Relevansi Sejarah dalam Perspektif Pakar Tafsir

Relevansi Sejarah dalam Perspektif Pakar Tafsir

Salah satu tema yang selalu menarik untuk terus dikaji di manapun berada adalah pembahasan tentang sejarah. Banyak sekali para cendekiawan serta pakar sejarah yang menyampaikan beberapa kesimpulan tentang suatu sejarah lewat penelitian pribadi maupun membaca dari berbagai literatur yang menyinggung tentang persoalan sejarah. Mereka menggunakan banyak sekali metode dalam menganalisa sehingga kesimpulan yang mereka sampaikan dalam suatu forum atau yang mereka tuangkan dalam sebuah karya dapat dijadikan sebagai sumber rujukan yang otoritatif dan dapat dipertanggung jawabkan.

            Salah satu metode yang cukup menarik adalah metode yang dipakai oleh para ulama pakar tafsir lewat beberapa sudut pandangnya. Ayat-ayat Al-Quran menjadi sumber utama para mufassir dalam mengartikan makna-makna yang terkandung di dalamnya dengan menggunakan metodologi ushul fiqh dan pentafsiran yang turun temurun diajarkan oleh guru-guru mereka. Karena dalam mengartikan lafadz-lafadz dan kandungan-kandungan maknanya, tidak boleh menggunakan cara yang liar dan serampangan. Hal ini disebabkan karena yang memahami betul tentang apa yang dimaksud dalam ayat-ayat Al-Quran hanyalah Nabi Muhammad Saw dan para sahabat yang sering melakukan interaksi langsung dengan nabi tentang pemahaman ayat-ayat Al-Quran tersebut. Pemahaman-pemahaman kandungan makna Al-Quran inilah yang diwariskan oleh para sahabat kepada para tabi’in hingga sampai pada era mufassirin yang juga memakai metodologi pentafsiran lewat beberapa riwayat yang ada.

Dalam konteks inilah, para mufassir mencoba memahami sebuah ayat dalam berbagai aspek. Di antaranya adalah aspek sejarah. Sebagaimana ayat dalam surat Ali ‘Imran ayat 137 yang berbunyi :

قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُروا كَيْفَ كانَ عاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ (آل عمران : ١٣٧)

Artinya :”Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah Swt, karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)“. 《QS. Ali Imran : 137》

Dalam mengomentari ayat tersebut, para mufassir lebih memberikan penekanan pada diksi fasiiru fil ardhli (فسيروا في الأرض فانظروا) yang menurut mereka terdapat petunjuk tentang begitu pentingnya ilmu sejarah. Karena salah satu faidah berkelana ialah dapat mempelajari kultur budaya atau menyelami sejarah daerah yang ia singgahi. Para ulama’ ahli tafsir mengemukakan bahwa pada kalimat السير (berkelana) memiliki 2 arti, yakni hissi (tekstual) dengan arti berkelana ke penjuru bumi atau melakukan observasi pada situs-situs peninggalan zaman dahulu seperti prasasti, candi, dan artefak-artefak yang lain . Dan ma’nawi (kontekstual) dengan arti membaca dan memahami sejarah melalui berbagai literatur atau manuskrip-manuskrip kuno. Di antara mufassir yang berpendapat demikian adalah Muhammad al-Tahir Ibnu Ashur dalam tafsir Tahrir wal-Tanwirnya, dan Syaikh Muhammad Amin Harari dalam tafsir Hadaiqur ar-Rauh war Raihannya, dan para mufassir yang sependapat dengan beliau. Kendati begitu, ada Ulama’ Pakar Tafsir yang mengartikan ayat tersebut bukan dari susunan lafadznya, namun lebih cenderung melihat tujuannya. Mereka mengatakan bahwa ayat tersebut bukan menunjukkan perintah untuk berkelana, namun yang dimaksud adalah tujuan berkelana, yakni bisa mempelajari serta mengetahui kultur budaya dan sejarah peradaban di seluruh dunia. Sehingga apabila tujuannya sudah tercapai maka sudah cukup dalam penerapan ayat ini. Namun, meskipun demikian, mereka juga tidak mengesampingkan anjuran mempelajari sejarah dengan cara berkelana, karena menyaksikan langsung pada objek sejarah itu dapat memberikan pengaruh yang lebih kuat daripada hanya sekedar mendengar dan membaca yang masih  kemungkinan meleset dari realita yang ada.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Nidzhom ad-Din al-Qummy dalam tafsir an-Naisburi serta ulama-ulama yang sependapat dengan beliau.

