Epistemologi Ushul Fiqih (Bag-2)

Baca dulu Bagian I

Pengertian Ushul Fiqih

Para ulama ushul (ushuliyyin) memetakan definisi  ushul fiqih dengan 2 sudut pandang, yaitu dari segi etimologi dan terminologi, serta ushul fiqih sebagai cabang ilmu keislaman. [1]

  1. Ushul fiqih dari segi etimologi dan terminologi.

Penguraian makna ushul fiqih dalam hal ini merupakan konteks definitif dari segi etimologi (lughot) dan terminologi (istilah). Dan sudah diketahui bahwa kata ushul fiqih tersebut tersusun atas dua lafadz dengan menggunakan tarkib idhofy (susunan penyandaran) yang masih membutuhkan penguraian makna masing-masing lafadznya.

Pada dasarnya, “ushul al-fiqh” merupakan kalimat yang terdiri dari dua suku kata. “ushul” dan “al-fiqh”. Lafadz “ushul”adalah bentuk jamak dari mufrad (bentuk tunggal) lafadz “ashl”. Secara bahasa, “ashl” adalah sesuatu yang menjadi dasar dari sesuatu yang lain. Sebagaimana akar ialah “ashl” dari sebuah pohoh yang diatasnya terdapat batang, daun, ranting dan buah. Ushul fiqih juga demikian, ia merupakan “ashl’’  atau dasar pondasi fiqih, diatas kaidah dan teori ushul fiqih tersebutlah terbangun begitu banyak rumusan hukum fiqih.[2] Menurut sebagian pendapat, yang dimaksud lafadz “ashl” dalam pembahasan ini adalah bermakna dalil. Mengikuti pendapat ini,  ushul fiqih memiliki makna kumpulan dalil-dalil fiqih seperti Alquran, hadis, ijma, qiyas dan lain-lain.[3]

Pengertian “al-Fiqh”, secara etimologi memiliki arti al-fahm (pemahaman). Adapun fiqih secara terminologi memiliki beberapa makna, salah satunya adalah sebagai berikut:

اَلْعِلْمُ بالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبِ مِنْ أدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ

“Pengetahuan tentang hukum syariat yang bersifat pengamalan yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci“.[4]

Dalam redaksi tersebut, penggunaan lafadz  “al-‘ilmu” dalam definisi fiqih bukan menggunakan makna aslinya yang semestinya digunakan untuk perkara-perkara yang dipastikan kebenarannya seperti dalam ilmu teologi (tauhid). Karena dalam konteks fiqih, prasangka atau asumsi (dzon) sudah dianggap cukup.[5]

  1. Ushul fiqih sebagai cabang ilmu keislaman.

Para ulama ushul (ushuliyyin) dari golongan Syafi’iyyah masih terjadi perbedaan pendapat dalam memaknai ushul fiqih dipandang dari sudut salah satu nama cabang ilmu syariat. Secara terminologi sebagai berikut:

دَلاَئِلُ الْفِقْهِ الإِجْمَالِيَّةِ وَبِطُرُقِ اِسْتِفَادَتِهَا وَمُسْتَفِيْدِهَا

“Dalil-dalil fiqih yang bersifat global, dan metode penggunaan dalil tersebut, serta karakteristik seseorang yang menggunakan dalil tersebut”.

Adapun pendapat lain mendefinisikan ushul fiqih dengan menggunakan redaksi: “Pengetahuan mengenai dalil-dalil fiqih yang bersifat global, metode penggunaan dalil tersebut, dan karakteristik  orang yang menggunakannya”.[6]

Yang dimaksud dalil ijmaly (global) adalah kaidah umum sebuah dalil yang masih belum berkaitan dengan hukum tertentu. Karena dalam konteks ini, yang disorot hanya keadaan dalil secara umum, misalkan: ijma’ (konsensus) ulama merupakan hujjah dalam hukum Islam.[7]

Metode penggunaan dalil yang dimaksud adalah sebuah metode penyelesaian yang dilakukan oleh seorang mujtahid  yang menggali hukum apabila terjadi kontradiksi diantara dalil-dalil yang bersifat tafsily (terperinci). Seperti mendahulukan dalil yang khash (khusus) daripada dalil yang bersifat ‘am (umum).

