Mengenal Konsep Akhlak

Akhlak atau dalam bahasa lain disebut moral, etika maupun budi pekerti, merupakan sarana penting bermasyarakat dengan baik dan makmur. Sesuai dengan inti ajaran agama pada umumnya jika dipandang dari sisi sosial kemasyarakatan.

Islam sebagai salah satu dari tiga agama samawi monotheistik yang dikenal di dunia selain Nasrani dan Yahudi, menyadari betul akan hal itu. Terbukti dalam ajaran Islam akhlak memiliki kedudukan penting. Bahkan ahli sejarah menyebutkan bahwa keberhasilan Rasullah SAW dalam mengemban dan mengembangkan risalah Islamiyah yang paling dominan adalah karena faktor akhlak. Sehingga banyak sekali kafir Quraisy yang sudi masuk Islam karena simpati terhadap akhlak beliau yang mulia.

Secara umum, dalam buku Ilmu Akhlak, Drs. H.M. Ashfiyak Hamida membagi moral (akhlak) ke dalam dua sistem, yaitu sistem moral agama dan sistem moral sekuler.

1.     Sistem Moral Agama

Sistem ini adalah sebuah penilaian baik dan buruk berdasarkan ajaran-ajaran agama. Manakala agama mengatakan perbuatan itu baik maka baiklah perbuatan itu. Manakala agama mengatakan perbuatan itu buruk maka buruklah perbuatan itu.

Mengakui akan kekuatan moral agama yang bersumber dari kepercayaan ini, W.M Dixon  dalam bukunya The Human Sitution  mengatakan : “ Agama (betul atau salah) dengan ajarannya percaya kepada Tuhan dan kehidupan akhirat adalah merupakan totalitas kesuluruhan. Paling tidak merupakan dasar yang paling kuat bagi pelaksanaan moral. Dengan mundur (hilang) nya sebuah agama dan sanksi-sanksinya maka akan timbul masalah besar dan mendesak. Apakah (ada) yang bisa menggantikan kedudukan agama itu?”

Dalam perkembangannya, moral atau akhlak Islam mempunyai beberapa kelebihan dibanding dengan moral agama lain. Konsepsi ketuhanan Islam yang mengajarkan bahwa semua perbuatan manusia baik atau buruk tak akan terlepas dari pandangan Allah SWT, menyebabkan akhlak Islam mempunyai kelebihan berupa disiplin moral yang sangat kuat dan ketat.

Selain itu akhlak Islam tidak menolak dan memusuhi  kehidupan duniawi. Sebagaimana pandangan moral zuhud (yang sempit). Meskipun Islam sebenarnya juga mengajarkan pola kehidupan yang zuhud akan tetapi tidak dalam pengertian yang sempit. Dalam aturan Islam, zuhud memiliki ciri tidak menolak dan memusuhi dunia asal tidak berlebihan (hubbuddunya). Serta bersifat sosial sehingga orang lain pun bisa merasakan manfaatnya.

Kelebihan moral Islam yang lainnya yakni Islam memiliki standar yang mutlak dan universal. Artinya tidak nisbi, relatif dan tidak terbatas waktu maupun tempat.

Dan yang terakhir Islam memiliki moral force atau kekuatan moral yang kuat. Dengan kata lain moral force ini merupakan suatu bentuk ketaatan. Karena akhlak Islam yang berlandaskan ketaatan dalam menjalankan ajaran agama yang berdasarkan keimanan.

Dapat disimpulkan, seseorang yang telah beriman akan tetapi tidak tidak mempunyai akhlak yang baik maka akan dianggap tak bermakna. Karena akhlak bisa menjadi tolak ukur bagi keimanan seseorang.

[ads script=”1″ align=”center”]

 

2.     Sistem Moral Sekuler

Berbeda dengan sistem moral agama, moral sekuler mempunyai warna yang berbeda.

Sekuler berasal dari kata scularity  yang mempunyai yang mempunyai arti keduniawian. Maka moral sekuler ini tidak mengakui adanya ajaran-ajaran Tuhan atau sering disebut atheis.

Dalam memberikan penilaian yang baik dan buruk, penganut aliran ini hanya mempertimbangkan hal-hal duniawi tanpa memandang hubungannya dengan Tuhan.

Moral sekuler yang sama sekali terlepas dari pertimbangan agama itu, tentu mempunyai bahan-bahan  pertimbangan lain yang berupa “sesuatu” yang selain agama. Sesuatu yang lain itu ternyata menjadi beraneka ragam bentuknya dan tidak seragam. Sehingga hal ini menjadikan moral sekuler ini dalam menyampaikan pandangan hanya bersifat relatif, sangat subjektif dan tidak memiliki standar yang objektif dan universal.

Moral semacam ini hanya mengajarkan tentang baik dan buruk. Namun sama sekali tidak memiliki moral force. Pada akhirnya moral sekuler seringkali membuat penganutnya berwatak munafik.

Munafik artinya  mendua, perbuatan yang diperlihatkan dihadapan orang banyak tidak sama dengan kondisi dengan diri yang sesungguhnya. Hal ini disebabkan terlepasnya moral sekuler dari iman kepada Tuhan dan kehidupan akhirat. Tanpa iman yang ditakuti bukanlah Tuhan tetapi sesama manusia.

Para penganut moral ini dapat terlihat pada beberapa aliran diantaranya :

  1. Aliran rasionalisme, yang berpendapat bahwa hanya rasional yang mampu menjadikan sumber dalam menentukan baik dan buruk. Aliran ini dianut oleh sebagian besar para filosof seperti Plato, Aristoteles dan lain-lain. Ini berbeda dengan mu’tazilah. Meski aliran Islam yang satu ini mengandalkan rasio namun masih dalam koridor agama.
  2. Aliran hedonisme. Aliran ini beranggapan bahwa suatu perbuatan dianggap baik apabila mampu mendatangkan kebahagiaan, kenikmatan dan kelezatan bagi dirinya sendiri. Sebaliknya, apabila tidak mendatangkan  kebahagiaan, kenikmatan maupun kelezatan maka akan dianggap sebagai perbuatan buruk.
  3. Aliran tradisionalisme. Dalam menentukan baik ataupun buruknya suatu perbuatan, para penganut aliran ini bergantung pada tradisi pada masing-masing daerah mereka sendiri. Bahkan tak jarang mereka terlalu mengkultuskan pimpinan mereka sendiri. Contoh aliran seperti ini adalah di Jepang, seseorang akan merasa lebih mulia bunuh diri (dalam Islam bunuh diri merupakan perbuatan tercela) daripada harus menanggung malu karena semisal gagal menjalankan tugas yang diperintahkan oleh pimpinannya. Hal ini di picu oleh adanya semacam undang-undang pada tradisi mereka.
  4. Aliran empirisme (empire =pengalaman), aliran ini menilai suatu perbuatan dapat dikatakan baik maupun buruk berdasarkan suatu pengalaman yang mereka rasakan.

Pada kesimpulannya, moral yang lahir karena manusia (misal pamrih) akan menjadi sangat lemah dan kurang membawa arti, sebab manusia sangat terbatas kemampuannya untuk mengawasi segala tingkah laku manusia lain.

Sedang moral yang terbentuk dari sebuah kepercayaan terhadap Tuhan (agama) akan lebih membawa kepada kemaslahatan secara universal dalam kehidupan bermasyarakat tanpa terkekang waktu, tempat maupun pengawasan sesama manusia.

Penulis, Mukhlisul Ibad, Kru Mading HIDAYAH

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.