Peta Kehidupan dari Klasifikasi Tema Kitab Salaf

Tradisi haji dalam budaya terdahulu

Ulama-ulama kita tidak hanya sebagai pendidik karakter dan moral, namun mereka juga sebagai petunjuk jalan menuju Tuhan setelah wahyu kenabian terputus, karena merekalah para pewaris pesan-pesan Tuhan, menunjukkan jalan kebenaran terhadap umat dengan kredibilitas yang mereka miliki dalam memaknai wahyu dan hadis

karena posisi seperti inilah Tuhan menyuruh kita mentaati mereka, bertanya kepada mereka saat terbelit permasalahan yang dibutuhkan penggalain hukumnya yang tidak kita ketahui, hingga Tuhan melipatkan pahala jerih payahnya dalam mengurus umat, memberinya posisi yang nyaman dan dekat genganNya, para Nabi dan orang-orang saleh lainnya.

Salah satu upaya dari tugas intelektual beliau-beliau adalah dengan hadirnya kitab-kitab yang memberikan penjelasan dari pemahaman mereka terhadap wahyu yang dirasa tidak semua orang mempunyai nuansa penghayatan dalam menginterpretasikan dalil layaknya mereka.

Di dalam karya-karya merekapun tidak hanya penjabaran saja yang diberikan, namun ada corak dan pesan tersendiri yang tersampaikan ketika kita mau menghayati saat memahaminya, bahkan tidak jarang saat memahami sebuah kasus yang ada dengan satu kali pemahaman, akan timbul pemahaman lain ketika kita membacanya ulang, dan begitu seterusnya. Yang kesemuaannya itu mungkin benar atau diyakini benar. Karena mereka menggunakan kalimat penyampaian yang sesimpel mungkin, sehingga sangat memacu penalaran lebih bagi pembacanya. Dan kita sebagai orang yang memilih salah satu pendapat mereka dan menjadikannya sebagai pijakan, wajib untuk meyakini bahwa pendapat itulah yang paling benar.

Bahkan ceritanya, pahlawan kita dalam memerangi penjajah, Pangeran Diponegoro, dalam taktik perangnya tidaklah menggunakan ilmu stategi perang praktis, akan tetapi beliau hanya bermodal pemahaman dan penjiwaan tersendiri terhada sebuah kitab yang dikaji disemua pesantren, Fathal Qarib. hingga sekarang kitab beliau ini masih dirawat dengan baik oleh pihak keluarga.

Dalam fan ilmu fikih, para ulama seakan sepakat soal peletakan bab per-babnya, yang mana diawali dengan materi-materi kewajiban hamba dalam sembah baktinya kepada Tuhan, seperti salat, zakat, puasa hingga haji diakhirnya.

Tema-tema tadi tentang hubungan dengan Tuhan, diletakkan diawal karena berkaitan dengan tujuan utama hamba diciptakan, yakni hanya untuk beribadah kepadaNya, selanjutnya tema menyangkut hubungan hamba dengan sesamanya. Seperti nikah, transaksi dan lainnya.

Pada bab pertama tentang Thaharah (bersuci), tema ini menjadi penting didahulukan sebab menyangkut keabsahan segala aktivitas peribadatan hamba, dalam bersuci ini menghilangkan hadas yang ada pada badan.

makna implisitnya, sebelum beraktivita dalam menghamba, tugas pokok yang juga vital adalah membersihkan kotoran-kotoran hati, seperti riya’, takabur, ‘ujub dll. penting karena tidaklah ada gunanya amaliah lahir tanpa kesucian jiwa kecuali menggugurkan hukum wajib secara lahir semata. Setelah kunci pembuka ibadah terpenuhi  kemudian menyusul materi kewajiban pokok agama; salat, zakat, puasa hingga haji.

Setelah materi hubungan ketuhanan, menyusul materi transaksi-transaksi, jual-beli, sewa, gadai dan sebagainya yang kaitannya dengan jalinan kebutuhan sosial. Sebab, kehancuran manusia seringkali disebabkan sengketa yang hubungannya dengan harta. Oleh karena itu agama mengaturnya, bukan kerena membatasi ruang gerak, namun lebih pada kepentingan bagi manusia sendiri dan stabilitas umum.

Materi selanjutnya adalah nikah dan pernak-perniknya. Materi ini diletakkan setelah materi hubungan horizontal manusi, karena ketika kebutuhan manusia dengan perutnya terpenuhi, mereka akan beralih untuk memenuhi kebutuhan seksualnya. Apalagi ketika terpenuhinya kebutuhan perut berlebihan, sudah barang tentu birahinya akan sulit dikendalikan.

Tema selanjutnya, dan menjadi penutup yakni perbudakan, sistem perbudakan dizaman ini mungkin sudah tidak ada semenjak gerakan abolisionisme (menentang perbudakan) digencarkan, Pemerintah Inggris mengesahkan Undang-Undang Perdagangan Budak pada tahun 1807 yang menghapuskan perdagangan budak di Imperium Britania. Pada tahun 1808.Undang-Undang Penghapusan Perbudakan disahkan pada tahun 1833 dan tanggal 1 Agustus 1834.[1]

Namun tema ini tetap ditampilkan dalam Kutubussalaf, sebab tidak menutup kemungkinan sistem perbudakan akan muncul kembali dikemudian hari, lebih-lebih di wilayah yang masih tetap terjadi konflik seperti di Timur Tengah.

Meski secara eksplisit Rasulullah tidak resmi ingin menghapus sitem perbudakan, namun sebenarnya ada indikasi kuat beliau mencita-citakannya, dengan bukti beliau sangat menganjurkan Sahabatnya untuk memerdekakan budak, dengan iming-iming pahala yang besar, atau dalam sebagian kasus, seperti ketika larangan bersenggama dibulan puasa diterjang, maka sebagai hukumannya secara berjenjang adalah berpusa 2 bulan berturut-turut, memberi makan orang fakir dan membebaskan satu budak sebagai opsi terakhir ketika yang awal tidak mampu.

Tema ini (perbudakan) diakhirkan dalam peletakannya adalah sebagai simbol dari permohonan para pengarang kitab agar beliau juga tertular  bisa merdeka dan bebas dari ancaman api nereka. Setelah sebelumnya berusaha sekuat kemampuan menjalani kehidupan dengan taat.

Sistematika peletakan tema tadi juga bisa kita jadikan sebagai “peta hidup” yang ideal dihari depan terutama santri, bahwa kewajiban bagi santri yang pertama dan yang harus diutamakan adalah fokus dalam belajar ilmu agama (salat zakat dll.), syariat dan hakikat, menghilangkan hal-hal lain diluar itu. Setelah merampungkan studinya, jenjang kehidupan selanjutnya adalah mencari sumber penghasilan, yakni terapan materi hubungan sosialnya. Setelah dirasa cukup, kemudian mencari pendamping hidup, terapan materi nikah.[]

 

[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Imperium_Britania

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.