Kisah Semangka vs Kelapa

Alkisah, di sebuah kebun, terdapat dua macam buah yang kebetulan dipelihara Pak Tani sedari bibit hingga besar. Buah semangka dan buah kelapa. Suatu pagi, mereka terlibat suatu obrolan.

“Kasihan deh lo, Ka,” ejek kelapa.

“Emangnya kenapa, Pa?” tanya semangka.

“Gimana nggak, dari kecil, bibit elo terus ditanam tak terlihat di bawah tanah. Mulai dari biji, tunas, bunga, buah hingga masak malah makin tak ada yang bisa melihatmu. Gak keren blas!” ujar kelapa. “Lihat gue dong. Sejak kecil sampe gede di atas terus. Mulai dari manggar, bluluk, cengkir, degan hingga kambil tetap bertenger di atas.”

Semangka yang menyadari kelemahannya hanya bisa mengelus dada (emang semangka punya dada?). Ia tahu Tuhan senantiasa bersama mereka yang lemah.

Sampai suatu hari di rumah Pak Tani cucu-cucunya berkumpul semua. Untuk menyambut kedatangan mereka ia ingin menyuguhkan hasil ladangnya yang terbaik. Ia perintahkan putrinya untuk ke ladang, karena kebetulan waktu itu putra-putranya sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Karena hanya anak perempuannya yang ada di rumah ia memilih semangka saja, yang tidak harus repot-repot naik pohon, untuk dipetik. “Nduk, kalo milih semangka yang matang. Nah, buah semangka itu semakin matang semakin tertanam ke tanah. Jadi nanti cari buah yang benar-benar tak terlihat. Setelah ketemu hati-hati memetiknya, ya. Potong tangkainya dan jangan sampai mengusik buah-buah muda yang lain. Soalnya sekali batang sulurnya rusak, rusak pula semua buahannya,” pesan Pak Tani kepada putrinya sebelum berangkat ke ladang.

Sesampai di ladang bergerilyalah sang putri mencari semangka terbaik. Ia susur rimbunan tanaman palarambat itu hati-hati. Sesuai pesan ayahnya ia abaikan buah yang masih terlihat di atas tanah.
“Mungkin di rimbunan daun yang paling lebat itu,” pikirnya.

Benar saja, begitu ia sibak daun-daun dan membersihkan tanah yang menutupinya terlihat satu buah semangka bulat besar nan ranum. Dengan hati-hati ia memotong tangkainya dengan gunting yang sudah dibawanya dari rumah. Namun sayang ia lupa membawa keranjang ataupun kain untuk membawanya. Apa boleh buat akhirnya ia membawa buah besar itu dengan mendekapnya.

Ketika melewati pohon kelapa semangka menyapa kawannya yang tadi mengejeknya. “Pa, kelapa, eh enakan aku dong. Dipeluk putrinya Pak Tani,” ujar semangka. Kelapa yang melihat hal itu gantian manyun.

“Ka, tukeran tempat dong,” pinta kelapa.

“Sori ya, rezeki emang gak ke mana. Da da kelapa,” kata semangka yang semakin lama semakin menjauhi kelapa.

Di luar dugaan ternyata para cucu Pak Tani juga membawa serta teman-temannya. Kian ramailah rumah kecilnya itu. Ia berniat menambah keceriaan itu dengan membuatkan minuman kelapa muda. Karena harus naik pohon ia sendiri yang turun tangan. Dengan sigap ia memanjat dan memilih kelapa yang pas untuk sajian rombongan kecilnya itu. Memetiknya pun tak harus hati-hati seperti memetik semangka. Cukup sekali sabit jatuhlah buahnya. Naas, jatuhnya malah di comberan sekalian. Apa boleh buat Pak Tani membawa pulang hasil petikannya itu dengan mencangking tangkainya sambil tutup hidung.

Di rumah semangka yang sudah siap diperlakukan bak raja. Dicuci, dipersiapkan nampan yang bagus dan dipotong dengan pisau yang bersih untuk kemudian disuguhkan. Sebaliknya kelapa justru makin mendapat perlakuan kasar. Dipecoki dengan parang tajam, dibuang sabutnya, baru diambil airnya kemudian dibelah dan diambil dagingnya.

Keduanya kemudian sama-sama disuguhkan kepada para tamu kecilnya, namun dengan perlakuan yang sama sekali berbeda.

disarikan dari mauidzah almahfurlah KH. Abdul Aziz Manshur dalam acara Tahlil dan Fida Kubro Alm. KH. M Thohir Marzuqi, Oktober 2013.

Penulis, M. Aminulloh, Mutakhorijin Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien Pondok Pesantren Lirboyo tahun 2015, pernah menjabat Pemimpin Redaksi Majalah Dinding Hidayah.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.