Tradisi Gaduh Sapi

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Bagaimanakah pandangan fikih mengenai kebiasaan masyarakat yang sering dinamakan dengan istilah Gaduh hewan ternak?. Apabila tidak sah, bagaimanakah solusinya?. Karena praktek seperti ini sudah menjadi tradisi, terimakasih.

(Abdur Rahman, Sumberasih-Probolinggo)

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

___________________

AdminWa’alaikumsalam Wr. Wb.

Praktek gaduh banyak dilakukan masyarakat bahkan sudah menjadi tradisi di sebagian besar wilayah di Jawa Timur. Gaduh merupakan sebuah istilah yang digunakan masyarakat untuk sebuah praktek kerjasama dalam perawatan hewan ternak.

Sistematikanya cukup sederhana, yaitu pihak pemilik hewan ternak menyerahkan hewan ternaknya pada seseorang yang mau merawatnya. Yang harus dilakukan oleh perawat adalah merawat hewan ternak tersebut. Sedangkan terkait ongkos atau upah dikembalikan terhadap kesepakatan kedua belah pihak. Kaitannya dengan upah yang diberikan, biasanya dalam praktek nyata terdiri dari dua macam, yaitu membagi keuntungan dari hasil penjualan atau upah berupa anak sapi yang dihasilkan.

Secara umum, kedua praktek upah yang dijanjikan tidak sah karena upahnya termasuk Majhul (tidak ada kejelasan). Dengan perincian, apabila yang dimaksud adalah menyewa orang dengan ongkos membagi hasil penjualan, maka termasuk akad Ijaroh Fasidah. Begitu juga apabila upah yang dijanjikan berupa pembagian anak hewan ternak tersebut. Karena anak hewan ternak tersebut bukan hasil dari pekerjaan yang dilakukan oleh pihak perawat hewan ternak.

Dalam kitab Mughni al-Muhtaj, syekh Khotib as-Syirbini mengatakan:

وَلَوْ قَالَ شَخْصٌ لآخَرَ سَمِّنْ هَذِهِ الشَّاةَ وَلَكَ نِصْفُهاَ أَوْ هاَتَيْنِ عَلىَ أَنَّ لَكَ إِحْداَهُماَ لَمْ يَصِحَّ ذَلِكَ وَاسْتَحَقَّ أُجْرَةَ المِثْلِ لِلنَّصْفِ الذِّى سَمَنَّهُ لِلْماَلِكِ

Apabila ada orang berkata kepada orang lain: Gemukkan kambing ini, nanti kamu saya beri komisi separuh dari laba penjualan. Atau seseorang berkata: Gemukkan dua kambing ini, nanti kamu saya beri yang satu, maka keduanya tidak sah. Dan pihak perawat berhak mendapat upah umum. Sedangkan hasilnya semua dimiliki yang punya kambing.”[1]

Selanjutnya, dalam kitab al-Bujairomi ‘ala al-Khotib disebutkan:

لَوْ أَعْطَى شَخْصٌ آخَرَ دَابَّةً لِيَعْمَلَ عَلَيْهَا، أَوْ يَتَعَهَّدَهَا وَفَوَائِدُهَا بَيْنَهُمَا لَمْ يَصِحَّ الْعَقْدُ؛ ِلأَنَّهُ فِي اْلأُولَى يُمْكِنُهُ إيجَارُ الدَّابَّةِ فَلاَ حَاجَةَ إلَى إيرَادِ عَقْدٍ عَلَيْهَا فِيهِ غَرَرٌ، وَفِي الثَّانِيَةِ الْفَوَائِدُ لاَ تَحْصُلُ بِعَمَلِهِ

“Jika seseorang memberikan hewan piaraannya kepada orang lain agar dipekerjakan atau untuk dipelihara, dan hasilnya dibagi antara keduannya, maka akad tersebut tidak sah. Karena pada praktek pertama adalah menyewakan hewan, sehingga tidak ada keperluan mendatangkan akad lagi . Karena hal tersebut berpotensi mengandung penipuan. Adapun praktek kedua juga tidak sah karena perkara yang dihasilkan dari hewan piaraan itu bukan dari jerih payah pekerjaannya.”[2]

Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa praktek Gaduh hewan ternak hukumnya tidak sah menurut madzhab Syafi’iyah. Namun ada salah satu solusi yaitu dengan mengikuti salah satu pendapat dari madzhab Hanabilah.  Dalam kitab al-Mughni Li Ibni Qadamah disebutkan:

وَإِنِ اسْتَأْجَرَهُ عَلَى رِعَايَتِهَا مُدَّةً مَعْلُوْمَةً بِنِصْفِهَا أَوْ جُزْءٍ مَعْلُوْمٍ مِنْهَا صَحَّ لِأَنَّ الْعَمَلَ وَالْأُجْرَ وَالْمُدَّةَ مَعْلُوْمٌ

Apabila seseorang menyewa perawat untuk menjaga (merawat) hewan ternaknya dengan upah separuh dari laba penjualan hewan tersebut atau bagian (anak) yang dihasilkan dari binatang tersebut, maka akad tersebut sah. Karena pekerjaan, upah, dan masanya telah diketahui.”[3]

[]waAllahu a’lam

 

 

Referensi:

[1] Mughni al-Muhtaj, III/230

[2] al-Bujairomi ‘ala al-Khotib, III/231

[3] al-Mughni Li Ibni Qadamah, V/252, Maktabah Syamilah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.