  •     النيسابوري، نظام الدين القمي، تفسير النيسابوري  غرائب القرآن ورغائب الفرقان، ٢٦٣/٢

وليس المراد من قوله فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ الأمر بالسير بل المقصود تعرّف أحوالهم. فإن حصلت هذه المعرفة بغير المسير في الأرض كان المقصود حاصلا. ولا يبعد أن يقال: ندب إلى السير لأن لمشاهدة آثار الأقدمين أثرا أقوى من أثر السماع كما قيل:إن آثارنا تدل علينا … فانظروا بعدنا إلى الآثار

Artinya : “Yang dimaksud ayat tersebut itu bukanlah menunjukkan makna perintah untuk berkelana, melainkan adalah mengetahui kondisi suatu kaum. Sehingga apabila tujuan ini sudah tercapai tanpa berkelana, maka sudah cukup dalam penerapan ayat tersebut. Terdapat kemungkinan  berarti lebih dianjurkan untuk berkelana (observasi), karena menyaksikan peninggalan-peninggalan orang terdahulu itu dapat memberi pengaruh yang lebih kuat daripada pengaruh yang dihasilkan dari mendengar cerita belaka…“.

            Terdapat pula ulama’ pakar tafsir lain yang mengungkapkan bahwa tujuan dari ayat di atas yang berupa mengetahui kondisi suatu peradaban itu beriringan juga dengan maksud utamanya, yakni menganalisa dan merenungi objek sejarah yang mereka saksikan agar dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran dan motivasi untuk lebih baik dan bijak dalam menyikapi berbagai situasi dan kondisi di segala zaman yang akan datang. Sebagaimana yang dialami oleh para pedagang dari kota Makkah yang melewati peninggalan-peninggalan kaum Tsamud, kaum ‘Ad, dan kaum Luth saat mereka tengah pergi untuk berdagang, dan ini membuat mereka teringat dengan kejadian yang dialami oleh kaum-kaum tersebut. Makna inilah yang diambil oleh ulama’ pakar tafsir dalam mengartikan ayat di atas. dalam kelanjutan keterangan dalam tafsir Hadaiqur ar-Rauh war Raihan, syaikh Muhammad Amin Harari menyampaikan demikian :

والمعنى: فسيروا في الأرض، وتأملوا فيما حل بالأمم قبلكم؛ ليحصل لكم العلم الصحيح المبني على المشاهدة وتسترشدوا بذلك إلى أن المصارعة قد وقعت بين الحق والباطل في الأمم السالفة وانتهى أمرها إلى غلبة أهل الحق لأهل الباطل، وانتصارهم عليهم ما تمسكوا بالصبر والتقوى. والسير في الأرض والبحث عن أحوال الماضين وتعرف ما حل بهم نعم العون على معرفة تلك السنن والاعتبار بها. وقد نستفيد هذه الفائدة بالنظر في كتب التاريخ التي دونها من ساروا في الأرض، ورأوا آثار الذين خلوا، فتحصل لنا العظة والعبرة، ولكنها تكون دون اعتبار الذين يسيرون في الأرض بأنفهسم، ويرون الآثار بأعينهم, لأن النظر إلى آثار المتقدمين له أثرٌ في النفس.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.