Ngaji Tafsir; Memberdayakan Masyarakat

Berbicara soal peradaban, tentu akan membuka ruang dialog yang begitu intensif. Pasalnya, sebuah peradaban merupakan hal yang paling penting dalam tatanan dan perjalanan roda kehidupan. Sebuah masyarakat yang memiliki nilai peradaban akan memiliki kualitas kehidupan yang lebih baik daripada golongan masyarakat yang yang tidak beradab. Dan satu hal yang perlu dicermati, peradaban dalam pengaplikasiannya tidak pernah terlepas dengan pelaku-pelaku sosial yang menggerakkan, menumbuhkembangkan, serta memberdayakan masyarakat tersebut.

Dalam konteks realita ini, Allah Swt telah berfirman dalam Al-Qur’an:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”, (QS. At-Taubah: 122).

Dalam kitab tafsirnya yang berjudul Jami’ Al-Bayan fii Ta’wil Al-Qur’an atau yang lebih sering dikenal dengan nama Tafsir At-Thabari, Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari menjelaskan begitu banyak perbedaan pendapat para ulama Ahli Tafsir dalam memahami ayat tersebut. Diantara mereka, ada yang menitikberatkan dalam kajian historis, pendekatan kritis sosial, dan aktualisasi isi kandungan ayat. Beberapa diantaranya terangkum dalam beberapa pendapat berikut:

Diriwayatkan dari sahabat Mujahid Ra, beliau berkata: “Dulu, para Sahabat Nabi banyak yang ditugaskan di daerah suku pedalaman tanah Arab. Di sana, mereka membangun interaksi yang baik dan memajukan sektor pertanian yang bermanfaat bagi penduduk setempat. Selain itu, para Sahabat Nabi tersebut juga mendakwahkan ajaran Islam kepada penduduk setempat. Setelah menapaki jalan kesulitan, akhirnya mereka kembali dan menemui Rasulullah Saw untuk menceritakan apa yang telah mereka alami. Sehingga turunlah ayat tersebut”.

Sahabat Qatadah Ra, mengambil pemahaman bahwa ketika Rasulullah Saw mengutus angkatan perang, hendaklah sebagian diantara mereka tetap tinggal bersama Beliau untuk lebih memperdalam pengetahuan agama mereka. Kemudian sebagai upaya tindak lanjut, mereka juga berkewajiban mendakwahkan apa yang telah didapat terhadap kaumnya. Ada juga ulama yang menafsiri dengan pola terbalik dari penafsiran sahabat Qatadah Ra, yaitu para angkatan perang itu lah yang memperdalam keilmuan secara umum demi pembangunan peradaban masyarakatnya setelah mereka kembali.

Sahabat Ibnu Abbas Ra, menceritakan sebuah kisah terkait dengan penafsiran ayat tersebut. Yaitu, pada zaman dahulu bangsa Arab memiliki kelompok-kelompok suku yang begitu banyak jumlahnya. Kemudian, sebagian diantara mereka menemui Rasulullah Saw seraya bertanya, “Apa yang Anda perintahkan untuk kami kerjakan, dan beri tahu kami terhadap apa yang harus kami sampaikan pada keluarga kami saat kami kembali pada mereka?”. Mendengar pertanyaan itu, Rasulullah Saw menyuruh mereka untuk menyampaikan perintah shalat, zakat, dan kewajiban yang lain dan senantiasa taat terhadap Allah dan rasul-Nya. Setelah mereka kembali ke daerah masing-masing, mereka menyampaikan apa yang telah diperintahkan oleh Rasulullah Saw dan mendakwahkan agama Islam di tengah-tengah masyarakatnya.

Secara garis besar, dari QS. At-Taubah ayat 122 dapat ditarik sebuah pemahaman. Kandungan dan penafsiran ayatnya bermuara pada kewajiban seorang muslim untuk bertanggungjawab atas keadaan umat yang ada di sekitarnya. Karena dalam konteks ini, pemberdayaan masyarakat sekitar merupakan sebuah amanah yang murni muncul dari kesadaran sosial semata. Sehingga, tidak berlebihan kiranya apabila membangun ruh keilmuan dan peradaban masyarakat merupakan sebuah keharusan yang menjadi lahan implementasi nyata dari tanggung jawab yang sebenarnya.[] waAllahu a’lam

 

_________

Disarikan dari kitab Jami’ Al-Bayan fii Ta’wil Al-Qur’an (Tafsir At-Thabari), karya Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.