Lika-Liku Hidup Musthafa Shadiq Rafi’i

Musthafa Shadiq

Lika-liku Hidup Musthafa Shadiq Rafi’i Sastrawan Tak Bersekolah Tinggi, Tuna Rungu, Patriotis, & Melankolis

Penulis: Arif Fahrijal

Musthafa Shadiq Rafi’i lahir di provinsi Qulyubiyah pada 1 juni 1880 M, tetapi ia menghabiskan hidup di Tanta, Mesir. Meski keluarga dan dirinya hidup di Mesir, tapi moyang ayah dan ibu Rafi’i berdarah Suriah, lebih tepatnya dari Halb.

Rafi’i kecil belajar dan menghafal al-Qur’an, serta kalam-kalam ulama. Setelah itu, Rafi’i masuk sekolah dasar dengan umur lebih dari sepuluh tahun, dan ia baru memperoleh ijazah sekolah dasar pada umur 17 tahun. 17 tahun!

Setelah lulus sekolah dasar, Rafi’i terserang demam tifoid, tubuhnya lumpuh, dan perlahan kehilangan pendengaran. Penyakit itu menyebabkan Rafi’i tak bisa melanjutkan jenjang sekolah formal. Celakanya, Pada umur 30 tahun, ia kehilangan pendengarannya secara total.

Belajar di perpustakaan sang ayah

Begitulah kenyataan, Rafi’i hanya lulus sekolah dasar dan itu pun di umur cukup tua. Tetapi, Rafi’i melanjutkan studi pembelajaran dari perpustakaan sang ayah, Syekh At-Tukhi.

Syekh At-Tukhi menjabat sebagai ahli hukum Islam yang bertugas di beberapa provinsi di Mesir. Ayah sang pujangga ini, selain menjadi juru hukum, Syekh At-Tukhi adalah seorang pedagang impor-expor antar Mesir dan Syam.

Dengan perpustakaan yang besar itu, Syekh Tukhi menjaga kultur keluarganya yang baik. Karena sejak dahulu, dalam keluarga yang bersambung nasab dengan khalifah ketiga Umar bin Khatab itu, telah tumbuh ulama-ulama terkemuka pakar Madzhab Hanafi.

Di perpustakaan sang ayah, Mustafa Shadiq Rafi’i belajar banyak hal dan menunjukan ketertarikan yang besar akan sastra Arab. Hingga Rafi’i sampai pada sebuah dunia baru dalam kepenulisan syair dan prosa. Dunia baru itulah yang membesarkan langsung di Mesir, bahkan dunia.

Pendapat sang pujangga tentang sastra

Bagi Rafi’i, jiwa-jiwa yang terilhami juga membutuhkan sastra untuk melebarkan cakrawala penyajian hakikat dunia ini. Karena segala hakikat itu lebih luhur dan lebih dalam dari sekedar dimengerti oleh keyakinan indrawi atau terkungkung dalam alam hampa pikiran semata. Sebab jika Malaikat dibungkus oleh daging dan darah niscaya ia tak lagi Malaikat.

Karena keelokan sastrawi untuk keindahan sebuah hakikat dunia ini adalah melukiskan segala apa yang mungkin sekaligus lukisan itu akan menggugah hati saat menuturkan hakikat dunia untuk umat manusia.

Bukankah untuk binatang yang merumput, arti padang sabana hijau hanyalah sebuah potret pemuas lapar perut? Tetapi menurut umat manusia dan suku-suku di segala penjuru bumi, padang sabana memiliki artian berbeda-beda menurut ragam bunga-bunga yang tumbuh di sana, bahkan terdengar seruan memanggil untuk sebuah keindahan yang terukir di padang sabana itu. Karena perbedaan manusia dan hakikat dunia yang begitu luas, segala hakikat besar di dunia ini –seperti keimanan, cinta, kebaikan, dan kebenaran- akan memerlukan penulisan ulang dari hati dan jiwa yang baru, sepanjang masa. Dan di sanalah sastra bermain. 

