Hukum Pemakaian Cincin dalam Acara Pernikahan

Hukum Pemakaian Cincin dalam Acara Pernikahan

Bagaimana hukum pemakaian cincin dalam acara pernikahan? Tradisi pemakaian cincin saat ini seolah menjadi agenda wajib dalam rangkaian acara pernikahan. Tak terkecuali pernikahan yang dilaksanakan oleh pasangan muslim.

Kalau kita melihat kilas sejarah, acara pemakaian cincin merupakan kebiasaan yang pertama kali dikenalkan oleh bangsa Romawi lebih tepatnya pada abad ke-27 sebelum Masehi. Bahkan menurut sebagian pendapat pemakaian cincin kawin sudah ada semenjak 5000 tahun yang lalu yaitu pada zaman Mesir kuno.

Melihat fakta bahwa pemakaian cincin nikah tidak hanya menjadi tradisi orang Islam, bahkan komunitas yang pertama kali mengenalkan tradisi tersebut adalah non muslim. Banyak yang ragu dan mempertanyakan bagaimana hukum menjalankan tradisi tersebut bagi muslim?

Salah satu hadis yang terkenal terkait larangan meniru tradisi orang non muslim adalah  hadis dari Ibn Umar yang diriwayatkan Imam Abu Dawud dan Ahmad:

عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «من تَشبَّه بقوم، فهو منهم – حسن – رواه أبو داود وأحمد

“Abdullah bin Umar -raḍiyallāhu ‘anhumā- meriwayatkan dari Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-, bahwa beliau bersabda, “Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia menjadi bagian dari mereka.”  Hadis hasan – Diriwayatkan oleh Abu Daud.”

Mengutip pendapat Al-Qurtubhi, Al-Munawi dalam Faidul Qodir menjelaskan;

صرح القرطبي فقال: لو خص أهل الفسوق والمجون بلباس منع لبسه لغيرهم فقد يظن به من لا يعرفه أنه منهم فيظن به ظن السوء فيأثم الظان والمظنون فيه بسبب العون عليه وقال بعضهم: قد يقع التشبه في أمور قلبية من الاعتقادات وإرادات وأمور خارجية من أقوال وأفعال قد تكون عبادات وقد تكون عادات في نحو طعام ولباس ومسكن ونكاح واجتماع وافتراق وسفر وإقامة وركوب وغيرها وبين الظاهر والباطن ارتباط ومناسبة

“Al-Qurthubi menjelaskan, jika orang fasik dan orang yang tak tahu malu memiliki pakaian yang identik dengan mereka, maka bagi orang lain tidak boleh memakainya. Sebab terkadang orang yang tidak mengenalnya akan menduga bahwa dia termasuk golongan dari mereka sehingga akan mengakibatkan prasangka buruk. Pada akhirnya orang yang berprasangka buruk dan orang yang disangka buruk sama-sama mendapat dosa karena saling membantu dalam perbuatan dosa. Sebagian ulama mengatakan serupa bisa dalam perkara yang bersifat hati yaitu keyakinan dan keinginan. Juga bisa dalam hal lahir berupa ucapan dan perbuatan. Juga bisa dalam hal kebiasaan makan, pakaian, tempat tinggal, pernikahan, berkumpul, berpisah, berjalan, menetap, berkendara dan selainnya. Antara perkara lahir dan batin terdapat keserasian.”

Dari keterangan tersebut dapat difahami, menyamai dengan non muslim bisa dari sisi ucapan maupun perbuatan. Pakaian, minuman, tempat tinggal, acara pernikahan dan masih banyak lagi dapat menjadi media untuk menyamai non muslim. yaitu setiap ucapan atau perbuatan yang mencirikan dan sangat identik dengan non muslim.

Sehingga yang perlu dipertegas dalam permasalahan ini adalah kata identik dengan non muslim. Sebatas mana ucapan maupun perbuatan bisa dikatakan identik dengan non muslim.

Terkait hal ini Imam Ramli dalam Nihayah al-Muhtaj mengutip penjelasan dari Imam Ibn Daqiqil Ied;

وقد ضبط ابن دقيق العيد ما يحرم التشبه بهن فيه بأنه ما كان مخصوصا بهن فى جنسه وهيئته أو غالبا فى زيهن وكذا يقال فى عكسه

“Ibn Daqiq al-‘Ied memberikan batasan perkara yang haram bagi laki-laki karena serupa dengan perempuan. Yaitu setiap perkara yang identik bagi perempuan dari segi jenis, penampilan atau pernak pernik yang umum bagi perempuan. Begitu juga sebaliknya.”

Kemudian ar-Romli melanjukkan, jika di sebagian daerah perempuan memiliki pernak-pernik tertentu, kemudian di daerah yang lain pernak pernik tersebut malahan lebih identik dengan laki-laki, maka haram atau tidaknya pemakaian pernak pernik tersebut bagi laki-laki maupun perempuan tergantung daerah mereka masing-masing.

Sampai di sini dapat kita simpulkan, pengaruh adat dan kebiasaan suatu daerah sangat berperan penting dalam menentukan apakah pernak-pernik tertentu bisa dikatakan identik atau tidak bagi golongan tertentu.

Dengan dasar pemikiran yang serupa, Imam Sulaiman al-Bujairami dalam Tuhfah al-Muhtaj menjelaskan bahwa pakaian thayalisah (kain yang diselendangkan sampai menutupi kedua pundak) bagi orang muslim tidak lagi haram walaupun menyamai orang Yahudi, sebab seiring dengan berjalannya waktu adat dan kebiasaan menggeser ciri khas tersebut. Yang mulanya thayalisah mencirikan kaum Yahudi, pada zaman beliau ciri khas tersebut telah memudar seiring dengan jamaknya  pemakaian thayalisah bagi kaum muslim dan non muslim.

Dengan uraian singkat terkait hadis di muka, maka acara pemakaian cincin pada momen pernikahan bagi kaum muslim hukumnya mubah. Sebab pemakaian cincin pada momen pernikahan pada zaman sekarang sudah tidak mencirikan pada golongan tertentu, muslim dan non muslim telah menjalankan tradisi tersebut secara beriringan.

Yang perlu diperhatikan pula dalam tradisi pemakaian cincin ini, khususnya bagi laki-laki, adalah bahan dasar cincin tersebut terbuat dari emas atau bukan.

Nantikan Tulisan Kami yang berjudul: Hukum Memakai Cincin Emas Bagi Pria

Baca juga: Ketika Seserahan Lamaran Kembali Dipertanyakan

Follow juga: Instagram PondokLirboyo

Hukum Pemakaian Cincin Dalam Acara Pernikahan
Hukum Pemakaian Cincin Dalam Acara Pernikahan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.