Di zaman modern ini, kegiatan travelling yang memiliki makna “bepergian” telah menjadi sebuah keniscayaan. Travelling yang ada memiliki berbagai macam motif dan tujuan. Selain sebuah kebutuhan, terkadang kegiatan travelling menjadi gaya hidup sebagian kalangan. Bagi mereka, kegiatan travelling bukan sekedar bepergian biasa. Namun lebih dari itu, banyak hal baru yang dijumpai dan dapat dijadikan pelajaran.
Bagaimanapun keadaannya dan dimanapun tempatnya, sebagai seorang muslim tidak pernah terlepas dari kewajibannya. Salah satu contoh adalah kewajiban salat, yang mana kewajiban itu tidak pernah hilang selama nyawa masih melekat dalam raga, tak terkecuali saat bepergian (travelling) sekalipun.
Realita yang ada mengatakan, sebuah perjalanan apapun tidak pernah terlepas dari potensi adanya kepayahan (madhinnah al-masyaqqoh). Yang pada awalnya, dalam keadaan kepayahan yang memberatkan seperti itu, para traveller masih memiliki kewajiban salat yang harus dilaksanakan. Namun sebagai agama rahmat, Islam menyadari hal itu dan Islam tidak ingin memberatkan umatnya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’an:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. al-Baqarah: 185).
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (QS. al-Hajj: 78).
Kesadaran itu terbukti dengan adanya dispensasi (rukhshah) bagi mereka yang menyandang status musafir (traveller). Adapun dalam persoalan salat, dispensasi yang berupa salat Jama’ (mengumpulkan dua salat dalam satu waktu) dan salat Qashar (meringkas bilangan rakaat salat). Lazimnya dalam permasalahan lain, rukhshah (dispensasi) salat bagi seorang traveller memiliki beberapa aturan dan persyaratan umum yang harus terpenuhi agar ia dapat melaksanakan rukhshah tersebut. Di antaranya ialah:
Tidak Bermotif Maksiat
Allah SWT telah memberikan kemurahan bagi hamba-Nya di saat mengalami kesusahan. Salah satunya ialah adanya dispensasi (rukhshah) salat yang berupa salat Jama’ dan salat Qashar bagi seorang musafir (traveller). Sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT, selamanya dispensasi tidak akan pernah bisa ada atas hal-hal yang berbau kemaksiatan. Sebagaimana dalam kaidah fikih:
“Dispensasi itu tidak pernah digantungkan atas kemaksiatan”.[1]
Dalam konteks ini, kemaksiatan yang termaksud adalah kemaksiatan yang menjadi motif untuk melaksanakan perjalanan itu, misalkan perjalanan dengan tujuan untuk mencuri atau tujuan-tujuan lain yang syariat haramkan. Selain itu, kemaksiatan yang masuk dalam hal ini ialah kemaksiatan yang dipandang dari sisi perjalanan itu sendiri, misalkan perjalanan seorang istri tanpa seizin suaminya. Maka perjalanan-perjalanan yang mengandung unsur kemaksiataan (al-ma’siyat bi as-safar) tersebut tidak mendapatkan legalitas untuk mengambil dispensasi salat.[2]
Baca Juga: Rahasia Puasa Senin Kamis: Sunnah Nabi yang Sarat Hikmah
Mencapai Jarak yang Jauh
Alasan utama mengapa travelling mendapatkan dispensasi salat ialah karena adanya potensi kepayahan yang memberatkan dalam perjalanan itu (madhinnah al-masyaqqoh). Potensi akan adanya kepayahan tersebut hanya dapat kita dapat dalam perjalanan yang terbilang jauh (masafah al-qashri).
