Kesederhanaan KH. Marzuqi Dahlan yang saya tahu tidak pernah berdandan (gak tahu macak, blas). Aktifitas keseharian beliau mengaji ke daerah Jampes dengan hanya bersepeda ontel (sepeda kuno tempo dulu). Bannya masih berupa ban ungkul (ban sepedanya terbuat dari karet utuh), sadel sepedanya yang jengat dengan hanya diberi lilitan tali. Beliau juga suka berziarah ke makam-makam ulama dengan hanya menaiki bendi (dokar). Saya ngaji kitab Ihya itu pertama kali selama empat tahun, yang kedua selama enam tahun.
Jadi Mbah Marzuqi sangat memperhatikan urusan ngaji. Kiprah beliau berkenaan dengan membaca kitab untuk pertama kalinya sekitar tahun 1956 (sekitar dua tahun sepeninggal Mbah Kiai Abdul Karim). Padahal, Mbah Kiai Marzuqi itu kalau hafalan nahwu uangel poll. Jadi, “ka ‘abdi, ‘abdi, ‘abda, ‘abda, ‘abdiya, bolak-balik, diulang-ulang begitu. Dalam hati saya berkata, “Sa’jane iso pora to kiai iki (sebenarnya kiai ini bisa apa nggak sih).” Namun, yang membuat saya takjub, selanjutnya beliau sangat lancar dalam membaca kitabnya. Dadi, moco kitab tafsir druendel, ihya druundel, moco kitab-kitab liyane yo druendel (jadi baca tafsir begitu lancar, kitab ihya lancar, kitab-kitab lain juga lancar).’’ Sampai-sampai, saya merasa saat ngaji kepada beliau itu seperti minum madu murni. Begitu nikmat mendengarnya. Jadi, nggak usah diartikan sudah paham saya. Saat beliau membacakan kitabnya dengan sendirinya saya itu langsung paham.()
Sumber: Himasal Lirboyo
10