Kenapa Kita Harus Membeli Barang di Toko Kiai

Photo by šŸ‡øšŸ‡® Janko Ferlič on Unsplash

Saat liburan pesantren beberapa waktu lalu, salah satu kegiatan yang saya lakukan adalah menjelajahi isi salah satu aplikasi jual beli di ponsel. Bermacam-macam barang dengan mudah kita jumpai di dalamnya. Mulai dari kebutuhan pokok sampai barang tak berguna, mulai dari yang berharga puluhan juta hingga yang harganya lebih murah dari ongkos kirimnya. Mulai dari yang kuno, sampai yang terbaru, semua ada di sana. Betapa zaman semakin memberikan kemudahan untuk kita.

Menjadi seorang santri mendorong saya untuk mencari kebutuhan primer pesantren: kitab. Saya cari dua kitab besar “wajib” para santri: Ihya’ Ulumuddin dan Hasyiyah Showi, dan yang saya temukan di aplikasi jual beli itu adalah puluhan penjual dua kitab tersebut. Harga dan kualitasnya pun beragam. Ada satu toko yang membuat saya tertarik, alasannya kitab yang dijualnya bagus (cetakan penerbit Mesir, kertas putih dengan teks kitab yang disertai paragaf, titik dan koma, sehingga mudah dibaca) dan harganya termasuk murah karena sedang promo.

Sebenarnya dua kitab yang saya cari itu tersedia di toko-toko di pesantren kita. Namun seperti yang kita tahu, toko-toko itu hanya menyediakan Ihya dan Showi dalam dua cetakan.

Pertama, cetakan penerbit Beirut yang kualitas kertasnya tidak cocok untuk dimaknai dan teks kitabnya, meski terdapat paragraf,, namun sering ditemukan kekurangan atau salah cetak.

Kedua, cetakan penerbit lokal yang kertasnya bagus untuk dimaknai, namun teks kitabnya memenuhi seluruh halaman tanpa disertai paragraf, titik, dan koma, hanya santri mempeng yang betah memutholaahnya.

Maka saya mengutarakan niat membeli dua kitab dari toko online itu kepada ayah saya, beserta alasan-alasan di atas. Ayah saya memberi jawaban singkat. ā€œBeli di pesantren saja, toh yang jual juga kiai kamu sendiri.ā€

Saya tercekat mendengarnya. Satu, karena harapan membeli di toko online pupus. Dua, karena tidak pernah terpikirkan di otak ini untuk meramaikan toko kiai sendiri. Akhirnya, karena menaati perintah orang tua dalam kebaikan adalah kewajiban—dengan alasan yang baik pula— maka saya batal membeli dua kitab dari toko online itu.

***

Jika membalas jasa orang tua yang merawat jasmani kita sejak kecil sampai dewasa adalah suatu kewajiban, maka guru yang merawat rohani kita tentu lebih berhak untuk dibalas jasanya. Meskipun kita tidak mungkin membalas seluruh jasa mereka, paling tidak kita berusaha untuk membalasnya. Salah satunya dengan membeli barang di toko milik Kiai dan dzuriyyahnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.