Hukum Penggunaan Bejana dalam Islam

Hukum Penggunaan Bejana dalam Islam

Sesungguhnya agama Islam merupakan agama yang telah sempurna. Agama Islam bukanlah agama yang hanya mengatur urusan antara seorang hamba dan Tuhannya saja, namun Islam juga mengatur berbagai permasalahan yang berkaitan dengan hal keduniaan. Termasuk permasalahan dunia yang diatur dalam agama Islam adalah hukum penggunaan bejana.

Dalam KBBI (kamus besar bahasa Indonesia), arti dari bejana adalah sebuah benda berongga yg dapat diisi dengan cairan atau serbuk, atau sebuah bak (tempat air), atau sebuah tabung, dan digunakan sebagai wadah yang berfungsi untuk menyimpan barang atau bahan tertentu, mengangkut barang atau bahan tertentu dari satu tempat ke tempat yang lain. Bejana juga merupakan alat yang sangat bermanfaat sekali untuk membantu segala kebutuhan manusia, mulai dari makan, minum, wadah sesuatu, dan lain-lain.

Pada kesempatan kali ini, penulis hendak menyajikan ulasan singkat dalam perspektif hukum fikih mazhab Syafi’i mengenai bejana yang terbuat dari emas atau perak, bejana yang dilapisi keduanya, bejana yang terbuat dari selain keduanya, dan hal-hal yang bersinggungan dengan tema ini. Tentunya dalam mengulas tema ini tidak bisa lepas dari beberapa literatur kitab fikih mazhab Syafi’i yang otoritatif (mu’tabar) serta telah teruji keautentikannya.

Bermula dari sabda Nabi Muhammad Saw yang berbunyi :

“لَا تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَا تَأْكُلُوا فِي صِحَافِهَا….الحديث”

“Janganlah kalian minum dari bejana emas dan perak dan jangan pula kalian makan dari mangkuk yang terbuat dari keduanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari hadits ini, mayoritas Ulama mazhab Syafi’i sepakat bahwa larangan itu mengarah pada hukum haram. Larangan tersebut juga bersifat umum, yakni untuk laki-laki atau perempuan.

Hukum Menggunakan Bejana yang Terbuat dari Emas dan Perak

Imam Ibn al-Qasim dalam kitab Fath al-Qarib menjelaskan bahwa hukum menggunakan bejana yang terbuat dari emas dan perak adalah tidak boleh (haram), kecuali apabila dalam keadaan mendesak (dharurat), seperti saat dahaga dan tidak ada wadah selain yang terbuat dari emas dan perak. Maka dalam kondisi yang demikian boleh menggunakan bejana tersebut.

Sedangkan arti/batasan dari menggunakan (Isti’mal) adalah menggunakan, seperti menggunakan pengoles celak mata, sisir, dan sendok sesuai dengan kegunaannya masing-masing. Untuk menghukumi sebuah tindakan apakah sudah termasuk dalam konteks menggunakan atau belum, maka barometernya adalah ‘urf (keumumannya). Artinya jika ada seseorang yang mewadahi dupa dengan wadah emas kemudian menghirup aroma dupa dari jarak yang agak jauh, maka hal demikian tidak termasuk orang yang menghirup menggunakan wadah yang terbuat dari emas, sehingga hukumnya boleh. Hal ini sebagaimana yang ada dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib :

قوله “استعمال شيء إلخ” أي قَلِيْلًا أَوْ صَغِيْرًا فَيَحْرُمُ الْمُرُوْرُ فِيْ غَيْرِ الضَّرُوْرَةِ السَّابِقَةِ والمكحلةِ والخلالِ والإبرةِ والملعقةِ والمشطِ والمبخرةِ ونحوِها مِنْ ذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ فَيَحْرُمُ التَّبْخِيْرُ بِالْمبخرةِ المذكورةِ نَعَمْ لَوْ شُمَّ رَائِحَتُهَا من بعد بحيث لا يُعَدُّ مُسْتَعْمَلًا لَهَا لَمْ يَحْرُمْ.

Catatan :

  • Sebagian versi dari kalangan Hanafiyyah memperbolehkan bejana minuman dari emas dan perak. Imam al-Bajuri sendiri menganjurkan untuk mengikut (taqlid) pada pendapat tersebut bagi orang yang terlanjur melakukannya, agar terhindar dari jeratan hukum haram[1].
Hukum Menggunakan Bejana yang Terbuat dari selain Emas dan Perak

Imam Ibn al-Qasim dalam kitab Fath al-Qarib menjelaskan bahwa hukum menggunakan bejana yang terbuat dari selain emas dan perak adalah boleh, meskipun terbuat dari permata, intan dan barang berharga lainnya.

Hukum Menyimpan atau Mengoleksi Bejana Emas dan Perak

Terdapat 2 versi pendapat tentang hukum menyimpan atau mengoleksi bejana emas dan perak.

  • Versi al-Ashoh : Haram, berdasarkan kaidah :

“مَا حَرُمَ اِسْتِعْمَالُهُ حَرُمَ اِتِّخَاذُهُ”

Sesuatu yang haram penggunaannya, maka haram pula penyimpanannya”.

  • Versi muqâbil al-Ashoh : Halal (boleh), karena larangan yang ada dalam hadits hanya sebatas penggunaan[2].
Bejana yang terdapat tambalan atau lapisan Emas/Perak

Imam Ibn al-Qasim dalam kitab Fath al-Qarib menjelaskan bahwa menggunakan bejana yang terdapat lapisan emas atau perak, yang jika dibakar dengan suhu tinggi akan meleleh atau hilang lapisannya, itu tidak boleh (Haram).

Sementara untuk hukum menggunakan bejana yang terdapat tambalan emas atau perak itu masih perlu adanya perincian :

  1. Tambalan Emas
  • Jika tambalan tersebut berupa emas, entah sedikit ataupun banyak (Mutlak), maka hukum penggunannya haram.
  1. Tambalan Perak
  • Jika tambalan perak tersebut cukup banyak secara keumumannya (‘Urf), serta penambalannya bertujuan sebagai hiasan saja atau memperindah, maka hukum penggunaannya haram.
  • Jika tambalan perak tersebut cukup banyak secara keumumannya (‘Urf), serta penambalannya karena ada hajat (kebutuhan), maka hukum penggunaannya boleh, namun besertaan makruh.
  • Jika tambalan perak tersebut sedikit secara keumumannya (‘Urf), serta penambalannya bertujuan sebagai hiasan saja atau memperindah, maka hukum penggunaannya makruh.
  • Jika tambalan perak tersebut sedikit secara keumumannya (‘Urf), serta penambalannya karena ada hajat (kebutuhan), maka hukum penggunaannya boleh.

[1] Ibrahim al-Bajuri. Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib al-Mujib. Juz 1. Surabaya : Haramain.

[2] Kanz al-Raghibin dan Hamisy al-Qulyubi, Juz 1, hal. 23, Dar al-Fikr.

Baca juga : Yang Harus Kamu Pelajari Sebagai Muslim

Subscribe : Channel Youtube Pondok Pesantren Lirboyo

Hukum penggunaan bejana dalam islam
Hukum penggunaan bejana dalam islam

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.