Santri adalah Anak Sendiri

Refleksi Peringatan 1000 Hari Wafatnya KH. Imam Yahya Mahrus

Ada kendala cukup berat yang harus diterima panitia menjelang pelaksanaan acara. Panggung dan tenda yang sudah terpasang sejak dua hari sebelumnya, roboh oleh angin kencang pada sabtu siang. Acara yang rencananya dimulai sabtu setelah maghrib, diambang kekhawatiran akan penundaan yang lama.

Syukur, yang ditakutkan tidak terjadi. Berkat kesigapan panitia, acara yang bertajuk “Tahlil Akbar;memperingati 1000 hari KH. Imam Yahya Mahrus” malam itu tetap dapat terlaksana sesuai jadwal.

Acara dibuka dengan bacaan tahlil yang dipimpin oleh KH. Melvien Zainal Asyiqien, putra kedua almaghfurlah KH. Imam Yahya Mahrus. Bila dicermati, ada satu hal yang menarik dalam acara ini, yakni setelah tahlil, acara diteruskan dengan pembacaan manaqib Syaikh Abdul Qadir Al Jailani. Rupa-rupanya, beliau almaghfurlah sangat senang membaca manaqib. Sebagaimana pengakuan KH. Reza Ahmad Zahid (putra pertama almaghfurlah) saat memberi sambutan, semasa sugengnya setiap malam jum’at beliau selalu mengajak santri-santri untuk membaca manaqib. Kebiasaan inilah yang enggan ditinggalkan oleh keluarga beliau. Sehingga setiap ada gawean, terutama gawean besar seperti Seribu Hari beliau ini, musti ada pembacaan manaqib di salah satu susunan acaranya.

Masih dalam sambutan beliau, Gus Reza -panggilan akrab KH. Reza Ahmad Zahid- mengagumi sosok ayahandanya yang berusaha keras agar bisa dekat dengan santrinya. Beliau ingin para santriyang beliau asuh bukan hanya berhubungan sebatas kiai-santri. Lebih jauh, almaghfurlah menginginkan hubungan yang lebih dekat, lebih intim, layaknya bapak dengan anaknya. “Beliau ayahanda tidak pernah memanggil santri-santrinya dengan ‘ini santriku’atau ‘ini muridku’. Beliau memanggil santri-santrinya dengan ‘ini adalah anak saya’, ‘ini adalah putra saya’, ‘ini adalah putri saya’. Ini juga menunjukkkan umik saya putra-putrinya banyak sekali,” lanjut Gus Reza diiringi tawa renyah hadirin.

[ads script=”1″ align=”center”]

Kemudian, KH. Kafabihi Mahrus, yang merupakan adik kandung almaghfurlah, dalam sambutan singkat beliau memberikan sedikit petuah bagi hadirin. “Majelis dzikir adalah majelis mulia. Di sini diucapkan kalimah la ilaaha illallah,”. “Ada satu cerita, Nabi Musa meminta kepada Allah satu dzikir. ‘ucapkan laa ilaaha illallaah’. ‘ya allah, ini kan bacaaan yang biasa dibaca oleh nabi-nabi. Saya meminta bacaan khusus yang tidak pernah dibaca’. ‘Hai Musa, andaikan kalimah laailaaha illallah ini ditimbang, maka lebih berat daripada langit-bumi seisinya.”.

Purnama sudah lewat satu hari, malam itu masih nampak terang. Dengan ‘angin nakal’ yang terus menderu sejak awal, para hadirin tetap tak beranjak dari kursi dan tetap khidmat menikmati acara seribu hari. Seperti yang telah diduga, mayoritas hadirin adalah santri PP. Al Mahrusiyah (ponpes yang didirikan almaghfurlah) yang kini sudah mencapai sekitar 2.000 santri. Seluruhnya dari mereka memakai seragam putih, seragam khas santri yang menunjukkan kepolosan dan ketulusan. Tamu undangan yang terdiri dari alumni, wali santri, keluarga besar Lirboyo dan warga sekitar yang berjumlah besar nampak secuil jika dibandingkan dengan ribuan santri itu.

Untuk menemani pikiran hadirin yang mestinya sudah suntuk, Al Habib Fahmi Al Muhdlor dari Madura yang diminta untuk memberikan sepatah dua kata, menghadirkan materi-materi dakwah ringan yang diselingi joke-joke,“Kalau saya boleh usul, panitia tolong saya dikasih meja. Angine banter Bu. Kalau sarung yang ucul, saya masih maklumi. Tapi wedi isine sing ucul,”. Tentang tahlil, beliau memberi pandangan, “’Tahlil ini yang nyuruh siapa Bib?’ Yang nyuruh tahlil niki Pak, Bu, Gusti Allah. Allah sudah berfirman; rabbanaghfir lana wa li ikhwanina alladzina sabaquuna bil imaan,”.

Selanjutnya, oleh beliau para hadirin dibawa dalam suasana yang terlalu sayang dibawa lelap. Walhasil, apa yang disampaikan beliau tentang tahlil, kemuliaan orang tua, bisa diterima dengan pikiran yang lapang.

Beliau sempat bercerita tentang nasib anjing Qithmir, anjing Ashabul Kahfi yang sempat dihadang masuk surga oleh Malaikat Ridwan. Karena dia begitu setia menemani orang-orang shalih, dia melenggang nyaman menuju surga. Bagaimana orang shalih mendapat tempat terhormat disamping Allah, sehingga selayaknya kita mencintai orang-orang shalih demi mendapatkan penghormatan dan kemuliaan dari Allah.

Banyak tokoh yang hadir malam itu. Selain KH. Kafabihi Mahrus (pengasuh Ponpes Lirboyo) dan Al Habib Fahmi Al Muhdlor, acara yang berlangsung di Ponpes Al Mahrusiyah III ini juga berhiaskan cahaya kemuliaan para kiai dan habaib, seperti KH. An’im Falakhuddin Mahrus yang baru saja dilantik menjadi anggota DPR RI, KH. Hasib Wahab Hasbullah dari Jombang, KH. Aziz Masyhuri, Al Habib Mustofa Al Jufri dan tokoh-tokoh lain yang dirundung rindu dengan almaghfurlah.

Penulis, Hisyam Syafiq, Kru Mading Hidayah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.