Kriteria Sakit yang Memperbolehkan Tayamum

Sakit yang memperbolehkan tayamum Sakit yang memperbolehkan tayamum

Bagi orang yang tengah menderita sakit, banyak sekali kelonggaran dalam hal menjalankan ibadah, salah satunya dalam hal bersuci. Wudhu adalah salah satu syarat seseorang yang hendak melaksanakan salat, namun bagi orang sakit, boleh mengganti wudhu dengan tayamum. Lantas, apa saja kriteria sakit yang memperbolehkan tayamum?

Baca juga: Apa yang Harus Dilakukan Jika Imam Menambah Rakaat?

Keumuman tayamum

Sebelum masuk ke jawaban, perlu kita ketahui bahwasanya umumnya tayamum dilakukan bagi orang yang di daerahnya tidak ada air, untuk itu, tayamum menjadi solusi.

Namun, bagi orang sakit, meskipun di daerahnya atau bahkan di rumahnya terdapat air, maka boleh untuk tayamum—tidak wudhu.

Baca juga: Hukum Salat Sunah Saat Khutbah Jumat

Kriterianya

Di dalam kitab ‘Umdah al-Sālik wa ‘Uddah al-Nāsik terdapat keterangan kriteria orang sakit yang memperbolehkan tayamum:

الثَّالِثُ: مَرَضٌ يُخَافُ مَعَهُ تَلَفُ النَّفْسِ، أَوْ عُضْوٍ، أَوْ فَوَاتُ مَنْفَعَةِ عُضْوٍ، أَوْ حُدُوثُ مَرَضٍ مَخُوفٍ، أَوْ زِيَادَةُ مَرَضٍ، أَوْ تَأْخِيرُ الْبُرْءِ، أَوْ شِدَّةُ أَلَمٍ، أَوْ شَيْنٌ فَاحِشٌ فِي عُضْوٍ ظَاهِرٍ، وَيُعْتَمَدُ فِيهِ مَعْرِفَتُهُ، أَوْ طَبِيبٌ يُقْبَلُ فِيهِ خَبَرُهُ.

  • Pertama: sakit parah yang menyebabkan kematian atau hilangnya fungsi anggota tubuh jika menggunakan air;
  • Kedua: sakit parah yang tak kunjung sembuh jika terkena air;
  • Ketiga: penyakit kulit yang menyebabkan perubahan warna yang sangat parah. Dengan salah satu dari ketiga kriteria ini, tayamum boleh dilakukan—meskipun ada air.
  • Keempat: penyakit kulit yang menyebabkan perubahan warna yang tidak terlalu parah saat terkena air. Penyakit semacam ini tidak memperbolehkan penderitanya melakukan tayamum. [Syihāb al-Dīn Ibn al-Naqīb al-Syāfi‘ī (w. 769 H), ‘Umdah al-Sālik wa ‘Uddah al-Nāsik, (Qaṭar: al-Syu’ūn al-Dīniyyah, Ṭab‘ah Ūlā, 1982), h. 27.]

Baca juga: Zakat Pertanian: Bolehkah dari Gabah? Ini Batas Nishabnya!

Harus meminta rekomendasi dokter terlebih dahulu

Namun jika timbul pertanyaan lain semisal: dari mana seseorang bisa mengetahui kalau sakit itu parah, haruskah melakukan konsultasi kepada dokter terlebih dahulu?

Maka jawabannya adalah iya, sebelum melakukan tayamum dia harus mendapat rekomendasi dari dokter atau pakar kulit. Akibatnya, jika seseorang melakukan tayamum hanya karena takut yang timbul dari praduganya tenpa disertai petunjuk dokter, maka salat yang telah dilakukan dengan tayamum itu harus mengulangnya lagi ketika ia sudah sehat.

Baca juga: Meninggalkan Salat Jumat Tiga Kali, Benarkah Murtad?

Bagaimana jika dia seorang dokter?

Terus kalau dia (orang yang sakit) adalah dokter apakah juga harus dengan rekomendasi dari dokter lain?

