Sudah merupakan hal yang maklum apabila seseorang mendalami suatu bidang tertentu, maka dia akan menguasainya. Contohnya mahasiswa jurusan teknologi dan informasi pasti selalu update tentang teknologi-teknologi terbaru. Seorang dokter sudah pasti memiliki pengetahuan mendalam tentang seputar kesehatan tubuh. Seorang psikolog bisa dipastikan mampu membedakan orang gila dan orang pura-pura gila melalui gerak-geriknya. Begitupun seorang santri –yang notabenya mendalami ilmu agama– bisa dipastikan kalau jalan hidupnya selaras dengan tuntunan agama.
Namun juga merupakan hal yang sudah
mafhum bahwasanya dalam setiap kaidah pasti ada pengecualiannya dalam beberapa
kasus. Dalam contoh diatas maka bisa jadi ada seorang mahasiswa jurusan
teknologi dan informasi yang bahkan tidak bisa membedakan fungsi RAM dengan ROM dalam komputer. Adakalanya seorang dokter tidak
mampu mendiagnosis penyakit pasiennya. Terkadang ada seorang psikolog yang
tidak memahami apakah tangisan seseorang itu karena sedih atau terharu. Dan
bisa jadi ada santri yang kelakuannya tidak sesuai dengan nilai-nilai agama.
Yang jadi pertanyaan adalah, kenapa bisa seperti itu? Kenapa ada seorang santri yang bertahun-tahun menghabiskan umurnya untuk mempelajari ilmu agama di dalam pondok pesantren namun kelakuannya bahkan lebih kekanak-kanakan daripada anak kecil? Atau bahkan perangainya lebih tidak beradab dibanding preman pasar.? Menurut hemat penulis, mungkin jawabannya adalah ‘pertanyaan’ itu sendiri.
Dalam ruang lingkup belajar-mengajar, seorang pelajar sangat dianjurkan untuk bertanya apabila tidak memahami pelajaran yang dihadapinya. Sebagaimana ada ungkapan, “tidaklah mendapat ilmu seorang pelajar yang malu bertanya.” Apalagi dalam event seperti musyawarah dan bahtsul masa’il, pelajar semakin dianjurkan untuk bertanya suatu masalah sampai sedalam-dalamnya karena tanpa pertanyaan maka dua acara tersebut tidak akan ada bedanya dengan seminar atau ceramah.
Namun sebagaimana kaidah ‘setiap kaidah ada pengecualiannya’ diatas tadi, tidak semua pertanyaan adalah hal yang
positif bagi pelajar. Ada banyak
pertanyaan-pertanyaan yang berdampak buruk sehingga dilarang keras hinggap di
hati seorang pelajar.
Ada sebuah kisah seputar pertanyaan yang berbahaya
ini.
Zaman dulu, proses belajar-mengajar di pondok pesantren tidaklah berbentuk
madrasah seperti sekarang. Dulu sistemnya adalah ngaji bandongan dan sorogan.
Pada suatu waktu, ketika KH. Abdul Karim, muasis Pondok Pesantren
Lirboyo sedang membacakan kitab di hadapan santri-santri beliau, ada seorang
santri yang spotan bertanya dalam hatinya; kenapa setiap membaca makna isim
dhomir beliau tidak menyertakan marji’nya? Mungkin santri tadi
adalah santri baru yang belum mengetahui ciri khas membaca kitab KH. Abdul Karim.
Lalu tiba-tiba KH. Abdul Karim mengatakan bahwasanya dhomir itu letaknya
di hati, maka hanya orang yang tidak punya hatilah yang tidak mampu mencari marji’
dhomir.
Pertanyaan santri tadi adalah hal yang wajar
ditemui dalam hati seorang santri. Banyak santri yang memunculkan
pertanyaan-pertanyaan serupa ketika mendengar pembacaan ma’na atau penjelasan
dari guru yang menurut santri tersebut tidak pas. Itu adalah sebuah pertanyaan
yang sangat sepele namun dampaknya sangatlah besar.
Kemarahan guru. Padahal dalam konsep islam, ilmu seorang murid
tidaklah akan bermanfaat kecuali dengan ridha sang guru. Maka adalah suatu
kehancuran apabila seorang murid membuat marah sang guru.
Pertanyaan yang menghancurkan tadi pada sejatinya
bermula dari keraguan seorang murid akan kredibilitas keilmuan sang guru.
Bentuknya pun bermacam-macam, seperti ‘kenapa santri dilarang membawa hp,
merokok di bawah umur, berambut gondrong, dan seterusnya’, ‘kenapa juga santri
harus menghafal nadzom dan pelajaran yang belum tentu dipahaminya atau
kemungkinan besar akan dia lupakan, dan seterusnya,’ yang intinya adalah
keraguan murid akan wejangan gurunya.
Secara
logis dapat ditarik kesimpulan, bagaimana seorang murid akan mendapatkan ilmu
yang bermanfaat kalau dia ragu kepada gurunya sendiri? Ini bagaikan seorang
musafir yang tersesat lalu bertanya arah jalan yang benar pada seseorang. Namun
si musafir sendiri tidak mempercayai orang tersebut. Maka semakin tersesatlah
ia.
Maka dari itu seorang pelajar lebih-lebih seorang santri hendaknya senantiasa manut kepada gurunya. Hendaknya ia menjaga tubuh dan hatinya dari hal-hal yang dapat menghilangkan ridha gurunya. Karena santri yang bisa membuat bangga gurunya bukanlah santri yang cerdas, tapi santri yang sholeh.(TB)
Penulis : M. Irwan Zuhdi (Mahasantri Ma’had Aly Lirboyo)