LirboyoNet, Kediri—Malam-malam kita tak bakal seterang ini. Siang hari kita tak bakal sedamai ini. Kita tak bakal bisa belajar dan bekerja dengan baik dan nyaman. Itu jika berpuluh-puluh tahun dulu tak ada yang berjuang dengan gigih, mempertaruhkan darah dan nyawa sendiri, demi kemerdekaan Republik Indonesia.
Begitu kira-kira esensi dari dawuh KH. M. Anwar Manshur, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo di even Tasyakuran Kemerdekaan, Rabu (16/08) malam kemarin. Beliau tekankan benar-benar, bahwa jasa para pahlawan tidak bisa dikesampingkan dari kenikmatan-kenikmatan yang kita peroleh sekarang.
“Pesantren kita ikut mengalami masa-masa berat. Paling berat itu pada tahun 1949 (Agresi Militer Belanda ke-2, red). Tapi alhamdulillah, tidak lama kemudian kita diberi kemenangan oleh Allah Swt.,” kisah beliau seraya mengingatkan pada hadirin, bahwa kemerdekaan adalah nikmat yang harus dibayar dengan mahal, terutama oleh para pahlawan.
Beliau juga menegaskan bahwa siapapun berhak disebut pahlawan. “Dengan perayaan kemerdekaan ini, juga kita niati menghauli Ibu Nyai Dlomiroh (istri muassis Ponpes Lirboyo, KH. Abdul Karim). Beliaulah sosok di balik perkembangan Pondok Pesantren Lirboyo.” Beliau, Nyai Dlomiroh, berjuang keras menjadi semacam back-up dari KH. Abdul Karim. Pengembangan pesantren, baik berupa pembelian tanah, pengelolaan rumah tangga, ekonomi, pemberdayaan santri, semua ditangani oleh beliau. “Mbah Yai Abdul Karim itu ngaji tok. Kehidupan beliau hanya diisi ngaji. Sejak subuh sampai tengah malam cuma ngaji. Kalaupun ada undangan dari tetangga, itu dihadiri, tapi ketika selesai beliau langsung kembali ke rutinitas ngaji. Kalau cucunya sekarang diundang sekali, libur ngajinya bisa tiga hari,” canda beliau diiringi tawa ringan hadirin.
Malam itu, hadirin mendapat pencerahan bahwa siapapun yang belajar, bekerja dengan keras, dapat memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, dia pantas disebut pahlawan. “Mbah Abdul Karim mahabbahnya kepada ilmu luar biasa. Beliau ngaji tanpa henti. Ngaji puasa-an bisa sampai hari raya.” Para santri, yang belum bisa mengikuti secara penuh pengajian beliau, biasanya mengambil tempat agak jauh dari tempat beliau membacakan kitab. “Sedanten niku manggon nang mburi, ben iso ngalih sak wayah-wayah. Terus dilakoni santri sampai saiki, (santri-santri itu bertempat di belakang, agar sewaktu-waktu bisa pulang. Kebiasaan ini terus dilanjutkan oleh santri-santri sekarang),” beliau kembali mengurai canda.
Acara malam itu diisi dengan bershalawat bersama, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan istighatsah yang dipimpin oleh KH. M. Anwar Manshur. Dengan diikuti oleh puluhan ribu santri, Aula Al-Muktamar yang sudah sangat luas itu tetap tidak mampu menampung seluruh santri. Hadirin pun meluber hingga luar pagar aula. Meski berbeda tempat duduk dan terpisah jarak, mereka berada dalam suasana dan kebahagiaan yang sama, dan sama-sama meluapkan rasa syukur yang tak terhingga atas nikmat kemerdekaan yang telah dihibahkan kepada bangsa Indonesia.][
0