Beberapa Tanda Keistimewaan Abu Bakar R.a.

Kaligrafi Abu Bakar

Beberapa Tanda Keistimewaan Abu Bakar R.a. | Kisah sakitnya Rasulullah Saw. menyebutkan empat bukti yang menunjukkan Abu Bakar memiliki keistimewaan tersendiri di sisi Rasulullah Saw. Pertama, ketika Rasulullah memulai ceramahnya dengan sabda,

“Seorang hamba diberi pilihan oleh Allah Swt. antara memiliki kemewahan dunia atau memilih apa yang ada di sisi-Nya. Lalu hamba itu memilih apa yang ada di sisi-Nya,”

Abu Bakar paham maksudnya, sehingga dia menangis dan berteriak, “Kami siap menebusmu dengan bapak dan ibu-ibu kami.” Tak ada seorang pun yang memperhatikan ucapan Rasulullah Saw. itu selain Abu Bakar r.a.

Dalam beberapa jalur hadis yang diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri. Bahwa ketika Abu Bakar menangis setelah mendengarkan ucapan Rasulullah Saw. itu, aku berkata dalam diriku,

“Apa yang membuat orang tua ini menangis ketika Rasulullah Saw. memberitahukan kepada kami tentang seorang hamba, yang diberi pilihan lalu memilih sesuatu yang menjadi pilihannya?” Abu Sa’id melanjutkan, ternyata hamba yang diberi pilihan itu Rasulullah Saw. Juga ternyata Abu Bakar lebih paham tentang hal itu dibanding para sahabat yang lain.

Sahabat Paling Dermawan

Kedua, sabda Rasulullah Saw. yang berbunyi, “Sesungguhnya orang yang paling dermawan dengan hartanya kepadaku dan paling bersahabat adalah Abu Bakar….” Ini kalimat abadi, dan tak pernah ada tulisan sepertinya selain untuk Abu Bakar r.a.

Ketiga, dalam hadis riwayat Muslim dari Aisyah r.a., bahwa Rasulullah Saw. bersabda kepadanya, “ Panggilkan untukku ayahmu Abu Bakar dan saudara laki-lakimu, agar aku menuliskan wasiat untuknya.

Aku khawatir ada seseorang yang memiliki satu cita-cita, lalu berkata, ‘Aku lebih utama’. Sementara Allah dan rasul-Nya tidak menginginkan orang lain selain Abu Bakar.” Hadis ini dianggap sebagai nas yang menunjukkan bahwa tongkat kepemimpinan Rasulullah Saw. diberikan kepada Abu Bakar r.a.

Jika kebijakan Ilahi menetapkan bahwa Rasulullah Saw. tak boleh melakukan perjanjian dengan sahabat-sahabatnya serta tak menuliskansebuah pesan buat mereka, semua itu bertujuan agar pergantian kepemimpinan dan khilafah secara turun-temurun dengan ”diwariskan” kepada keluarga dekat tak menjadi satu sunnah (aturan) yang harus diikuti sepeninggal Rasulullah.

Karena, peralihan kepemimpinan yang demikian itu dapat menimbulkan kerusakan (mafsadat) dalam pengambilan keputusan. Sementara syarat utama seorang hakim (pemimpin) adalah kesalihan, sebagaimana dipahami setiap orang.

Keempat, permintaan Rasulullah Saw. kepada Abu Bakar agar menggantikannya memimpin shalat jamaah. Anda telah melihat bagaimana ketegasan Rasulullah Saw. saat menunjuk Abu Bakar melaksanakan tugas tersebut dan bagaimana tanggapannya terhadap Aisyah r.a. saat membantah keinginan Rasulullah Saw. tersebut.

Sahabat Bukanlah Tempat Perbandingan

Jika kami mengatakan bahwa keistimewaan-keistimewaan Abu Bakar, berdasarkan hadis-hadis sahih itulah yang membuat kaum Muslimin mau membaiat dan menyetujuinya sebagai khalifah sepeninggal Rasulullah Saw. Namun hal ini tidak berarti mengurangi keistimewaan dan keutamaan para sahabat dan khalifah lainnya, khususnya Ali bin Abi Thalib r.a..

Karena, seperti Anda ketahui pada Perang Khaibar, Rasulullah Saw. bersabda, “Aku akan memberikan panji ini, besok, kepada seorang laki-laki yang dicintai Allah dan rasul-Nya.” Sehingga pada malam itu orang-orang bertanya-tanya, “Siapakah yang akan menerima panji-panji itu?” Ternyata, dia adalah Ali bin Abi Thalib r.a.

Masalah peralihan kepemimpinan selesai. Kaum Muslimin berhasil mengambil sebuah keputusan, yaitu pengangkatan khalifah sepeninggal Rasulullah Saw., tanpa mengakibatkan perpecahan dan pertentangan di antara mereka. Selama mereka melakukan mudzâkarah (saling mengingatkan satu sama lain) dan munâqasyah (diskusi), dua hal yang memang harus dilakukan. Masing-masing Abu Bakar dan Ali r.a. tetap saling menghargai dan saling mengutamakan satu sama lain.

Sudah barang tentu, termasuk pendapat dan perbuatan sia-sia jika kita masih memperdebatkan bahwa sahabat satu lebih mulia ketimbang sahabat lainnya atau sebaliknya, setelah peristiwa itu berlalu sekitar empat belas abad. Padahal, hubungan para sahabat Rasulullah itu tak pernah pecah. Mereka kembali kepada Tuhan mereka dengan satu hati, saling mencintai dan menopang satu sama lain.

Baca Juga : Ponselnya Smart Peoplenya Tidak

Tonton Juga Kenapa Kita Harus Cinta Kepada Bangsa dan Tanah Air

Sumber : Fiqh as-Sîrah an-Nabawiyyah Karya Dr. Said Ramadhan Al-Buthy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.