Menggugat Ucapan Selamat

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa terlepas dari adanya interaksi dengan kehidupan di sekitarnya. Dengan latar belakang dan corak masyarakat yang beragam, dapat dipastikan akan memunculkan suatu norma sosial yang digali dan tumbuh di tengah-tengah komunitas masyarakat tersebut.

Keberadaan tradisi telah mewarnai sebuah peradaban dalam masyarakat. Di saat yang bersamaan pula, ada segelintir kalangan yang selalu meragukan keabsahan dan legalitas norma, tradisi, dan budaya yang berkembang dan tumbuh subur di masyarakat tersebut. Dengan alasan pemurnian ajaran syariat, tak jarang mereka terlena dengan sedikitpun tidak menoleh dan menganalisa kasus yang dibantahnya.

Maka dari itu, pemahaman atas dalil-dalil dasar yang menjadi pijakan rumusan para ulama harus dipahami secara komprehensif. Karena dengan penghayatan atas suatu pembahasan secara benar dan tepat, secara otomatis akan menghasilkan pemahaman yang lebih baik, sehingga akan lebih tolerir dengan perbedaan yang ada. Dan pada gilirannya akan menjauhkan seseorang dari kefanatikan (ta’asshub) dan tidak akan mudah terjebak untuk selalu menyalahkan orang lain yang berbeda pendapat dengannya.

Salah satu tradisi yang sering terlaku di masyarakat umum adalah saling mengucapkan selamat antara satu dengan yang lain. Hal ini sering dilakukan ketika meilhat orang lain mendapatkan tambahan nikmat, anugrah dan lain-lain. Ucapan selamat terhadap seseorang pun memiliki beberapa ragam bentuk dan macam yang disesuaikan dengan konteks keadaannya, misalkan adalah “Selamat Atas Prestasimu”, “Barakallah”, “Selamat Ulang Tahun” dan seterusnya.

Pada dasarnya, Tahni’ah (ucapan selamat) bukan hal yang baru di dalam agama Islam. Para ulama ahli hadis menjadikan hadis Shahih berikut sebagai landasan legalitas sebuah ucapan selamat, yakni:

وَآذَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِتَوْبَةِ اللَّهِ عَلَيْنَا حِينَ صَلَّى صَلاَةَ الفَجْرِ… وَانْطَلَقْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَيَتَلَقَّانِي النَّاسُ فَوْجًا فَوْجًا، يُهَنُّونِي بِالتَّوْبَةِ، يَقُولُونَ: لِتَهْنِكَ تَوْبَةُ اللَّهِ عَلَيْكَ

“Rasulullah Saw. Memberi tahu kepada kami bahwa Allah menerima taubat kami saat salat Subuh,… Saya (Ka’b bin Malik) berjalan menuju Rasulullah Saw. Lalu para Sahabat menemui saya seraya mengucapkan; Selamat atas diterimanya taubatmu oleh Allah,” (HR. Al-Bukhari).[1]

Kejelasan hadis tersebut dipaparkan secara sistematis dalam kitab Fathul Bari, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqolani berkata: “Di dalam hadis tersebut disyariatkan sujud syukur, bergegas memberi kabar baik, mengabarkan kepada orang tersebut dengan cara yang baik, dan ucapan selamat kepada orang yang baru mendapatkan nikmat, serta berdiri jika ia menyambutnya,”.[2]

Lebih lanjut, Syaikh Khotib As-Syirbini berkomentar dalam kitabnya, Al-Iqna’: “Imam Qommuli berkata: kami belum mengetahui pembicaraan dari salah seorang ulama kita tentang ucapan selamat hari raya, selamat ulang tahun tertentu atau bulan tertentu, sebagaimana yang dilakukan oleh banyak orang, akan tetapi al-hafidz Al-Mundziri memberi jawaban tentang masalah tersebut: memang selama ini para ulama berselisih pendapat, menurut pendapat kami, Tahni’ah itu mubah, tidak sunnah dan tidak bid’ah. Imam Ibnu Hajar setelah mentelaah masalah itu mengatakan bahwa Tahni’ah itu disyari’atkan, dalilnya adalah bahwa Imam Baihaqi membuat satu bab tersendiri untuk hal Tahni’ah dan dia berkata: “Maa ruwiya fii qaulin nas” dan seterusnya, kemudian meriwayatkan beberapa Hadits dan Atsar yang Dla’if. Namun secara kolektif riwayat tersebut bisa digunakan dalil tentang Tahni’ah. Secara umum, dalil-dalil Tahni’ah bisa diambil dari adanya anjuran sujud syukur dan ucapan yang isinya menghibur sehubungan dengan kedatangan suatu mikmat atau terhindar dari suatu mala petaka, dan juga dari hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa sahabat Ka’ab bin Malik sewaktu ketinggalan/tidak mengikuti perang Tabuk, dia bertaubat, ketika menerima kabar gembira bahwa taubatnya diterima, dia menghadap kepada Nabi Saw. Maka sahabat Thalhah bin Ubaidillah berdiri untuk menyampaikan ucapan selamat kepadanya”.[3]

Dari keterangan yang dipaparkan oleh Al-Khotib dalam kitab Al-Iqna’ yang melanjutkan pemahaman Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Fath Al-Bari, sudah dapat diambil kesimpulan bahwa ucapan selamat terhadap sesama muslim adalah perkara sunah dan dianjurkan. Dengan catatan, tidak menimbulkan hal-hal yang tidak dibenarkan menurut syariat, baik dari segi tujuan, praktek, ataupun dampak.

Karena dalam penerapannya, ucapan selamat merupakan manifestasi dari rasa syukur dan interpretasi nyata dari doa yang ditujukan kepada sesama umat Islam. Tentunya, saling mendoakan kebaikan terhadap sesama muslim adalah sebuah anjuran dari Rasulullah Saw yang tidak dapat dipertentangkan lagi keabsahannya. Riwayat hadis dari Yazid bin Harun:

إِنَّ دَعْوَةَ الْمَرْءِ مُسْتَجَابَةٌ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ، عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ يُؤَمِّنُ عَلَى دُعَائِهِ، كُلَّمَا دَعَا لَهُ بِخَيْرٍ قَالَ: آمِينَ، وَلَكَ بِمِثْلِهِ “، ثُمَّ خَرَجْتُ إِلَى السُّوقِ، فَلَقِيتُ أَبَا الدَّرْدَاءِ، فَحَدَّثَنِي عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ ذَلِكَ

“Sesungguhnya do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah doa’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan doanya. Tatkala dia mendoakan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: Amin, Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi,.[4] Sekian, waAllahu a’lam.[]

________________

Referensi:

[1] Shahih Al-Bukhari, VI/6.

[2] Fathul Bari, VIII/124.

[3] Al-Iqna’, I/162.

[4] Sunan Ibnu Majah, II/996.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.