Beberapa tahun terakhir, jagat maya ramai oleh fenomena “flexing sedekah”. Para konten kreator berlomba-lomba merekam aksi pemberian bantuan—mulai dari membagikan uang, sembako, hingga hadiah mewah—lalu menayangkannya di media sosial. Sebagian netizen menilai ini sebagai inspirasi, sebagian lain menganggapnya pamer. Lantas, bagaimana pandangan agama terhadap hal ini?
Baca juga: Kriteria Sakit yang Memperbolehkan Tayamum
Pandangan Imam al-Ghazali
Jika ditelusuri, persoalan ini sejatinya bukan hal baru. Ulama klasik sudah lama membahas hukum memperlihatkan amal di hadapan orang lain. Imam al-Ghazali, dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din, menjelaskan bahwa menyembunyikan amal membawa manfaat berupa keikhlasan dan keselamatan dari riya’. Sementara menampakkan amal juga ada sisi positifnya: bisa menjadi teladan dan mendorong orang lain ikut berbuat baik. Namun, tetap ada risiko besar—yaitu terjatuh pada penyakit hati bernama riya’.
Baca juga: Apa yang Harus Dilakukan Jika Imam Menambah Rakaat?
Sedekah terang-terangan tetap ada manfaatnya
Hasan al-Bashri pernah berkata: “Kaum muslimin sudah tahu, amal yang tersembunyi lebih terjaga nilainya dibanding yang terang-terangan. Tapi, amal yang ditampakkan pun punya manfaat tersendiri.” Karena itu, Allah memuji keduanya dalam Al-Qur’an:
اِنْ تُبْدُوا الصَّدَقٰتِ فَنِعِمَّا هِيَۚ وَاِنْ تُخْفُوْهَا وَتُؤْتُوْهَا الْفُقَرَاۤءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْۗ
“Jika kalian menampakkan sedekah, maka itu baik sekali. Tetapi jika kalian menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang fakir, maka itu lebih baik bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah: 271).
Baca juga: Hukum Salat Sunah Saat Khutbah Jumat
3 Syarat agar boleh
Penulis menyarikan pandangan para ulama salaf dan merumuskannya menjadi beberapa syarat agar menampakkan amal—termasuk sedekah di media sosial—dapat bernilai sunah dan bukan sekadar ajang pencitraan. Berikut 3 syarat tersebut:
- Dilakukan oleh orang berpengaruh sehingga bisa diteladani banyak orang.
- Mampu menjaga diri dari sifat riya’.
- Tidak menyakiti hati orang yang diberi.
Jika tiga syarat ini terpenuhi, menayangkan sedekah bisa menjadi motivasi publik untuk berbuat kebaikan. Namun bila syarat itu tidak ada, maka menyembunyikan sedekah jelas lebih utama.
Baca juga: Zakat Pertanian: Bolehkah dari Gabah? Ini Batas Nishabnya!
Bagaimana jika ada unsur menyakiti orang lain?
Lebih jauh, al-Ghazali menjelaskan jika kegiatan tersebut tidak ada unsur menyakiti orang lain, beliau merangkum pendapat ulama sebagaimana berikut:
فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ إِيذَاءٌ فَقَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي الْأَفْضَلِ، فَقَالَ قَوْمٌ: السِّرُّ أَفْضَلُ مِنَ الْعَلَانِيَةِ وَإِنْ كَانَ فِي الْعَلَانِيَةِ قُدْوَةٌ. وَقَالَ قَوْمٌ: السِّرُّ أَفْضَلُ مِنْ عَلَانِيَةٍ لَا قُدْوَةَ فِيهَا، أَمَّا الْعَلَانِيَةُ لِلْقُدْوَةِ فَأَفْضَلُ مِنَ السِّرِّ. وَيَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ أَمَرَ الْأَنْبِيَاءَ بِإِظْهَارِ الْعَمَلِ لِلِاقْتِدَاءِ، وَخَصَّهُمْ بِمَنْصِبِ النُّبُوَّةِ وَيَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ أَمَرَ الْأَنْبِيَاءَ بِإِظْهَارِ الْعَمَلِ لِلِاقْتِدَاءِ، وَخَصَّهُمْ بِمَنْصِبِ النُّبُوَّةِ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُظَنَّ بِهِمْ أَنَّهُمْ حُرِمُوا أَفْضَلَ الْعَمَلَيْنِ.
Apabila tidak terdapat unsur yang dapat menyakiti pihak penerima sedekah, para ulama berbeda pendapat mengenai amal mana yang lebih utama.
Baca juga: Meninggalkan Salat Jumat Tiga Kali, Benarkah Murtad?
Terdapat perbedaan pendapat
Sebagian berpendapat bahwa amal yang ia lakukan secara tersembunyi lebih utama daripada yang ia lakukan secara terang-terangan, sekalipun dalam amal terang-terangan terkandung unsur keteladanan. Sebagian lainnya berpendapat bahwa amal tersembunyi lebih utama dibanding amal terang-terangan yang tidak memberikan teladan.
Namun, apabila amal terang-terangan ia lakukan dengan tujuan memberi contoh dan mendorong orang lain berbuat kebaikan, maka hal itu lebih utama daripada amal yang disembunyikan.
Dalil penguat
Pandangan ini (amal terang-terangan lebih utama) mendapat penguat dari kenyataan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan para nabi untuk menampakkan amal mereka agar ia jadikan teladan bagi umat. Allah mengkhususkan mereka dengan kedudukan kenabian, sehingga tidak mungkin para nabi justru terhalangi dari amal yang paling utama di antara dua bentuk amal tersebut. Selain itu juga Nabi pernah bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ
“Barang siapa yang mencontohkan suatu sunnah (perbuatan) baik dalam Islam, lalu diamalkan oleh orang setelahnya, maka dicatat baginya pahala seperti pahala orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit punز” (HR. Muslim).
Penutup
Fenomena flexing sedekah di media sosial dengan demikian bukan hanya soal konten, tapi soal niat, etika, dan dampak. Apakah benar ingin menginspirasi, atau hanya mencari sorotan? Pada akhirnya, kamera boleh menyala, tapi hati harus tetap terjaga.
Referensi:
- Ismai’l Haqi al-Barusawī, Tafsir Ruh al-Bayān, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) vol. 10 h. 459.
- Abū Ḥāmid Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazālī al-Ṭūsī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, juz 3 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, t.t.), h. 317.
- Ahmad bin Muhammad as-Shāwī, Hasyiyah as- Shāwī ‘alā Tafsir Jalalain, (Surabaya: Nurul Ilmi, t.th) vol. 4 h. 337.
Kunjungi juga akun media sosial Pondok Lirboyo