yang sudah kembali ke desa dan memiliki kemauan yang kuat mengabdikan diri untuk kepentingan masyarakat menjadi faktor penting bagi kelestarian pembangunan sosial di pedesaan. Dalam konteks ini peranan kiai mushola dalam pembangunan masyarakat di pedesaan sangatlah nyata dan ikhlas.[]

Penulis: Luthfi Hakim (Mahasantri Ma’had Aly Lirboyo)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.