Maka jawabannya tidak harus, dia bisa langsung tayamum dengan dasar pengetahuan dan pengalamannya.

Referensi dari dua pertanyaan di atas

Semua itu sebagaimana keterangan dalam kitab Hasyiyah al-Jamal ‘ala Syarh al-Minhaj yang berupa:

(قَوْلُهُ: وَيُعْتَمَدُ فِي خَوْفِ مَا ذُكِرَ إِلْخ) وَكَذَا يَعْمَلُ بِمَعْرِفَةِ نَفْسِهِ إِنْ كَانَ عَارِفًا بِالطِّبِّ، وَلَوْ كَانَ فَاسِقًا، بِخِلَافِ تَجْرِبَةِ نَفْسِهِ لَا يُعْمَلُ بِهَا. اهـ شَيْخُنَا. أَيْ إِنْ لَمْ يَكُنْ عَارِفًا بِالطِّبِّ، فَإِنْ كَانَ عَارِفًا بِهِ فَإِنَّهُ يَكْتَفِي بِمَعْرِفَةِ نَفْسِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَارِفًا بِهِ، وَلَمْ يَجِدْ طَبِيبًا وَخَافَ مَحْذُورًا، فَعَنْ أَبِي عَلِيٍّ السَّنَجِيِّ أَنَّهُ لَا يَتَيَمَّمُ، وَخَالَفَهُ البَغَوِيُّ فَأَفْتَى بِأَنَّهُ يَتَيَمَّمُ وَيُصَلِّي، ثُمَّ يُعِيدُ إِذَا وَجَدَ المُخْبِرَ وَأَخْبَرَهُ بِجَوَازِ التَّيَمُّمِ أَوْ عَدَمِهِ. اِهـ -الى أن قال- وَالجَوَابُ: بِأَنَّ لُزُومَ الصَّلَاةِ مُحَقَّقٌ، لَا يُجْدِي نَفْعًا، وَلَا يَكْفِي مُجَرَّدُ الخَوْفِ اِتِّفَاقًا، وَلَابُدَّ مِنْ سُؤَالِ الطَّبِيبِ فِي كُلِّ وَقْتٍ اِحْتُمِلَ فِيهِ عَدَمُ الضَّرَرِ. وَلَوْ لَمْ يَجِدِ الطَّبِيبَ وَصَلَّى بِالتَّيَمُّمِ لَزِمَهُ إِعَادَةُ مَا صَلَّاهُ، وَإِنْ وَجَدَهُ بَعْدَ ذَلِكَ وَأَخْبَرَهُ بِجَوَازِهِ. قَالَهُ شَيْخُنَا، فَرَاجِعْهُ. اهـ

)“Dan dijadikan sandaran dalam hal takut seperti yang telah disebutkan, dan seterusnya.)
Demikian juga boleh beramal dengan pengetahuannya sendiri jika ia menguasai ilmu kedokteran, meskipun ia seorang fasik. Berbeda halnya dengan sekadar pengalaman pribadi, itu tidak bisa dijadikan pegangan. Demikian penjelasan guru kami.

Artinya, jika ia tidak menguasai ilmu kedokteran, maka bila ia ahli kedokteran cukup dengan pengetahuannya sendiri. Namun jika ia tidak ahli kedokteran dan tidak menemukan dokter, lalu ia khawatir terjadi bahaya, menurut Abū ‘Alī al-Sanajī ia tidak boleh bertayammum. Tetapi al-Baghawī berbeda pendapat, beliau berfatwa boleh bertayammum dan salat, lalu mengulanginya setelah ia menemukan dokter yang memberitahukan kepadanya tentang kebolehan tayammum atau tidaknya. [Sulaimān bin ‘Umar bin Manṣūr al-‘Ajīlī al-Azharī, Ḥāsyiyah al-Jamal ‘alā Syarḥ al-Minhāj, (Beirut: Dār al-Fikr, tt.), juz 1, h. 207-208.]

Kunjungi juga akun media sosial Pondok Lirboyo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses