Pandangan Bahagia dalam Islam | Setiap keturunan anak Adam pasti sangat menginginkan agar ia dapat hidup bahagia. Sedangkan bahagia sendiri, memiliki corak yang berbeda-beda. Terkadang keadaan bahagia seseorang tidak berarti bagi orang lain. Argumen ini merupakan pendapat dari Aristoteles.
Aristoteles kemudian menjelaskan pendapatnya di atas sebagaimana keadaan orang fakir akan merasa bahagia ketika dia kaya, orang sakit akan bahagia ketika dia sembuh dari sakitnya, orang yang sedang merindu akan merasa bahagia ketika ia bisa bertemu dengan kekasihnya, seorang penulis akan sangat bahagia jika tulisannya dibaca, dipahami, dan diamalkan orang. Penjelasan ini tentunya bisa di perpanjang lagi.
Bahagia dalam Islam
Akan tetapi sebagai sikap dari kalangan Muslim, pendapat Aristoteles ini ditentang oleh Naquib al-Attas. Menurutnya, konsep tersebut hanya menyentuh pada aspek duniawi saja, sedangkan pandangan Islam, tidak mungkin konsep bahagia dipisahkan dengan aspek dunia dan akhirat.
Secara khusus, al-Attas mendefinisikan kebahagiaan sebagai berikut: “Konsep kebahagiaan dalam Islam (sa’adah) akan dialami dan disadari oleh orang yang benar-benar tunduk dan patuh kepada Allah serta mengikuti bimbingan-Nya. Karena puncak kebaikan dalam hidup adalah cinta kepada Allah”.
Imam al-Ghazali mengungkapkan hal serupa, “Ketahuilah bahwa bahagia ialah sesuatu yang kita rasai nikmat, senang, dan lezat. Sedangkan kelezatan itu bisa didapatkan menurut tabiat masing-masing. Adapun kelezatan hati ialah teguh ma’rifat kepada Allah. Karena hati dijadikan untuk mengingat Allah.”
Dari kedua pendapat ini, dapat disimpulkan keberuntungan atau kebahagiaan yang hakiki hanya bisa dicapai ketika kita dapat meraih cinta Allah dan ampunan-Nya.
Ikhtiar untuk meraih cinta Allah
Ikhtiar meraih keberuntungan dunia-akhirat yaitu ketika kita bisa mendapatkan perasaan cinta kepada Allah. Sedangkan untuk mencapai ke sana bisa dengan cara mengikuti teladan Rasulullah saw. dalam sebuah al-Qur’an dijelaskan:
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. Ali Imran: 31).
Ayat ini menjadi petunjuk bahwa perasaan dan bukti cinta kepada Allah, hanya bisa didapatkan ketika seseorang secara konsisten mengikuti apa yang dikerjakan oleh Rasulullah. Dan hati seseorang akan tergerak ketika di dalam hatinya memiliki mahabbah (cinta) kepada beliau.
Bukankah terdapat hadis yang menyuruh agar kita lebih mencintai Rosulullah SAW daripada yang lainnya. Hadis tersebut berbunyi:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Salah satu dari kalian tidaklah beriman (dengan iman yang sempurna) sampai diriku lebih ia cintai daripada anak, orang tua dan seluruh manusia”. (HR. Muslim)
Karena dalam di dunia ini tiada yang lebih berhak dicintai daripada Allah dan Rosul-Nya. Segala kenikmatan hidup, lahir maupun batin, jasmani atau rohani, semua berasal dari Allah melalui perantara Rosulullah SAW. Andai saja Nabi Muhammad Saw tidak diciptakan, lantas lantaran alasan apa Allah Swt menciptakan alam semesta ini?
Bahagia memang lazim dikaitkan dengan perasaan. Bahagia adalah konsep spirtitual yang berada dalam rasa dan perasaan (jiwa) yang tenang. Yaitu kembali kedalam jatidiri kemanusiaan yang didasari ketuhanan.
Berapa banyak orang miskin yang kita jumpai dapat tertawa lepas dan menikmati setiap kehidupannya. Mereka dapat meraih kebahagiaan dalam kemiskinannya. Sementara banyak pula orang kaya yang merasakan kehidupannya begitu hampa. Bahkan, orang yang hidup di zaman modern yang ditandai dengan keserbapraktisan, belum tentu bahagia. Kemajuan dunia Barat, tidak dapat dipastikan membuat orang yang hidup di sana juga mengecap kebahagiaan.[]
baca juga: Daging Kambing Makanan Favorit Rasulullah dan Mitos Darah Tinggi
tonton juga: RUTINAN PENGAJIAN KEMIS LEGI | Kitab Al-Hikam #2\
Pandangan Bahagia dalam Islam
Pandangan Bahagia dalam Islam