Cara Mendeteksi Hadis Palsu

Cara mendeteksi hadis palsu | Topik tentang memahami hadis Nabi Muhammad saw. senantiasa mengundang perhatian. Pembahasan tentangnya merupakan keseruan tersendiri. Hal itu, disebabkan bahwa hampir semua gerakan pembaruan Islam tidak lepas dari topik ini, yakni bagaimana memisahkan antara hadis yang valid dan hadis yang tidak valid.

Perbedaan pendapat di kalangan ulama juga terjadi akibat persoalan hadis. Oleh karenanya, mari kita simak ulasan dari kitab Alfiyah Suyuthi—karya monumental al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam bidang hadis—mengenai topik hadis palsu ini dengan baik.

Dr. Mahmud at-Tahan salah satu dosen fakultas hadis di Universitas Syariah wa Dirasah Kuwait, dalam kitabnya Taisir Mustholah al-Hadis mendefinisikan hadis maudhu dengan:

الْكِذْبُ الْمُخْتَلَقُ الْمَصْنُوْعُ الْمَنْسُوْبُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمْ

“Kebohongan yang dibuat-buat yang disandarkan pada Rasulullah saw.”

Syaikh Jalaluddin as-Suyuthi menstatuskan hadis maudhu sebagai paling buruknya hadis dhaif (hadis lemah). Secara tegas beliau menyatakan bahwa seseorang yang tahu akan status hadis tersebut, tidak diperbolehkan baginya untuk meriwayatkannya dalam semua bentuk periwayatan, baik terkait hukum, kisah, maupun motivasi untuk beribadah. Terkecuali bila ia mensifati dan menjelaskan status hadis tersebut adalah maudhu (palsu), hal ini kontras sekali perbedaannya dengan hadis yang lemah. Sebab, hadis lemah bagaimanapun tetap dilegalkan dan boleh diamalkan dalam aspek Fadhail al-A’mal (fadilah-fadilah amal).

Teknis Untuk Mendeteksi Hadis Palsu

Hadis palsu dapat dideteksi dengan beberapa piranti, di antaranya adalah:

Pertama, adanya iqrar (pengakuan atau klaim) dari oknum yang membuatnya sendiri. Seperti halnya perkataan Umar bin Shabih: “Saya telah membuat hadis palsu tentang khutbahnya Nabi yang dinisbatkan padanya.” Namun, yang demikian itu dikomentari oleh pakar hadis terkemuka Ibn Daqiq al-‘Id bahwa hal ini tidak dapat dipastikan, sebab masih ada potensi kebohongan dalam pengakuannya tersebut.

Kedua, adalah ma yusyabihu al-iqrar (hal yang serupa dengan pengakuan atau yang setara dengannya). Al-Hafidz al-Iraqi sebagaimana dikutip oleh Syaikh Mahfud at-Tarmasi, dalam kitabnya mentamsilkan: “Ketika terdapat rawi yang meriwayatkan sebuah redaksi hadis dari seorang guru, namun ternyata gurunya itu sudah wafat terlebih dahulu sebelum ia lahir dan menerima hadis, padahal redaksi hadis tersebut tidak dapat diketahui kecuali darinya. Maka hadis ini dikategorikan palsu sebab lahirnya perawi tadi diposisikan sebagaimana iqrar dengan kepalsuan hadis tersebut. Sebab, hadis itu tidak dapat diketahui kecuali dari dirinya.”

Ketiga, rikkah (lemah kefasihannya) maksudnya adalah makna dari hadis tersebut lemah, bukan redaksi lafadznya.

Keempat, adanya indikasi (qarinah) baik dari pihak orang yang meriwayatkan (rawi) atau hadis yang diriwayatkan (marwi).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.