Berhentinya Adzan Di Langit Andalusia

Bumi Andalusia, secara etimologis nama ini punya kaitan dengan kaum Vandal, orang-orang yang sudah lebih dulu menghuni semenanjung Eropa Barat jauh sebelum orang-orang Arab. Tanah taklukan ini sempat bersinar oleh cahaya Islam, dimana pada masa jayanya, ketika tiba waktu salat, suara adzan akan datang bersahut-sahutan silih berganti di seluruh penjuru negeri. Andalusia memancarkan kharisma dan panorama Islam, yang hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Andalusia, terutama kota Cordova, kotanya penulis tafsir kenamaan Islam, tafsir Qurthuby, memiliki reputasi yang maju. Hampir semua orang di kota itu bisa membaca.

Emirat Ummayah yang “didirikan” oleh Abd Al-Rahman Al-Dakhil mampu bertahan sekitar dua tiga perempat abad. Melalui perjuangan penuh, perlahan-lahan seluruh daerah bersatu. Prestasi yang gemilang dan menggembirakan, karena Islam mampu menunjukkan bahwa kemenangan selalu berpihak kepadanya. Namun patut disayangkan, seiring berjalannya waktu, akibat intrik, satu demi satu provinsi-provinsi yang ada mulai lepas dari kekuasaan sang Amîr.

Pada masa kepemimpinan Amîr ke delapan, Abd Al-Rahman III, Andalusia berdiri diatas angin. Ia mencapai puncak kejayaan epos Arab di semenanjung itu. Cordova memperoleh reputasi sebagai ibukota maju dan “tiada tara” untuk sebuah wilayah yang disatukan dengan susah payah. Menguntit saingan ketatnya di timur, Baghdad. Abd Al-Rahman III yang naik tahta di usa belia, dua puluh tiga tahun, mampu membuktikan prestisenya sebagi pemimpin yang cakap, punya keteguhan hati, dan kejujuran. Padahal dia mendapat “warisan” negeri yang sedang terpuruk. Kekuasaan Emirat Ummayah kala itu hanya tersisa kota Cordova dan sekitarnya. Namun pahlawan sejati ini mampu tampil menyatukan kembali provinsi-provinsi yang hilang ke dalam kekuasaan yang absolut. Dalam setengah abad kepemimpinannya, wilayah kekuasaan Emirat Ummayah semakin meluas ke beragam penjuru.

[ads script=”1″ align=”center”]

 

Sukses mengatasi problem politik, Abd Al-Rahman III mulai membangun kotanya, dilanjutkan dua penerusnya, Al-Hakam II dan Al-Hajib Al-Manshur, Emirat Ummayah mencapai masa kejayaan di tiga periode ini. Masa supremasi muslim atas bumi Andalusia yang “belum dapat diulang” kembali sampai sekarang. Kita tentu membayangkan, ada di Cordova pada masa Al-Hakam II seribu tahun yang lalu, sama dengan ketika saat ini kita ada di Madinah Al-Munawwaroh. Dimana kita bisa melihat lambang bulan sabit ada dimana-mana. Dan kita bisa melihat suasana kental negara muslim. Bedanya, di sana sesekali akan turun salju dan di Madinah tak pernah ada salju. Suasana pasar muslim yang meriah, juga aktivitas keilmuwan di Masjid Agung Cordova, Mezquita yang mirip dengan halaqoh pengajian-pengajian di Masjid Nabawi saat ini. Diceritakan, Cordova pada masa keemasannya menjadi kota paling berbudaya bukan hanya di wilayah Andalusia saja, namun di seluruh Eropa. Bersama Konstantinopel dan Baghdad, Cordova menjadi pusat kebudayaan dunia. Setidaknya ada 130.000 rumah, tujuh puluh tiga perpustakaan, banyak toko buku, masjid dan istana. Cordova memiliki bermil-mil jalan yang rata disinari lampu-lampu dari rumah-rumah di pinggirannya. Padahal, tujuh abad setelah ini, London “hanya” punya satu lampu umum. Dan di Paris berabad-abad kemudian, orang yang keluar rumah saat hujan turun akan terjebak dalam banjir kubangan lumpur setinggi pergelangan kaki. Para penguasa di luar kota yang membutuhkan penjahit, penyanyi, arsitek, bahkan ahli bedahpun akan menuju kota ini. Kemasyhuran Cordova sebagai ibukota bahkan menembus telinga orang-orang Jerman. Hingga ada yang menjulukinya “permata dunia”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.