Adapun  karakteristik seseorang yang menggunakan dalil ijmali (global) tersebut adalah seseorang yang telah mencapai kriteria sebagai seorang mujtahid. Namun menurut pendapat yang lain, yang dimaksud lafadz “mustafidiha” dalam redaksi tersebut adalah seseorang yang mencari hukum Allah SWT, sehingga dapat memasukkan mujtahid maupun muqollid (orang yang bertaqlid). Karena seorang mujtahid mengambil hukum dari dalil dan seorang muqollid mengambil hukum dari seorang mujtahid.

Menurut ulama madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah, ushul fiqih bermakna kaidah-kaidah yang mengantarkan metode penggalian hukum dari dalil yang terperinci.[8]

Metode Ushul Fiqih

Secara umum, teori pembahasan dalam ilmu ushul fiqih terbagi menjadi tiga metode:

  1. Metode Mutakallimin.

Yakni metode yang dipakai oleh golongan Asya’iroh, Maturidiyyah, dan Mu’tazilah. Jalan pikiran mereka adalah dengan melalui hujjah logika dengan mentahqiq beberapa kaidah tanpa terkait dengan imam madzhab. Mereka memperkokoh kaidah-kaidahnya dengan beberapa dalil tanpa harus melihat apakah sesuai dengan madzhabnya ataukah tidak.

  1. Metode Hanafiyyah.

Yakni dengan cara menjelaskan kaidah-kaidah ushuliyyah. Metode ini dilakukan dengan cara mengutip furu’ fiqhiyyah dari imam madzhabnya dan kemudian dicari kaidah ushuliyyahnya. Dengan demikian, rumusan hukum metode ini selalu sama persis dengan para imam madzhabnya.

  1. Metode Mutaakhirin.

Yakni sebuah metode yang menggabungkan metode mutakallimin dan metode hanafiyyah.[9]

Ruang Lingkup Kajian Ushul Fikih

Berbicara ruang lingkup dan objek kajian usul fiqih sama halnya dengan mengakaji  kembali silang pendapat para ulama dalam mendefinisikan ushul fiqih itu sendiri. Menurut ulama yang mendefinisikan ushul fiqih sebagai  “dalil-dalil fiqih yang bersifat global, dan metode penggunaan dalil tersebut, serta karakteristik seseorang yang menggunakan dalil tersebut”, pokok pembahasan ushul fiqh adalah dzatiyyah/bentuk dalil-dalil ijmali (global), teori pengambilan dalil tafshili (terperinci), dan persyaratan orang yang menggali dalil tersebut.

Menurut ulama yang mendefinisikan ushul fiqih sebagai “pengetahuan mengenai dalil-dalil fiqih yang bersifat global, metode penggunaan dalil tersebut, dan karakteristik  orang yang menggunakannya”, pokok pembahasan ushul fiqih adalah pengetahuan mengenai dalil-dalil ijmali (global),  teori pengambilan dalil tafshili (terperinci), dan persyaratan orang yang menggali dalil tersebut.[10] Apabila ditarik benang merah, perbedaan diantara dua pendapat ini hanya dalam mengartikan apakah ushul fiqih itu sebuah dzat (bentuk) atau sifat.

Namun, salah satu pendapat mengatakan, secara garis besar maudlu’ (pokok pembahasan) dalam ushul fiqih diartikan dengan redaksi berikut:

الشيئ الذي يبحث في ذلك العلم عن أحواله العارضة لذاته

“Suatu permasalahan yang dibahas di dalam ilmu tersebut yang mencakup perkara-perkara yang baru datang terhadap bentuk sesuatu tersebut”[11]. Sehingga, pokok pembahasan dalam ushul fiqih sangatlah luas, seperti: eksistensi Alquran sebagai hujjah, bentuk shighot amr (perintah) mutlak menunjukkan wajib, lafadz nahi (larangan) berkonsekuensi hukum haram, dan sebagainya.

Yang menjadi objek utama dalam pembahasan ushul fiqih ialah ادلة شرعية (dalil-dalil syar’it) yang merupakan sumber hukum dalam ajaran Islam. Selain membicarakan pengertian dan kedudukannya, juga menyinggung berbagai ketentuan dalam merumuskan hukum dengan menggunakan dalil-dalil tersebut.[12] Ilmu ushul fiqih menjadi barometer terhadap rumusan hukum fiqih, apakah hukum tersebut sudah sesuai dengan dalilnya apakah tidak. Karena ilmu ini menjadi jalan tengah  yang menjembatani sebuah dalil dengan rumusan hukum yang dihasilkan.

Bersambung ke Bagian III (Habis)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.