Baca juga: Puteri Sastrawan Besar dan Kesombongan Si Arab

Sisi lain Sosok Musthafa Shadiq Rafi’i

Di dunia sastra yang melambungkan nama Musthafa Shadiq Rafi’i, tersimpan rahasia. Rahasia itu adalah istri Rafi’i yang mendukung penuh kegiatan kesastraannya. Dari dukungan itu, lahirlah karya-karya sastra Rafi’i yang luar biasa dengan corak cinta, kerinduan, sekaligus kebencian, seperi Rasail Al-Ahzan, Auradu al-Waraq, Sahabu al-Ahmar dll.

Meski Rafi’I lebih dikenal sebagai seorang sastrawan, Rafi’I juga membuktikan kepakaran di cabang ilmu Islam. Terbukti karyanya berjudul “’Ijazu al-Qur’an” ditulis dari tangan dinginnya. Dalam kitab itu, ia menjelaskan secara jelas bagaimana sejarah al-Qur’an, kodifikasinya, tata cara & macam-macam bacaan dan sebagainya.

Kepakaran akan sastra dan ilmu Islam terlihat sempurna saat Rafi’i menolak pemikiran liberal Toha Husein melalui sebuah kitab bernama “Tahta Rayati al-Qur’an”. Toha Husein yang menyatakan bahwa mukjizat al-Qur’an hanyalah warisan Arab Jahiliyah dan mencoba menolak mukjizat Nabi dibantai dalam kitab itu.

Selain itu, Toha Husein juga keterlaluan menyerang syaikh-syaik al-Azhar dan para ulama, seakan beliau-beliau adalah sekumpulan orang bodoh. Dengan polosnya Toha Husein berceloteh “Perbedaan antara aku dan para syeikh itu adalah aku Muslim sejati yang memahi Islam dengan benar.”

Sebagai bantahan, Musthafa Shodiq Rafi’i menguntai kata yang menohok “Apakah dia (Toha Husein) seorang Muslim sejati sementara ulama-ulama Muslim bukan Muslim sejati. Dan ulama-ulama itu tak memahami Islam dengan becus seperti Toha Husein? Ya, karena ulama-ulama itu tak mengingkari al-Qur’an dan tak pula mengingkari kenabian seperti Toha Husein!”

Tonton juga: Haul & Haflah Pondok Pesantren Lirboyo dan Madrasah Hidayatul Mubtadiin

Perlu dipahami, keadaan mesir waktu itu dibakar oleh isu panas pembaharuan Islam yang diusung kaum liberalis. Dan Toha Husein merupakan salah satu pembesar kaum liberal Mesir. Karena kritik Musthafa Shadiq Rafi’i kepada Toha Husein dan pemikiran liberal lain, Musthafa Shadiq Rafi’i diserang balik dengan isu anggapan bahwa Musthafa Shadiq Rafi’i tak mencintai Mesir, tanah airnya sekaligus status kewarga-negaraanya.

Untuk membantah isu tak benar itu, dalam satu kesempatan ia berkata:

و العادات وحدها التي تجعل الوطن شيئاً نفسياً حقيقياً, حتى ليشعر الإنسان لأرضهِ أمومة الأم التي ولدته , و لقومهِ أبوة الأب الذي جاء به إلى الحياة : و ليس يعرف هذا إلا من إغترب عن وطنه و خالط غير قومه , و استوحش من غير عاداته , فهناك يُثبت الوطن نفسَه بعظمةٍ و جبروتٍ كأنه وحده هو الدنيا

“Hanya kebudayaan yang menkristalkan kebangsaan menjadi sebuah perasaan sejati, hingga seorang merasa buminya begitu bersikap keibuan, seorang ibu yang melahirkan dirinya. Ia merasa kaum se-bangsanya bersikap kebapakan, seorang bapak yang menghadirkan dirinya ke kehidupan ini. Perasaan ini tak ‘kan pernah dipahami kecuali oleh ia yang terasing dari bangsanya, bergabung dengan selain kaum se-bangsa, dan merasa resah dengan selain budayanya. Di sanalah, kebangsaan itu menancap di lubuk hati, dengan keagungan dan tak terbantahkan, bahwa seakan-akan hanya dia satu-satunya dunia.”

Musthafa Shadiq Rafi’i menghembuskan nafas terakhir pada 10 Mei 1937 M. Seperti keinginannya, ia meninggal sebelum renta dan tak berdaya di tempat tidur. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.