Lebih Jauh Tentang Salat Gerhana

Fenomena alam merupakan keniscayaan yang tidak dapat lepas dari siklus kehidupan. Sebagian masyarakat yang masih memegang erat mitos atau dongeng turun-temurun kerap mengaitkan fenomena alam dengan hal-hal gaib. Namun, setelah ajaran Islam hadir membawa syariat, paradigma tersebut sedikit demi sedikit berubah. Masyarakat mulai melihat fenomena alam dengan kacamata positif yang bernuansa islami. Salah satu bukti konkret adalah adanya syariat salat gerhana.

Baca juga: Berbagai Cara dalam Merayakan Maulid

Allah Swt. berfirman dalam al-Qur’an:

وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ ۚ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah menyembah matahari maupun bulan, tetapi sembahlah Allah yang menciptakannya, jika kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. Fussilat: 37)

Representasi dari ayat tersebut adalah disyariatkannya salat Khusufaian (dua gerhana). Yakni gerhana bulan (khusuf) dan gerhana matahari (kusuf). Dalam khazanah fikih ibadah, salat ini memiliki karakteristik yang berbeda dari salat-salat lainnya. Setiap rakaatnya terdapat dua kali berdiri, dua kali rukuk, dan dua kali i‘tidal.

Sejarah Pensyariatan

Salat gerhana merupakan ibadah yang Allah khususkan bagi umat Nabi Muhammad saw. Salat ini (kusuf) pertama kali Allah syariatkan pada tahun kedua Hijriah. Sedangkan, salat khusuf (bulan) baru disyariatkan sekitar tiga tahun setelahnya, tepatnya pada bulan Jumadil Akhir tahun kelima Hijriah.[1]

Baca juga: Hal-Hal yang Harus Dihindari dalam Perayaan Maulid

Hukum Salat Gerhana

Secara hukum taklifi, salat gerhana termasuk kategori sunah muakkadah, yakni ibadah yang sangat dianjurkan. Salat ini boleh kita lakukan secara munfarid (sendiri) maupun berjamaah, tetapi yang lebih utama adalah berjamaah.[2]

Waktu Pelaksanaan

Salat ini dilaksanakan sejak awal terjadinya gerhana hingga berakhirnya (injila’). Untuk gerhana matahari berakhir dengan selesainya proses gerhana atau terbenamnya matahari, sedangkan gerhana bulan berakhir dengan selesainya gerhana atau terbitnya matahari.[3]

Baca juga: Menjadikan Cinta Rasul sebagai Motivasi Ibadah

Tata Cara

Secara minimal, salat gerhana dapat kita lakukan seperti salat sunah biasa, yakni dua rakaat tanpa menggandakan berdiri, rukuk, dan i‘tidal. Namun, praktik tersebut dianggap kurang utama (khilāful afḍal).[4]

Tata cara salat gerhana yang lebih sempurna adalah:

  1. Niat
    • Gerhana bulan:
      أُصَلِّيْ سُنَّةً لِخُسُوْفِ الْقَمَرِ رَكْعَتَيْنِ إِمَامًا/مَأْمُوْمًا لِلَّهِ تَعَالَى
      “Saya niat salat sunah gerhana bulan dua rakaat karena Allah Ta‘ala.”
    • Gerhana matahari:
      أُصَلِّيْ سُنَّةً لِكُسُوْفِ الشَّمْسِ رَكْعَتَيْنِ إِمَامًا/مَأْمُوْمًا لِلَّهِ تَعَالَى
      “Saya niat salat sunah gerhana matahari dua rakaat karena Allah Ta‘ala.”
  2. Takbiratul ihram.
  3. Membaca doa iftitah, ta‘awudz, al-Fatihah, lalu surat panjang.
  4. Rukuk panjang.
  5. I‘tidal.
  6. Berdiri kembali, membaca al-Fatihah dan surat.
  7. Rukuk kedua.
  8. I‘tidal.
  9. Sujud panjang, duduk di antara dua sujud, lalu sujud kembali.
  10. Rakaat kedua dilakukan seperti rakaat pertama.
  11. Tahiyat akhir.
  12. Salam.

Baca juga: Shaf Wanita Sejajar Shaf Pria

Kesempurnaan salat gerhana ditunjang dengan memperpanjang bacaan. Misalnya, membaca surah al-Baqarah pada berdiri pertama, sekitar 200 ayat pada berdiri kedua, kemudian Ali ‘Imran, an-Nisa’, dan al-Maidah pada berdiri berikutnya. Begitu pula rukuk dilakukan panjang dengan kadar bacaan tasbih yang lebih lama dari salat biasa.[5]

Jika berjamaah, imam disunahkan menyampaikan dua khutbah setelah salat, dengan rukun dan syarat sebagaimana khutbah Jumat. Materinya ditekankan pada ajakan untuk taubat, memperbanyak sedekah, dan amal kebaikan lainnya.

Penutup

Dengan demikian, salat gerhana merupakan bentuk penghambaan dan ketundukan kepada Allah Swt. Fenomena alam yang kadang menimbulkan ketakutan tidak semestinya kita pandang dengan mitos, melainkan kita jadikan momentum untuk memperbanyak ibadah, bertaubat, dan meneguhkan tauhid.

Baca juga: Tentang Shalat Jamaah


Referensi:
[1] Tarsyih al-Mustafidin, hlm. 97, cet. Al-Haromain.
[2] Hamisy Fath al-Qarib, I/230, cet. Dar al-‘Ilmi.
[3] Syarh al-Mahalli ‘ala al-Minhaj, I/361, cet. Al-Hidayah.
[4] Kifayah al-Akhyar, I/151, Maktabah Syamilah.
[5] Syarh al-Mahalli ‘ala al-Minhaj, I/361–363, cet. Al-Hidayah.

Kunjungi juga akun media sosial Pondok Lirboyo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses