Tajdid al-Turats: Feminisme dalam Hadis Ummu salamah

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Imam Hakim diceritakan bahwa suatu ketika Ummu Salamah ra. bertanya kepada Rasulullah Saw: “Wahai Rasulullah Saw., aku tidak mendengar sama sekali bahwa Allah Swt. menyebut sesuatu tentang perempuan dalam berhijrah.”

Sebab pertanyaan tersebut, lalu diturunkanlah ayat:

 فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ ۖ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ ۖ فَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَأُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأُوذُوا فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُوا وَقُتِلُوا لَأُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلَأُدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ثَوَابًا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ

“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik.” (QS. Ali Imran: 195)

Dalam riwayat lain oleh Imam Hakim, Ummu Salamah Ra. berkata: “Aku berkata: wahai Rasulullah. Engkau telah menyebut laki-laki saja, dan engkau tidak menyebut perempuan.” Lalu turunlah ayat:

إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35)

Dan turun juga ayat QS. Ali Imran: 195 di atas.

Setelah membaca hadis ini, saya menjadi teringat pemikiran Thaha Abdurrahman, seorang Filsuf Islam kontemporer asal Maroko yang sangat saya kagumi. Ia pernah berbicara mengenai konsep “tajdid at-turats” (pembaharuan khazanah intelektual kuno). Kata tajdid yang secara harfiah bermakna pembaharuan, sebenarnya mempunyai muatan makna yang kompleks. Dalam arti, perihal pembaharuan terhadap turats, terdapat ketidaksepakatan di antara para cendikiawan Islam tentang “apa makna”, dan “bagaimana seharusnya” pembaharuan itu mungkin dilaksanakan. Tidak sebatas itu saja, bahkan sampai ada “tindak” pemurtadan terhadap pola pikir tertentu dalam hal ini.

Kalau memang benar tajdid melulu diartikan sebagai sebuah proyek intelektualitas keagamaan yang positif, lantas mengapa sampai ada perselisihan yang kuat di antara para pakar. Dan kalau kita cermati dalam literatur arab kontemporer, pembahasan tajdid ini begitu ramai dibicarkan terus-menerus seolah tidak pernah habis. Di antara yang memberikan penyegaran terhadap wacana tersebut adalah Thaha Abdurrahman.

Dalam pandangannya, pengertian tajdid itu tidak sesederhana “yujaddidu at-turats” secara langsung. Tapi lebih ditekankan pada sisi ’alaqah (hubungan esensial), berupa nadzar (pandangan) yang beperan sabagai gerak-esensial dalam suatu proses pembaharuan. Dengan pemaknaan seperti ini, yakni “tajdid-nadzr-turats“, adalah proses pengulangan pandangan teoritis terhadap turats (i’adat an-nadzar fi at- turats), yang mengandaikan wujud kerja teoritis yang baru, yang tidak sama atau mengulangi yang “sudah ada”.

Maka ringkasnya tajdid at-turats itu bukanlah “fiqhu at-turats“, atau sekadar pemahaman terhadap literer, di mana turats diposisikan sebagai objek secara langsung. Melainkan yang tepat adalah “fiqh an-nadzr fi at-turats“, memahami opini terhadap turats, yang juga memberikan konsekuensi berupa “nadzar ‘ala an-nadzr”, atau “nadzr fi an-nadzr”, pemahaman bertingkat terhadap suatu opini tentang turats.

Dari penjelasan di atas, bisa diambil pemahaman bahwa visi utama suatu pembaharuan adalah menghadirkan pembacaan teoritis yang baru terhadap turats. Tidak boleh ada pengulangan, dan menguak sisi-sisi yang belum tersentuh atau terbakukan dalam kajian-kajian sebelumnya.

Kembali ke awal: lalu apa hubungannya konsep tajdid dengan hadis di atas tadi?

Begini. Hadis Ummi Salamah di atas dalam diskursus ‘ulum al-qur’an—spesifiknya dalam bab asbabun nuzul—oleh para ulama dijadikan sebagai argumen atas legalitas banyaknya ayat yang diturunkan walau hanya memiliki satu sebab saja. Yaitu diturunkannya dua ayat di atas: Ali Imran: 195 dan Al-Ahzab: 35 tersebut ternyata mempunyai satu sebab saja, yakni pertanyaan Ummu Salamah ra.

Dalam ‘ulum al-qur’an, hadis Ummu Salamah tersebut dijadikan sebagai pembentuk teori asbabun nuzul, itu saja. Padahal dalam konteks kekinian, bisa saja hadis tersebut diindikasikan sebagai benih-benih wacana feminisme dalam Islam. Ternyata dalam Islam juga ada nilai-nilai kesetaraan hak, serta keadilan yang sama terhadap kaum perempuan. Dan secara jelas, memberikan penegasan bahwa agama ini tidak hanya berputar dalam urusan-urusan patriarki.

Memang ada perbedaan yang signifikan antara kajian dulu dan sekarang. Memang dulu belum ada  wacana feminisme seperti hari-hari ini. Wacana ini baru lahir di masa pasca-pencerahan dan dipelopori oleh Mary Wollstonecraft, yang memang pada masa itu memberi corak yang dominan atas wacana-wacana humanistik, common sense misalnya. Terlebih desakan terhadap pihak gereja yang dianggap telah berbuat zalim terhadap kaum hawa sepanjang abad pertengahan. Maka feminisme yang disuarakan pun cenderung menolak apapun yang bersifat otoritatif dan merugikan perempuan. Semuanya akan ditentang, sekalipun itu berupa doktrin keagamaan.

Sementara, jauh sebelum feminisme disuarakan oleh Barat, ternyata sudah tergambar secara jelas nilai-nilai tersebut dalam ajaran Islam. Hanya saja belum tersistematis dan masif seperti sekarang. Karena bagaimanapun, terdapat perbedaan yang sangat esensial antara keduanya: feminisme Islam dan feminisme Barat. Tapi justru itulah tugas sebuah kajian ilmiah. Ia harus senantiasa bergerak, kreatif dan aktual.

 Sebagaimana pemaknaan tajdid di atas, maka upaya menyegarkan kembali pengkajian turats adalah amanah yang harus dilestarikan oleh setiap generasi penerus.

Penulis: Farhan al Fadhil, mutakharijin Madrasah Hidayatul Mubtadiin tahun 2017, mahasiswa Universitas Al-Azhar, Kairo, jurusan tafsir.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.