Dalam menentukan jarah minimal yang termasuk perjalanan jauh (masafah al-qashri) ini, para ulama memiliki banyak ragam pendapat. Menurut mayoritas ulama (jumhur al-‘ulama) ialah perjalanan yang berjarak minimal 119,99 KM. Adapun pendapat yang paling ringan ialah versi kitab Tanwirul Qulub yang mengatakan bahwa jarak perjalanan jauh minimal menempuh jarak 80,64 KM.[3]
Jarak perjalanan pun harus kita tahu sejak permulaan perjalanan. Dengan demikian, bagi seorang traveller (musafir) harus memiliki destinasi pasti yang menjadi tujuan perjalanannya.[4]
Baca Juga: Kotoran di Bawah Kuku, Bagaimana Wudlunya?
Menyempurnakan Syarat Dispensasi
Perjalanan yang mencapai jarak yang jauh serta tidak adanya motif kemaksiatan merupakan syarat umum suatu perjalanan boleh mengambil rukhshah (dispensasi) salat. Namun untuk rukhshah yang diambil, seorang traveller diharuskan menyempurnakan spesifikasi syarat-syarat yang lain sesuai jenis dispensasinya.
Apabila seorang treveller mengambil dispensasi yang berupa salat Qashar (meringkas bilangan rakaat salat) maka harus menambahkan tiga syarat lagi, yakni salat yang memiliki empat rakaat, salat yang dilakukan adalah salat yang seharusnya dilakukan dalam perjalanan (ada’an aw qashran), dan tidak bermakmum pada orang yang menyempurnakan rakaat salatnya.
Adapun ketika dispensasi (rukhshah) yang kita lakukan berupa salat Jama’ Taqdim (mengumpulkan dua salat yang kita lakukan di waktu pertama) maka harus menambahkan tiga syarat lagi, yakni mendahulukan salat yang pertama kemudian salat yang kedua, niat jama’ tersebut kita lakukan pada salat pertama, dan tidak memisah kedua salat dengan jeda waktu yang lama.
Begitu juga ketika dispensasi (rukhshah) yang kita ambil berupa salat Jama’ Ta’khir (mengumpulkan dua salat yang kita kerjakan di waktu kedua) maka harus menambahkan satu syarat lagi, yakni niat Jama’ Ta’khir ketika masih di cakupan waktu salat yang pertama.[5]
Walhasil, salah satu karakteristik yang menonjol dalam ajaran Islam adalah mudah dan tidak mempersulit umat. Konteks dapat kita jumpai dalam beberapa keadaan, salah satunya ialah dalam kegiatan travelling. Kehadiran rukhshah (dispensasi) sebagai tawaran dalam menghilangkan atau mengurangi beban menjadi solusi berarti dalam menghadapi problematika tersebut. Sesuai firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:
“Allah tidak membabani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya” (QS. al-Baqarah: 286). [] waAllahu a’lam.
___________________
[1] Al-Ashbah wa an-Nadhoir li as-Suyuti, I/138.
[2] Bujairomi ‘ala al-Khatib, II/163.
[3] Kamus Fikih (FKI Purna Siswa MHM Lirboyo 2013), hlm 508.
[4] Asna al-Mathalib, I/239, Maktabah Syamilah.
[5] Hamisyi Fathil Qorib, I/202-209, cet. al-Haromain.
Baca Juga; Palestina Merdeka Berarti Kiamat?
Subscribe; Pondok Lirboyo
Kunjungi juga akun media sosial Pondok Lirboyo
Assalamu’alaikum wr wb. Izin bertanya seputar shalat kang, yang salah niat karena linglung. Seorang kuli saking capek dan payahnya bekerja, ia tertidur pulas setelah melaksanakan shalat dzuhur. Dia baru bangun sebelum maghrib, ketika bangun dia syok melihat keadaan sudah mulai gelap (menganggap sudah masuk waktu maghrib) sedangkan ia belum shalat ashar. Sehingga bergegas wudlu dan melaksanakan shalat ashar dengan niat qodlo’. Setelah rampung menunaikan shalat ashar, adzan maghrib ternyata baru berkumandang. Yang berarti dia melaksanakan shalat ashar masih pada waktunya walaupun sudah injury time. Apakah shalat ashar dengan niat qodlo’ tersebut sah atau tidak, dan apa konsekuensinya?